"Ayah kenal?" tanya Viona.
"Tolong, ambilkan aku obat atau apa pun itu!" perintah Axel, saat melihat Ayah Viona ingin membuka mulutnya.
Viona dengan cepat berlari menuju kamarnya, mencari kotak obat miliknya.
"Sedang apa kamu di sini? Bukannya kamu Axel putra Pak Pradipta?" tanya Ayah Viona mengenali Axel.
"Iya Om, aku memang Axel. Aku diminta putri Om itu untuk menjadi suami sewaannya, supaya perjodohannya dibatalkan," Cerita Axel, memegang pipinya yang sakit.
"Maafkan saya, Xel. Saya tidak tau kalau itu kamu. Lalu, apa kamu mau? Keterlaluan Viona, bisa-bisanya dia menolak perjodohan kamu dan dia, sekarang malah meminta orang yang sama untuk bersandiwara menjadi kekasihnya," gerutu Ayah Viona kesal bercampur bahagia.
"Perjodohan aku dan wanita itu? Maksud Om apa?" tanya Axel tidak mengerti.
"Iya, wanita yang saya dan Papa kamu maksud untuk dijodohkan dengan kamu itu Viona-putri tunggal saya," sahut Ayah Viona.
Axel menepuk keningnya, dirinya tidak percaya akan terjebak dalam situasi yang tadinya sudah dia tolak.
"Jelaskan pada saya, apa benar Viona hamil anak kamu?" tanya Ayah Viona, menatap tajam Axel.
"Iya Om, maaf. Aku tidak bermaksud melakukan itu. Putri Om yang datang ke kamarku, dia memulai semuanya. Aku pria yang normal, wajar saja tidak bisa menolaknya. Maaf, Om," sahut Axel, mengakui.
Raut wajah ayah Viona langsung masam mendengar cerita Axel. Antara percaya atau tidak, dia tidak memikirkannya lagi. Baginya, perjodohan yang tadinya sudah batal, kini kembali terjalin dengan cara dan situasi yang berbeda.
"Om menerima maaf kamu, dan untuk pukulan Om tadi. Anggap saja itu hukuman, karena kamu sudah membuat Viona hamil tanpa adanya ikatan pernikahan yang sah," ucap Ayah Viona.
"Om, aku minta tolong. Tolong Om jangan memberitahu putri Om siapa diriku sebenarnya. Dia hanya tau aku seorang pelayan hotal, Papa menghukum aku jadi pelayan hotel miliknya. Anggap saja kita tidak kenal, Om," pinta Axel.
Belum sempat Ayah Viona menyetujui permintaan Axel, Viona berlari ke arah mereka dengan membawa kotak berisi obat-obatan.
"Sini aku obati dulu!" perintah Viona, meminta Axel mendekatinya.
Axel mendekati gadis di depannya, beberapa kali Axel melirik Ayah Viona memberi kode isyarat menggunakan lirikan matanya. Ayah Viona mengangguk setuju. Viona yang sedang fokus mengobati bekas memar di pipi Axel, tidak memperhatikan dua laki-laki di depannya.
"Sudah, aku tidak apa-apa," Axel menyudahi pengobatan Viona.
Jantungnya sudah berdetak tidak karuan, kulitnya bagai tersengat arus listrik saat Viona menyentuhnya dengan lembut.
"Tapi, itu masih memar," ucap Viona, menunjuk pipi Axel.
"Itu hanya memar kecil Viona. Dia seorang pria, jangan terlalu memanjakan dia! Kalau memar seperti itu saja dia merasa kesakitan dan manja, bagaimana nanti mau menjaga kamu? Kalian berdua ikut Ayah sekarang!" perintah Ayah Viona, memulai sandiwara mereka.
Viona melirik Axel sekilas, sebelum akhirnya menarik paksa tangan Axel mengikuti Ayahnya menuju ruang keluarga.
"Sekarang, jelaskan siapa diri kamu!" perintah Ayah Viona, dengan wajah tegasnya.
Axel terdiam sejenak, lalu melirik Viona yang sudah mulai terlihat gugup.
"Namaku Ax, em, maaf. Namaku adalah Dipta. Aku bekerja di sebuah," Belum sempat Axel menyelesaikan perkataannya. Viona sudah memotong ucapan Axel lebih dulu.
"Dipta ini bekerja di sebuah perusahaan asing, Yah. Iya kan, sayang?" tanya Viona mengedipkan matanya.
Axel tidak mempedulikan kedipan mata Viona. Matanya menatap lurus ke depan, melihat ke arah calon mertuanya.
"Aku seorang pelayan disebuah hotel, Om. Dan, aku hidup sebatang kara tidak ada sanak keluarga saat ini," jawab Axel jujur.
Viona melotot kesal ke arah Axel, namun Axel tidak mempedulikannya sama sekali. Axel tetap dingin menatap Viona yang selalu saja meminta Axel menuruti kemauannya dengan isyarat mata.
"Kamu hanya seorang pelayan hotel? Besar juga nyali kamu menghamili putri semata wayang saya. Memangnya kamu bisa memberikannya apa untuk hidupnya nanti?" tanya Ayah Viona menatap remeh Axel.
"Ayah, kenapa Ayah mengatakan itu? Apa pun pekerjaannya, Vio tetap mencintai Dipta. Vio tetap mau menikah dengan Dipta," tegas Viona.
"Kamu memilih pasangan yang bahkan jauh sekali dengan derajat kamu, Vio. Ayah menjodohkan kamu dengan Axel putra orang terkaya nomor satu di kota ini kamu tolak. Memangnya, apa kurangnya Axel, sehingga kamu menolak berlian dan memungut sampah seperti dia?" tanya Ayah Viona mendengus kesal.
Orang tua ini bersandiwara, atau berniat merendahkan aku? Dari tadi, kata-katanya pedas sekali, gerutu Axel dalam hati, namun tetap tenang.
"Sudah Vio katakan, Vio tidak mau menikah dengan cara dijodohkan. Vio bisa menentukan pilihan Vio sendiri," sahut Viona, kesal.
Ayah Viona tertawa sinis menatap Axel.
"Pilihan kamu bilang? Ini pilihan kamu? Hanya seorang pelayan hotel yang penghasilannya bahkan hanya satu persen dari penghasilan kamu? Sadar Viona! Kamu mau hidup seperti apa nanti? Belum lagi kamu melahirkan anak kamu. Mau dikasih apa nanti dia? Apa kamu mau membiayai hidup pria miskin seperti ini?" tanya Ayah Viona sinis.
"A-aku. Aku tidak membiayai Dipta. Dipta pasti akan bekerja keras untukku dan anakku nanti. Iya kan?" tanya Viona, kali ini tatapan Viona seolah memohon agar Axel mengiyakan perkataannya.
"Om tenang saja. Aku akan bertanggung jawab penuh untuk anak dan istriku nanti," jawab Axel pasti.
"Baiklah. Kalau kalian berdua memang sudah bertekad untuk menjalin hubungan ke jenjang yang lebih serius. Saya pegang kata-kata kamu sekarang. Tapi ingat, jika suatu saat nanti putri semata wayang saya hidupnya menderita karena kemiskinan kamu. Saya sendiri yang akan mengambilnya dan memberi kamu pelajaran," sahut Ayah Viona.
"Saya bersedia, Om," ucap Axel.
Ada rasa haru yang dirasakan Viona saat mendengar kata-kata Axel.
"Kalian berdua bersiap. Malam ini juga kalian akan menikah!" perintah Ayah Viona, beranjak dari duduknya.
"Apa? Malam ini, Yah? Apa Ayah bercanda? Kenapa secepat itu? Vio dan Dipta bahkan belum menyiapkan semuanya," Viona terkejut saat mendengar ucapan sang Ayah.
"Memangnya apa yang harus kalian siapkan? Apa calon suami kamu itu punya uang untuk membuat acara mewah pernikahan kalian?" tanya Ayah Viona, menatap rendah Axel.
Axel yang sudah tidak tahan lagi dengan hinaan yang dia terima dari Ayah Viona langsung berdiri dengan tatapan tajamnya.
"Aku sanggup membuat acara mewah, bahkan satu bulan penuh perayaannya aku sanggup," sahut Axel emosi.
Viona menatap Axel heran, begitu juga Ayahnya. Karena terlalu emosi, Axel sampai melupakan sandiwaranya dan terbawa suasana.
"Viona, ambilkan ponsel Ayah di dalam kamar!" perintah Ayahnya yang dibalas anggukan oleh Viona.
Setelah Viona sudah tidak terlihat lagi di ruangan itu, Ayah Viona mendekati Axel.
"Kenapa kamu mengatakan itu? Ingat, kita sedang bersandiwara sesuai rencana kamu!" Ayah Viona memperingatkan Axel.
"Aku tau, tapi kenapa Om merendahkan aku terus? Aku tidak terima direndahkan seperti itu!" sahut Axel kesal.
"Ini hany bagian dari sandiwara. Jangan terlalu terbawa perasaan, Xel! Kalau saya tidak melakukan ini, Viona pasti curiga," ucap Ayah Viona.