Part 5

1113 Words
    "Gila.. Kok loe bisa banget sih dapet 100, Dyr. Sedangkan gue. Mau dapetin 90 aja berasa mau mati gitu. Susah banget. Mentok-mentok paling tinggi 85." ujar Dea.    "Gimana mau dapet 90 kalo catatan aja enggak lengkap. Belajarnya kan jadi enggak maksimal." ucap Dyra.     "Oke. Bab berikutnya gue bakal nyatet lebih lengkap dan lebih komplit daripada loe. Biar gue bisa dapet nilai 100 juga." ujar Dea.     "Iya. Sekarang habisin dulu tuh baksonya. Ntar keburu bel."     Dea mengangguk. Ia lantas lanjut menikmati baksonya. Sedangkan Dyra sendiri telah selesai menikmati mie ayamnya. Dyra mulai memainkan ponselnya.      "Udah." ucap Dea cepat. Dyra mendongakkan kepala cepat. Rasanya baru saja tadi Dyra mengalihkan pandangannya dari Dea yang tengah menikmati bakso. Dan sekarang gadis itu sudah selesai.     "Eh. Udah tapi kok enggak habis?" tanya Dyra.     "Gue udah kenyang. Eh.." Dea menatap sebentar ke arah lain.      "Itu ada Rudra. Bentar ya gue nyamperin dia dulu." ucap Dea. Ia langsung berdiri.     "Eh mau ngapain?" tanya Dyra.     Dea yang sudah melangkah hanya berbicara tanpa menoleh.     "Bentar aja kok. Loe tunggu di sini." Dea lantas pergi. Dyra memperhatikan langkah Dea. Dyra bisa melihat bahwa Dea menghampiri Rudra yang kebetulan duduk sendiri.      Dyra  memperhatikan dengan jelas raut wajah Rudra. Rudra terlihat lebih menghangat jika sedang bicara dengan Dea. Berbeda dengan Dyra. Reaksi Rudra akan jauh lebih dingin. Dyra jadi bertanya-tanya. Mengapa sikap Rudra begitu dingin padanya. Atau mungkin karena Rudra dan Dea adalah teman akrab. Sikap Rudra terkesan lebih hangat karena mereka dekat. Dekat? Dyra kadang merasa iri pada Dea yang bisa selalu dekat dengan Rudra. Setiap hari bertemu. Menghabiskan waktu bersama. Pergi ke sekolah dengan berboncengan.     "Eh, Dyr."      Tama tiba-tiba muncul dan memukul meja dengan pelan. Membuat Dyra yang sedari tadi fokus menatap Rudra menjadi sedikit terkejut.     "Ada apa, Tam?" tanya Dyra ketika Tama duduk di hadapannya.     Wajah Tama terlihat datar. Dyra memang tidak terlalu akrab dengan Tama. Dyra memang tidak terlalu akrab dengan para siswa di kelanya. Mereka berteman baik, hanya saja tidak terlalu dekat.     "Makasih." ujar Tama.     Dyra mengernyitkan keningnya.     "Untuk apa?" tanya Dyra tidak mengerti.     "Tadi lo udah nolongin gue." ucapnya. Dyra semakin bingung. Jujur, ia tidak merasa pernah membantu Tama hari ini.     "Nolongin? Nolong apa ya?" tanya Dyra lagi. Ia benar-benar tidak mengerti maksud ucapan Tama.     Tama tampak menghela napas.     "Tadi. Kan lo udah bantuin gue bohong ke Bu Ami." ucap Tama.     "Ohh, yang itu."     Dyra mengangguk. Ia baru paham.      "Iya sama-sama." sambung Dyra kemudian.     "Kalo boleh tau, kenapa lo nolongin gue?" tanya Tama.  Dyra terdiam. Ia juga tidak tahu tadi pagi ia mendapat inspirasi darimana untuk membantu Tama berbohong. Padahal tadi dengan Jelas Dyra melihat Tama dan Rudra memanjat pagar sekolah. Perbuatan yang melanggar peraturan. Mengingat Rudra. Dyra lalu kembali menatap Rudra. Dyra merasa sedikit kaget saat menatap laki-laki itu yang ternyata kini tengah menatap dingin ke arah Dyra. Rudra tampak menatap Tama sebentar, lalu menatap Dyra kembali. Dan saat mereka bertatapan sebentar. Rudra memilih memutus kontak mata mereka terlebih dahulu dan mengalih pandangan ke arah Dea yang tengah asik berbicara.     "Enggak tau. Pengen aja." sahut Dyra. Ia benar-benar tidak menemukan alasan yang tepat untuk menjawab pertanyaan Tama.     "Oke. Kalo gitu gue duluan ya. Sekali lagi, makasih Dyr." Dyra hanya mengangguk tersenyum. Tama lantas berdiri dan pergi meninggalkan Dyra di sana sendirian.     Dyra menatap Rudra yang masih asik memperhatikan ucapan Dea. Dyra berpikir untuk pergi ke kelas lebih dulu. Karena sepertinya Dea masih belum menyelesaikan urusannya dengan Rudra. Dyra pun melenggang pergi meninggalkan kantin. Dan tanpa Dyra ketahui, Rudra menatapnya. Menatap dengan tatapan dingin.                                                                                     ----     Dyra membereskan naskah yang masih berserakan. Hari ini cukup melelahkan karena ia latihan berkali-kali. Letak kesalahan bukan pada Dyra. Namun pada lawan mainnya, Angga. Yang belum bisa menghayati perannya dengan baik. Membuat Dyra harus mengulang-ulang adegan yang baginya membosankan.     Dyra menghela napas saat ia pulang paling terakhir. Ia lantas mengunci ruang seni. Mengingat ketua tidak latihan hari ini dan para juniornya justru melenggang pergi. Dyra terpaksa membawa kunci ruang seninya sementara. Dan besok akan ia serahkan kepada ketua ekstrakurikuler teater.     Dyra melangkah menuju parkiran sembari bersenandung lagu kesukaannya. Hanya bergumam ria. Ia melangkah dengan perlahan. Suasana sekolah yang sepi selalu menjadi kesukaannya.     Dyra hampir sampai di motornya. Dyra mengira sekolah ini sudah benar-benar sepi. Tapi ternyata tidak. Bukan hanya motornya yang ada di parkiran. Melainkan satu motor lagi. Dan Dyra sangat mengenal motor itu. Motor milik Rudra. Langkah Dyra terhenti tidak jauh dari motornya. Dyra mengawasi sekeliling. Hanya ada motor mereka berdua. Itu artinya hanya Dyra dan Rudra yang belum pulang.     Dyra berdiam diri di tempatnya. Ia melirik jam tangan. Menunjukkan pukul lima sore. Ternyata ia tidak sadar sudah menghabiskan waktu cukup lama hanya untuk berakting.     Ponsel Dyra tiba-tiba berbunyi. Ia pun mengambil ponselnya yang berada di dalam tas. Itu telepon dari Dero.     "Halo.." ujar Dyra.     "Lo buruan pulang gih."     "Ngapain?" tanya Dyra.     "Gue mau ngajak lo jalan. Kan sekarang satnight."     Rudra datang. Dyra dapat mengetahui itu karena mendengar langkah kakinya. Dan saat ini Dyra dalam posisi menunduk. Ia sangat ingin mendongakkan kepalanya. Dan Dyra melakukan itu. Ia menatap Rudra yang tengah sibuk memainkan ponselnya sembari berjalan.     'Ganteng' batin Dyra.     "Woy, Dyr. Lo masih sadar kan?" suara Dero membuat Dyra kembali menunduk.     "Iya. Jalan kemana?" tanya Dyra spontan.     "Ya kemana aja gitu. Nyari angin."     Dyra tiba-tiba teringat sesuatu.     "Gue tau. Tapi lo harus anterin gue ya."      "Kemana?"      "Nanti aja deh gue kasih taunya. Yaudah ya gue pulang dulu. Nanti kita lanjutin di rumah." ujar Dyra. Ia sedikit berdecak karena Dero tidak bisa bersabar sebentar.     Dyra mendongak dan ternyata Rudra kini berhenti di tempat saat tadi Dyra menatapnya. Rudra menatap Dyra dingin. Lalu ia melangkah menuju motornya yang kebetulan berada di sebelah Dyra. Dyra ingin sekali menanyakan perihal mengenai kejadian tadi pagi. Ia lantas memanggil Rudra.     "Rudra." panggil Dyra.     Rudra yang saat itu telah duduk di atas motornya pun menoleh. Namun tidak bicara apapun. Dyra melangkah menuju motornya. Rudra menatap Dyra seolah menyuruh Dyra untuk segera bicara. Dyra ingin sekali menanyakan hal itu namun mengingat ucapan Rudra tadi pagi yang menyuruh Dyra menganggapnya tidak pernah terjadi membuat Dyra menjadi enggan untuk bertanya.     "Enggak jadi deh." ujar Dyra. Ia lantas naik ke atas motornya. Mengambil kunci motor di saku kantongnya. Dyra hendak memakai helm. Namun Rudra bersuara membuat Dyra menoleh.     "Ngomong aja." ujar Rudra. Dyra tidak menyangka bahwa ternyata laki-laki itu menunggu ucapan Dyra. Ucapan Rudra tadi pagi kembali berputar di otaknya.     "Enggak jadi." ujar Dyra lagi.     "Oh." Dyra membulatkan matanya. Di luar ekspetasi. Dyra berharap Rudra akan memintanya mengucapkan apa yang seharusnya diucapkan. Tapi justru Rudra terlihat santai memakai helmnya. Ia terlihat tidak peduli. Dan parahnya , Rudra pergi meninggalkan parkiran tanpa ucapan sedikitpun. Seperti 'duluan, Dyr." atau kata apapun asalkan suaranya keluar. Dyra menggeram menatap kepergian Rudra.      "Dasar pluto! Pluto!!" ujar Dyra dengan gemas. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD