Axel diam tidak menjawab atau berkata apa-apa lagi saat melihat kedatangan Viona. Ayah Viona yang tidak tau kalau putrinya sudah kembali, masih terus mengajak Axel bicara santai.
"Viona," gumam Axel.
Ayah Viona yang mendengar Axel menyebut nama putrinya langsung berbalik ke arah Viona yang sudah semakin dekat.
"Ayah sedang apa?" tanya Viona, menatap curiga.
"Ayah tidak sedang apa-apa. Mana ponsel Ayah?" tanya Ayah Viona mengalihkan pembicaraan.
"Tidak ada, Vio sudah mencari ke semua tempat," jawab Viona, duduk di samping Axel.
"Tidak ada? Bagaimana mungkin? Perasaan Ayah menyimpannya di kamar," sahut Ayah Viona.
"Mana Vio tau, kalau Ayah tidak percaya, Ayah cari saja sendiri!" ucap Viona.
"Tidak usah dicari lagi. Kalian berdua bersiap sekarang, kita akan pergi sebentar lagi," sahut Ayah Viona, beranjak dari duduknya.
"Tapi Yah, apa tidak bisa besok pagi saja? Ini sudah mulau larut malam," protes Viona.
"Apa yang dikatakan Viona benar, Om. Lebih baik besok saja, ini sudah terlalu malam untuk melaksanakan acara pernikahan. Besok pagi aku akan datang lagi ke sini membawa berkas-berkas untuk dimasukkan ke kantor Agama," ucap Axel.
"Baiklah, besok pagi. Ingat, jangan sampai tidak datang!" sahut Ayah Viona mengiyakan.
Ayah Viona berjalan menuju kamarnya meninggalkan Viona dan Axel yang masih berada di ruang keluarga rumahnya. Baru saja Ayah Viona pergi, Viona langsung mendekati Axel.
"Apa yang Ayahku katakan?" tanya Viona penasaran.
"Katakan apa? Dia tidak mengatakan apa-apa," jawab Axel dengan wajah datarnya. "Kalau tidak ada yang dibicarakan lagi, aku pulang dulu," sambung Axel, beranjak dari duduknya.
"Eh, tunggu! Ini gaji pertama kamu," Viona memberikan Axel sebuah amplop berwarna coklat. "Untuk gaji selanjutnya, akan aku berikan setelah kita menikah setiap bulannya," sambung Viona.
Axel melirik amplop berwarna coklat di tangan Viona. Kemudian mengambil amplop itu dan langsung pergi tanpa mengucapkan terimakasih atau kata-kata lain.
"Hei, apa kamu tidak punya mulut untuk mengucapkan terimakasih?" teriak Viona, mendengus kesal.
Axel terus berjalan tanpa menghiraukan teriakan Viona yang terdengar begitu nyaring memekakkan telinganya.
Dasar pria aneh. Seharusnya dia berterimakasih karena aku sudah memberinya uang sebagai gaji pertamanya. Ini malah pergi begitu saja. Dasar tidak tau terimakasih, umpat Viona, menghentakkan kakinya berjalan menuju kamarnya.
Axel memasuki mobilnya yang terparkir jauh dari rumah Viona. Saat Axel masuk ke dalam mobilnya, Axel menatap amplop coklat di tangannya.
Dasar gadis sombong. Dia kira aku ini pria apa? Dia memberikan aku gaji pertama? Yang benar saja, seorang presdir di perusahaan besar sepertiku di gaji oleh seorang gadis, gumam Axel mentertawakan dirinya sendiri, kemudian menyimpan amplop coklat itu di dalam mobilnya.
Axel mulai melajukan mobilnya menuju hotel tempat tinggalnya sekarang. Disepanjang perjalanan, Axel tersenyum aneh mengingat rencana gila yang dia jalankan sekarang.
Aku sebagai suami sewaan? Lucu sekali hidup ini. Aku tidak kekurangan uang sedikitpun, tapi kenapa aku mau menerima tawaran gadis gila itu? Sekarang dia juga sedang mengandung anakku. Sebentar lagi aku akan menjadi seorang Ayah. Bagaimana statusku nanti, ya? Ayah kandung atau Ayah sewaan? tanya Axel mentertawakan statusnya sekarang.
***
Di dalam kamar, Ayah Viona sedang sibuk menceritakan semua kejadian gila dari rencana Axel yang terjadi begitu cepat kepada orang tua Axel. Mendengar cerita dari calon besannya, orang tua Axel awalnya marah besar. Tapi, setelah mendengar penjelasan Ayah Viona, orang tua Axel akhirnya mengerti dan menyetujui pernikahan gila Axel dan Viona.
Malam sudah berganti pagi, sang mentari sudah mulai menampakkan keindahan sinarnya ke seluruh alam semesta. Viona bangun dan langsung bergegas menuju kamar mandi. Viona sudah tidak sabar lagi mengambil gaun pernikahan miliknya, yang sudah dipesannya tadi malam selepas Axel pulang.
Lima belas menit berlalu, Viona sudah siap dengan pakaiannya sekarang. Viona sudah bertekad, akan tampil cantik dengan balutan gaun impiannya sejak dulu. Dengan langkah cepat, Viona bergegas berjalan menuju pintu utama rumahnya.
"Mau ke mana kamu, Vio?" tanya Ayah Viona, saat melihat Viona melintas di depannya.
"Mau keluar sebentar, Yah. Ada yang mau Viona ambil," jawab Viona.
"Tidak boleh! Sebentar lagi kamu menikah, kamu tidak boleh ke mana-mana!" larang Ayahnya.
"Tapi, Yah. Vio cuma sebentar saja. Vio sudah memesan gaun pernikahan untuk hari ini, dan Vio harus mengambilnya sekarang," bantah Viona.
"Masalah gaun kamu, suruh saja si Ujang mengambilnya. Kamu bersiap saja di kamar kamu. Dan, berikan Ujang alamat pengambilan gaunnya!" perintah Ayah Viona.
Viona mendengus kesal mendapat larangan dari Ayahnya. Dengan kesal Viona berjalan mencari Ujang, asisten kepercayaan Ayahnya. Saat Viona berjalan melewati ruang keluarga, mata Viona menatap kagum melihat ruangan yang sudah didekorasi indah. Viona langsung berlari menghampiri Ayahnya yang sedang sibuk dengan ponselnya.
"Yah, siapa yang mendekorasi ruang keluarga?" tanya Viona.
"Ya, tukang dekorasi lah. Siapa lagi? Memangnya kenapa?" tanya Ayah Viona, masih sibuk dengan ponselnya tanpa memalingkan pandangannya.
"Vio juga tau kalau yang mendekorasi itu tukang dekorasinya. Tapi, siapa yang memintanya?" tanya Viona kesal mendengar jawaban Ayahnya.
"Jangan terlalu banyak bertanya! Cepat bersiap, sebentar lagi penghulu datang. Ingat, ya, Viona, jangan membuat malu Ayah. Ayah mengundang Pak Pradipta untuk jadi saksi pernikahan kalian," sahut Ayah Viona, memperingati.
"Pak Pradipta orang terkaya nomor satu di kota ini? Kenapa namanya sama dengan nama calon suami Vio?" tanya Viona, sedikit curiga.
"Memangnya yang namanya Dipta itu calon suami kamu saja? Di dunia ini ada banyak orang, Vio. Memangnya salah, kalau ada nama orang yang hampir sama dengan calon suami kamu? Sudah Ayah katakan, jangan terlalu banyak bicara. Cepat bersiap sekarang!" perintah Ayah Viona, mendorong pelan Viona.
***
Acara yang ditunggu-tunggu akhirnya dimulai juga. Axel terkejut saat melihat kedatangan orang tuanya di acara pernikahannya. Matanya langsung melirik ke arah calon Ayah mertuanya dan asisten pribadinya-Bagas.
"Dasar anak durhaka! Mau menikah, tapi tidak memberitahu kami. Kamu tidak menganggap kami lagi sebagai orang tua kamu?'' tanya Papa Pradipta memukul lengan Axel.
"Kamu masih marah sama Mama dan Papa, Xel?" tanya Mama Axel, menimpali.
"Bukan begitu Ma, Pa. Aku hanya bingung saja menceritakannya dari mana. Siapa yang memberitahu Mama dan Papa? Bagas atau calon mertuaku?'' tanya Axel, penuh selidik.
"Siapa yang memberitahu kami itu tidak penting, Xel. Kami punya banyak mata-mata dan informan, bukan hal yang sulit mendapatkan informasi tentang kamu," sahut Papa Pradipta.
"Jika ada Viona nanti, pura-pura saja kita tidak kenal, Ma, Pa," pinta Axel.
"Memangnya kenapa? Kamu berulah apa lagi?" tanya Papa Pradipta berpura-pura tidak tau dengan rencana Axel.
"Nanti saja Axel ceritakan. Pokoknya, Mama dan Papa ikuti saja permintaan Axel," sahut Axel