BAB 17

2481 Words
Tunggu dulu, ini bukan waktunya untuk makan kue. Ada hal lebih penting yang harus Miyu katakan kepada Kanata, teman-temannya ingin bertemu untuk mengucapkan terima kasih sekaligus meluruskan suatu masalah. Miyu ingat bagaimana wajah Nana saat mengatakannya. Wajah gadis itu sangat tegas. Apabila Miyu tidak segera mengatakannya kepada Kanata dan berakhir melupakannya, entah bagaimana seramnya wajah Nana nantinya. Namun kemudian, Miyu masih ragu-ragu. Dia merasa tidak tega untuk melihat situasi yang akan terjadi saat Nana dan Aya memberitahu Kanata. Dia pikir, pria one night stand itu bukanlah Kanata Saionji. Dalam benak naifnya, Miyu merasa pria itu bukan Kanata Saionji, mungkin saja Kanata Saionji yang lain. Ya, itu pemikiran yang bodoh, namun bisa saja seperti itu faktanya, bukan? Mana mungkin pria sebaik dan sesantun Kanata melakukan cinta satu malam dengan sembarang wanita di club? Tidak, itu tidak mungkin Tuan Saionji. Mungkin saja orang lain yang kebetulan memiliki kartu nama Tuan Saionji. Dia sudah membantuku sejauh ini, aku akan terkesan sangat tidak bersyukur jika menuduhnya sembarangan seperti itu, batin Miyu, sepenuhnya mengenyahkan niatnya, kini mulai memikirkan alasan yang bagus untuk Nana dan Aya atas pembatalan pertemuan dengan Kanata. Miyu meraih ponselnya yang tergeletak di samping bantal. Berniat mengirim pesan ke Nana dan Aya berupa pembatalan pertemuan dengan Kanata. Dalam seperkian detik, Miyu melirik Kanata yang fokus menonton televisi di sebelahnya. Pria itu tidak bersuara, terlihat tidak memiliki minat pula untuk bersuara. Dari sini Miyu jadi menyimpulkan salah satu sifat Kanata adalah tidak banyak berbicara. Miyu: Sorry, guys, nggak bisa ketemu sama Kanata. Dia punya meeting penting jadi nggak punya waktu. Miyu merasa berdosa setelah mengirimkan pesan itu ke grup chat di w******p. Dia hampir tidak pernah berbohong kepada dua sahabatnya. Bukan tanpa alasan, memang dirinya saja yang terbiasa jujur sejak kecil. Bahkan dua sahabatnya mampu mengetahui kapan Miyu berbohong hanya dalam sekali melihat, sebab terlalu mudah untuk dipergoki. Beruntungnya, itu hanya terjadi jika mereka bertatap muka, tidak jika melalui pesan sosial media. Jadi, Miyu yakin Nana dan Aya akan memercayai kebohongannya. “Anda ingin kue lainnya?” Jantung Miyu seolah akan meloncat dari tempatnya saat Kanata tiba-tiba bersuara. Bak maling tertangkap basah, Miyu kikuk menyembunyikan ponselnya, padahal tidak perlu seperti itu karena Kanata tidak akan merampasnya. Bagaimanapun, Kanata tidak memermasalahkan gelagat aneh Miyu. “Nona Agatha?” panggil Kanata kala Miyu tidak kunjung bersuara. Masih kikuk, Miyu menoleh dengan mata mengerjap cepat. “Y—Ya, Tuan Saionji? Ada apa?” “Apakah Anda ingin makan kue lainnya, berhubung Anda sudah menghabiskan cheese cake.” “Ah, tidak, terima kasih. Saya sudah kenyang.” Kanata mengambil alih kotak kue di meja ranjang, membereskannya tanpa diminta. Perilaku rajin pria itu kian melubangi hati Miyu dengan rasa bersalah. Kanata tidak mungkin pasangan cinta satu malamnya. Pria itu terlalu baik dan murni. Benar Miyu tidak boleh tertipu oleh tampilan luarnya, tetapi dia juga melihat sendiri seluruh kebaikan dan kebiasaan yang pria itu lakukan, benar-benar jauh dari pria yang gemar bermain wanita di club. Jika boleh jujur, mungkin jauh dalam benak Miyu, dia ingin Kanata-lah pasangan cinta satu malamnya pada saat itu. Jika memang pria itu adalah Kanata, Miyu mulai merasa tidak masalah setelah melihat perangai sehari-harinya yang sebaik ini. Apabila butuh alasan, mungkin saja saat itu Kanata memiliki masalah yang sangat berat hingga pergi menenangkan diri di club. Lalu akhirnya tanpa sengaja melakukan cinta satu malam, sama seperti Miyu, tanpa disengaja tanpa bisa dihindari, terjadi begitu saja. Apabila memang Kanata Saionji orangnya, Miyu merasa tidak masalah untuk memiliki anaknya dan tidak masalah bila akhirnya berujung menikahinya. Kanata adalah pria yang baik. Terlepas dari kekayaannya, pria itu rendah hati dan berperilaku baik. Untuk malam ini saja, Miyu mengharapkan sesuatu yang konyol. Dikabulkan atau tidak, biarlah. Nana: Seriusan lo? Nggak boong kan? Nana: Lo ngomong apa yang pengen gue sama Aya bicarain ke dia? Miyu: Serius, besok dia ada meeting, jadwalnya juga padat Aya: Ya mau gimana lagi? Apa yang lo harapin dari dirut perusahaan gede. Kalo nggak sibuk, baru deh gak wajar Miyu: Nggak, gue nggak kasih tahu sedetail itu Miyu benar-benar merasa berdosa sekarang. Nana: Ya udah deh, tapi lo pastikan kapan selanjutnya dia free sebelum dia balik ke Jepang. Tau kan lo kalo ini perlu dibicarain? Dia perlu dan berhak tahu Miyu: Iya gue tau Maafin gue, guys, batin Miyu penuh rasa menyesal. Aya: Santai aja, ada next time   Aya: Firasat gue berkata emang dia pasangan ons Miyu waktu itu Aya: Kalau jodoh, gak bakal kemana Mata hijau Miyu langsung melotot. Jodoh? Aya bilang Kanata dan Miyu berjodoh? Mustahil, itu tidak mungkin. Pria semapan dan setampan Kanata yang hidup di dunia yang jauh berbeda dari Miyu tidak mungkin berjodoh dengannya, gadis biasa yang hidup sangat sederhana. Lebih simpelnya, tipe Kanata tidak mungkin gadis biasa, pasti gadis yang setara dengannya seperti perempuan darah biru atau publik figur papan atas. Ucapan asal-asalan Aya membuat Miyu makin berharap sekaligus tertohok di waktu yang sama, dan itu sangat menyebalkan! “Nona Agatha, Anda tidak mengantuk? Sudah saatnya jam tidur.” Pertanyaan Kanata menjadi pendistraksi Miyu dari chat Aya. “Ah, saya baik-baik saja. Mungkin beberapa menit lagi saya akan mengantuk,” Miyu menoleh, tersenyum canggung, “bagaimana dengan Anda? Ini sudah larut malam dan besok hari Senin. Anda… perlu pulang.” Mata Kanata masih terpancang pada layar televisi, dengan santai mengganti channel. “Saya baik-baik saja. Saya akan pulang setelah Anda tidur.” Miyu mengerjap kaget. “A—Anda tidak perlu melakukannya, Tuan Saionji. Lebih baik Anda segera pulang dan beristirahat. Semakin larut, semakin berbahaya.” Sebelum Kanata memberi sahutan, dia menyadari ada yang aneh dari kalimatnya. Rona langsung menghiasi wajahnya selagi buru-buru meralat. “M—Maafkan saya, itu tidak sopan sama sekali. Maksud saya, saya berniat pergi sesudah memastikan kondisi Anda baik-baik saja sebelum tidak ada siapa pun yang menemani. Atau mungkin sesudah ada yang datang untuk menemani Anda.” “Saya mengerti, Anda tidak perlu minta maaf, Tuan Saionji,” Miyu manggut-manggut kikuk, ikut panik, “terima kasih banyak atas perhatian Anda, tapi sungguh, Anda tidak perlu melakukannya. Anda harus segera pulang dan beristirahat sebelum malam semakin larut.” Kanata melirik arloji di pergelangan kiri, jarum jam menunjuk pukul setengah sepuluh. Benar kata Miyu, dia harus memikirkan hidupnya juga. Besok adalah hari senin, sudah pasti jadwal Kanata memadat. Tidak ada waktu untuk bersantai. Dapat beristirahat saat jam makan siang ke luar kantor saja sudah termasuk anugerah bagi Kanata. Absen sekali lagi akan menimbulkan banyak masalah dan dia tidak ingin ambil resiko, terlebih saat sedang berada di negeri orang begini. “Baiklah, saya akan pulang jam sepuluh.” Miyu melirik jam dinding, tersisa tiga puluh menit lagi. Merasa itu waktu yang cocok, dia mengangguk. “Baiklah.” Tidak ada yang perlu diperdebatkan lagi, Kanata dan Miyu kembali fokus menyimak televisi yang kini menyiarkan hiburan variety show. Keheningan di antara mereka tidak terasa canggung sama sekali. Tidak terasa aneh juga. Benar-benar aneh tapi menyenangkan. Baik Kanata mau pun Miyu merasakan dan memikirkan hal yang sama, keheningan itu terasa nyaman, seolah-olah mereka sudah terbiasa oleh kehadiran satu sama lain. Kanata mulai mengingat-ingat, kapan tepatnya dia mulai terbiasa oleh kehadiran Miyu di dalam hidupnya. Sejak pertemuan pertama di kafe Anomali sampai detik ini, segalanya tampak mengalir begitu saja tanpa diniatkan oleh Kanata. Dia datang ke kafe Anomali karena kafe itu tampak nyaman untuk dikunjungi, bertemu dengan Miyu si petugas kasir yang seorang blasteran—atau mungkin orang asing tulen, Kanata belum tahu—lalu terjadi begitu saja, Kanata terbiasa datang ke sana tiap jam makan siang kantor. Semuanya terjadi secara natural. Tanpa disadari Kanata terbiasa dengan Miyu, begitu juga sebaliknya. Tidak ada dari mereka yang menduga interaksi mereka akan terjadi sejauh ini. Tidak ada juga yang memikirkan hubungan mereka jadi sedekat ini. Namun kemudian, meski aneh, Kanata dan Miyu merasa tidak masalah. Jadi, Miyu mencoba membuat percakapan untuk mengisi keheningan. “Saya memahami bahwa Anda adalah orang penting, saya jadi semakin tidak enak hati atas segala bantuan Anda.” Kanata menoleh sekilas, menangkap ekspresi sungkan di wajah Miyu. “Tidak perlu. Saya tulus membantu Anda atas dasar kemanusiaan. Tidak mungkin saya membiarkan Anda di sana di saat hanya saya satu-satunya di dalam situasi itu.” “Terima kasih, saya sangat-sangat berterimakasih,” Miyu melirik paper bag di meja makan, “saya tidak tahu harus bagaimana untuk membalas budi—” Telunjuk Kanata teracung ke bibir Miyu, menyela. Mata hijau wanita itu sedikit membulat melihat wajah datar Kanata beserta telunjuknya. Menangkap sorot penolakan tegas di mata pria itu membuat Miyu bungkam. Sedikit sesal mencubit hatinya karena sepertinya Kanata mulai risih mendengarkan atau melihat sikap sungkannya. Miyu sedikit menunduk. “Maaf.” Bagi Kanata, sikap sungkan Miyu sedikit aneh karena berlebihan. Wanita itu seolah tidak pernah menerima bantuan dari siapa pun. Mungkin lebih tepatnya, ia tidak terbiasa menerima bantuan dari orang asing. Ini seperti Miyu panik memikirkan balas budinya kepada Kanata harus seperti apa. Wanita itu sudah menyebutkannya berkali-kali hingga Kanata mulai risih. Sebelum Kanata menanyakan pertanyaan yang dirasa ranah pribadi, secara inisiatif, Miyu menjelaskan. “Maaf, saya… saya tidak terbiasa menerima bantuan dari orang selain sahabat saya.” Kening Kanata berkerut bingung. Sahabat lagi. “Adakah masalah bagi Anda jika menerima bantuan dari orang selain teman-teman?” Miyu mendongak, dan Kanata menyadari kebodohannya. Buru-buru dia meralat. “Mohon maaf, saya terlalu lancang. Saya tidak bermaksud apa-apa, saya… hanya merasa bingung.” Miyu menggeleng cepat. “Tidak, tidak apa-apa, saya mengerti.” “Anda tidak perlu menjelaskannya. Itu terlalu pribadi.” Miyu menipiskan bibir, merasa tidak masalah untuk sedikit terbuka kepada Kanata. Namun kemudian ada juga rasa ragu, mungkin saja Kanata tidak ingin terlalu terbuka dengannya. Lebih tepatnya, berinteraksi dekat selayaknya teman. Belum saatnya bagi mereka untuk berinteraksi semacam itu, pikir Miyu. Akhirnya, dia ragu-ragu sekarang. “Tapi….” Miyu tertegun, lantas menoleh ke Kanata yang pandangannya masih terpancang pada layar televisi. “Jika ada yang ingin Anda bicarakan dengan saya, baik itu topik pribadi atau tidak bagi Anda, saya akan mendengarkan dengan baik.” Mata hijau Miyu sedikit membulat. Ini terkesan seolah-olah Kanata mampu membaca pikirannya. Miyu ragu, lalu Kanata menyingkirkan keraguan itu. Tak terelakkan, rasa senang membuncah dalam rongga d**a Miyu. Perutnya pun terasa diaduk oleh perasaan aneh yang tidak mampu dia deskripsikan. Terasa menyenangkan meski dia tidak dapat mengenali perasaan itu. “Anda benar-benar orang baik, Tuan Saionji,” ujar Miyu diiringi senyuman cerah membuat Kanata menoleh. Kanata mengerjap polos. “Ah, tentu saja saya tidak akan memaksa Anda. Saya hanya mencoba bersikap seperti teman pada umumnya.” Miyu terkekeh lembut. “Saya mengerti. Kalau begitu, saya ingin membicarakan sesuatu dengan Anda—terkait sikap sungkan saya yang berlebihan tadi.” “Silakan.” Kanata menyandarkan punggung seraya bersedekap, menyamankan posisi sebelum tenggelam dalam perbincangan yang sepertinya berat. “Sebelum itu, apakah Anda tidak ingin berbaring saja?” Miyu mengerjap polos, dalam sekejap langsung menyadari pegal yang menyerang punggungnya sedari tadi. Dia tersenyum kikuk. “A—Ah, karena Anda mengatakannya, saya baru menyadari pegal di punggung saya.” “Berbaringlah. Apakah suhu AC-nya tepat untuk Anda?” Sembari membaringkan diri di ranjang, Miyu mengangguk. “Ya, tidak perlu khawatir. Terima kasih.” Kanata mengecilkan volume televisi, sementara Miyu menyiapkan diri untuk menceritakan salah satu pengalaman terburuk dalam hidupnya. Mengingat kejadian itu tidak membuatnya baik sehingga sudah lama sejak terakhir kali Miyu mengingat mau pun membicarakannya. Sudah lama juga bagi Miyu untuk berinteraksi sedekat ini dengan seseorang selain Nana dan Aya. Kanata adalah orang baik, Miyu tidak perlu khawatir. “Saya bukan tipe orang yang memiliki banyak teman atau pun sering didekati orang lain,” ujar Miyu memulai kisahnya, “dari dulu, saya sering dikucilkan karena penampilan fisik saya berbeda. Alasan yang sepele, tapi begitulah yang terjadi. Tidak ada yang mau mendekati saya karena beragam alasan, namun yang paling utama adalah fisik saya. Seringkali saya dicemooh oleh teman-teman sebaya yang tidak saya kenali. Mereka berkata, “Tidak ada tempat untuk orang sepertimu di sini!”, dan itu selalu terjadi sampai ke jenjang perguruan tinggi. “Saya tidak akan komplain. Mau bagaimana lagi? Saya juga tidak meminta untuk memiliki fisik semencolok ini. Suatu ketika, saya tertimpa masalah. Itu terjadi saat saya menjadi panitia di salah satu acara yang diadakan oleh departemen jurusan saya. Karena keteledoran saya, acara menjadi sedikit berantakan karena terjadi miskomunikasi dengan bintang tamu. Beruntungnya, sebelum masalah semakin runyam, salah satu rekan panitia turun tangan dan berkata pada saya bahwa semuanya akan baik-baik saja. “Saya sangat bersyukur karena acara itu dapat berlanjut. Lalu setelah segalanya selesai, saya kembali ke kesibukan kuliah. Tetapi, secara tiba-tiba, mahasiswa yang menolong saya saat itu, mendadak mendekati saya dan meminta bantuan untuk menyelesaikan tugas-tugasnya. Berhubung kami satu jurusan, saya merasa tidak masalah, hitung-hitung sebagai balas budi. “Anehnya, itu tidak terjadi satu kali saja, namun secara terus-menerus. Dia memberikan alasan yang macam-macam pada saya dan membuat saya di posisi tidak bisa mengelak. Bodohnya, saya menerimanya begitu saja—menjadi tukang tugasnya. Saya benar-benar dimanipulasi dan dipengaruhi oleh kata-kata balas budi yang selalu dia lontarkan setiap kali ‘meminta’ saya menyelesaikan tugas-tugas kuliah miliknya. “Jika saja sahabat saya tidak turun tangan, mungkin saya tidak akan tersadarkan. Itu adalah puncak dari pengalaman gaslighting yang saya terima selama hidup saya. Akhirnya, beginilah saya, tidak bisa tenang setiap kali menerima bantuan dari seseorang selain sahabat saya.”       Kanata mengerutkan kening, hatinya tercubit oleh kekesalan. “Anda selalu terkena gaslighting selama masa-masa sekolah dan perguruan tinggi?”   Miyu tersenyum lebar, namun diiringi gurat sendu. “Begitulah. Dahulu, saya sangat putus asa ingin memiliki teman. Jadi, saya berusaha keras menyenangkan semua orang sampai tidak sadar bahwa saya diperlakukan seperti itu. Saya naif sekali.” “Saya tidak akan menyalahkan Anda.” “Tidak boleh begitu, Tuan Saionji. Saya patut disalahkan agar hal itu tidak terulang lagi,” senyuman bergurat sendu Miyu menghilang, kini benar-benar terpasang senyuman tulus. “Setelah segala hal yang terjadi, saya bersyukur memiliki sahabat-sahabat saya. Jika tidak ada mereka, saya tidak akan sampai di titik ini.” Tanpa diduga-duga, bibir Kanata membentuk senyuman tipis yang mengejutkan Miyu. Seolah belum cukup, pria itu menyentuh puncak kepalanya dengan sangat lembut. “Ya, saya juga bersyukur dan turut senang mendengarnya. Anda cantik, Nona Miyu. Tidak perlu memikirkan cemoohan itu lagi. Saya benar-benar tulus membantu Anda, tidak perlu khawatir.” Detik itu, keegoisan Miyu ingin meledak dan berharap Kanata-lah orangnya. Harapan tinggi semacam itu pun hanya terdengar semakin melukai dirinya, karena di sisi lain juga memikirkan betapa egois dan jahatnya dirinya. Kanata adalah orang baik, namun bisa-bisanya Miyu memiliki harapan seperti itu. Namun, mau bagaimana lagi? Miyu takut menghadapi realita bahwa pria yang menjadi ayah dari jabang bayinya tidak sebaik Kanata, mungkin saja seperti itu. Dan tak dapat ditolong lagi, Miyu mulai putus asa mengharapkan pria pasangan satu malamnya adalah pria baik yang tidak akan menghinanya, dan menerimanya secara terbuka. Benar-benar berharap seperti itu. Andai saja pria itu memang Kanata… andai saja. TO BE CONTINUED
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD