Di sebuah rumah bernuansa warna putih. Seorang gadis cantik tengah bercermin di dalam kamarnya, ia memakai hijab berwarna merah muda sesuai dengan pakaian yang ia kenakan. Gadis itu tersenyum manis seraya memerhatikan wajahnya.
"Kamu harus siap kalau memang nanti kamu akan Papah jodohkan dengan anak dari tetap Papah."
Seketika, gadis itu teridiam sejenak. Ia pun berbalik dan bangkit dari posisinya, mengingat perkataan Papahnya tadi membuat pikirannya tak menentu.
"Papah ingin menjodohkan aku dengan anak dari teman Papah." Gumamnya.
Ia berjalan menuju kasur dan duduk disana, dengan pandangan mata yang tertuju pada sebuah foto keluarga kecil di meja itu. Ia tersenyum, lalu pandangannya tertuju pada laci mejanya dan membukanya. Ia mengambil sebuah foto sepasang anak kecil laki-laki dan perempuan.
Pikirannya kembali ke masa saat ia masih kecil dulu, ia bermain bersama dengan seorang laki-laki yang kira-kira berusia 10 tahun. Senyuman itu makin terpancar saat ia ingat mereka membuat gelang Secara untuk di pakai bersama. Ia pun langsung mengambil gelang itu dan memerhatikannya.
'Aku masih menyimpan gelang ini. Kira-kira Kak Nicho masih nyimpen gelangnya nggak ya?' batinnya.
Ia meletakkan foto itu dan juga gelang tersebut ke dalam laci itu kembali. Ia tersenyum manis seraya membayangkan bagaimana rupa Kak Nicho teman kecilnya itu.
Tok ... Tok ... Tok ...
"Alisha ..."
Terdengar suara ketukan dan juga panggilan didepan kamarnya, membuat gadis dengan hijab Merah muda itu pun segera bangkit dari posisinya, ia berjalan menuju pintu tersebut dan membukanya.
"Papah."
"Jadi bagaimana, kamu sudah siap untuk bertemu dengan seseorang nanti malam?"
Alisha tersenyum tipis. "Memangnya siapa sih, Pah? Yang mau Papah temuin sama Alisha?"
Deva, Papah kandung Alisha tertawa kecil. "Pokonya kamu pasti senang, karena dia adalah seseorang yang pingin banget kamu temuin dari dulu."
Alisha terdiam sejenak. "Kak Nicho?" Tanyanya.
Deva langsung mengangguk kecil Seraya tersenyum. "Iya. Nicholas Emir Damian." Sahutnya.
Wajah gadis berhijab itu langsung sumringah ketika mendengar nama itu yang di sebut oleh sang Papah. Karena memang dari dulu ia sudah menaruh hati pada lelaki tampan tersebut. Apalagi, Nicho adalah teman kecilnya dulu.
"Papah serius? Yang mau ketemu sama Alisha nanti itu Kak Nicho?" Tanyanya yang masih tak percaya dan meyakinkan hatinya.
Deva mengangguk dengan pasti dan senyuman manis di wajahnya. "Iya, Nak. Kenapa? Pasti kamu udah nggak sabar ya mau ketemu sama dia?" Sahutnya yang meledek anaknya ini.
Sontak, gadis berhijab itu pun langsung tersipu malu, kedua pipi chubbynya langsung memerah ketika sang Papah meledeknya.
"Papah ... Ngeledekin Alisha nih."
Deva pun tertawa kecil. "Iya-iya, Papah minta maaf heheh. Lagian kamu sepertinya senang banget waktu Papah bilang yang mau ketemu sama kamu itu Nicho."
"Tapi memang beneran Kak Nicho atau bukan sih, Pah? Papah jangan buat Alisha tambah bingung deh."
"Ya ... Pokonya kamu lihat nanti malam aja ya." Ucap sang Papah, lalu ia segera pergi dari sana.
Gadis cantik dengan kulit putih bersih itu mengerutkan keningnya, ia masih ragu akan ucapan sang Papah yang sebenarnya. 'Papah ambigu banget sih. Sebenarnya ini beneran Kak Nicho apa bukan sih. Kok aku jadi bingung sendiri.' batinnya.
Gadis itu kembali masuk ke dalam kamarnya, dan berdiam diri sejenak. Tiba-tiba, ia tersenyum manis dan menggelengkan kepalanya.
"Aduh ... Kok aku jadi deg-degan gini ya. Huft ... Kalau sampai bener, nanti aku mau ketemuan sama Kak Nicho. Aduh ... Aku malu banget, jadi canggung deh. Aku udah nggak ketemu sama dia semenjak aku SMA Sampai aku lulus kuliah gini." Monolognya.
Ia berjalan menuju kasur dan duduk disana. Ia masih senyum-senyum sendiri dan memikirkan seperti apa wajah cinta pertamanya itu.
Dari dulu Alisha memang sudah mengganggap Nicho ini kakaknya, namun seiring berjalannya waktu. Ketika Alisha sudah beranjak remaja, ia mulai menyukai Nicho dan ia menganggap kalau Nichol ini adalah cinta pertamanya.
"Kak Nicho, dulu itu baik banget. Pinter, ganteng lagi. Pasti dia yang sekarang, nggak beda jauh deh sama dia yang dulu." Monolognya.
Alisha langsung bangkit dari posisinya dan berjalan menuju ke lemari pakaiannya. Ia membuka lemari tersebut dan melihat semua pakaiannya. Ia memilih setiap baku yang berada di hanger tersebut.
"Duh ... Nanti aku pakai baju yang mana ya?" Gumamnya sambil memilih pakaian.
*****
Di rumah bernuansa gold. Nicho dan Queen sedang duduk di ruang sofa. Wanita cantik dengan bulu mata lentik itu masih terdiam, entah apa yang ia pikirkan sampai Nicho yang berada disebelahnya pun bingung. Sudah hampir lima menit lebih Queen seperti itu.
Nicho menghela napasnya sejenak. "Queen, kamu kenapa?" Tanyanya dengan nada lembut.
"Gue nggak papa." Jawabnya singkat, namun masih dengan tatapan kosong yang lurus ke depan, sama sekali tak menoleh kearah Nicho yang duduk di sebelahnya.
"Aku bawain makanan buat kamu. Aku ambil piring dulu ya ke dapur." Ucapnya yang tak di tanggapi apapun oleh Queen.
Lelaki tampan itu pun langsung berdiri, ia berjalan menuju kearah dapur dan segera mengambil wadah untuk makanan yang ia bawa tadi. Sedangkan Queen masih berada di ruang depan dengan tatapan yang terus lurus ke depan.
Tiba-tiba saja, matanya berkaca-kaca, hingga satu tetes butiran bening itu mengalir begitu saja membasahi pipinya.
"Lo diapain sama dia? Jawab jujur Queen?!"
"Queen adalah wanita suci yang nggak pernah gue sentuh sama sekali."
Mengingat perkataan yang di lontarkan oleh Justin tadi. Itu yang membuat Queen menitihkan air mata. Ia tahu Justin tidak pernah menyentuhnya sedikit pun. Entah apa yang akan Justin perbuat ketika dirinya tahu bahwa kini Queen telah melakukan hubungan badan dengan seseorang yang baru dikenalnya yaitu, Nicho.
Perlahan, pandangan kedua matanya tertuju pada arah dapur dan ia melihat bahwa Nicho berjalan menuju kearah dirinya seraya mebawa dua piring dan juga dua gelas. Ia memerhatikan Lelaki tersebut.
'Kenapa gue bisa ngelakuin itu sih? Kenapa gue bisa kebawa perasaan sama seseorang yang belum ada seminggu gue kenal.' batinnya.
Nicho tersenyum kearahnya sekilas, lalu ia menyiapkan makanan yang ia bawa tadi ke atas piring. Ia juga menuangkan air mineral ke dalam gelas. Setelah semuanya sudah slesai, Nicho menuju ke belakang untuk membuang sampah dari makanan tersebut, lalu kembali lagi dan duudk di samping Queen.
"Ini makanan buat kamu. Ya ... Walaupun aku nggak tahu kamu sukanya apa, tapi semoga kamu suka makanan yang aku bawa ini ya." Ujarnya.
Queen masih terdiam, ianhanya tersenyum tipis dengan anggukan kepala. Nicho mengambil piring miliknya, lalu ia mulai menyantap makanan tersebut.
"Nicho." Panggilan Queen berhasil membuat lelaki tampan itu menoleh kearahnya, ia pun meletakkan piring tersebut diatas meja dan fokus pada wanita tersebut.
"Kenapa?" Tanyanya.
"Lo ... Janji akan tanggung jawabkan?"
"Uhuk ... Uhuk! Uhuk ...."
Pertanyaan Queen membuat Nicho yang sedang asik makan pun jadi tersedak, ia batuk-batuk lalu segera meminum air putih yang berada di depannya itu.
"Nicho Lo nggak apa-apa? Maaf ya pertanyaan gue buat lo kaget."
Setelah meminum air tersebut, Nicho pun menelan semua makanan tersebut lalu kembali menatap kearah Queen. Ia mendengus pelan, lalu menyentuh punggung tangannya dengan tatapan mata yang tertuju pada mata indah Queen.
"Uriana Queen Calixta, aku udah bilang sama kamu. Kalau aku pasti akan tanggung jawab, apapun yang terjadi sama kamu."
"Itu kalau gue hamil. Kalau nggak hamil, apa Lo juga akan tanggung jawab?"
Nicho terdiam sejenak, ia tertegun mendengar pertanyaan itu. Queen memerhatikan kedua mata Nicho yang mulai tak menatapnya. Tangannya masih memegang punggung tangannya, namun kedua matanya berkeliaran entah kemana.
Tak kunjung mendapatkan jawaban dari Nicho, membuat Queen pun kembali bertanya padanya.
"Nicho ... Nicho?"
Panggilan tersebut, membuat Nicho kembali fokus pada wanita itu. "Jawab pertanyaan gue." ucap Queen.
Nicho mengatur nafasnya. "Queen, aku ... Aku ...."
"Aku tau kamu pasti nggak mau tanggung jawab, atas apa yang kamu perbuat ke aku. Aku tahu itu, karena buat apa kamu nikahin perempuan murahan seperti aku ini. Apalagi, aku hidup sebatang kara, aku punya seorang Tante, tapi dia malah yang mau ngejual rumah satu-satunya peninggalan kedua orang tuaku." Queen berucap dengan nada gemetar menahan tangis.
Nicho yang mendengarnya pun langsung berusaha untuk menenangkannya, ia langsung mengusap lembut rambut wanita itu.
"Ssttt ... Hei. Kamu nggak boleh berbicara seperti itu."
"Aku tahu Nicho, kamu pasti nggak akan mau nikahin aku karena bagi kamu, aku ini hanya w************n. Buktinya aku bisa tidur dengan kamu, lelaki yang belum satu Minggu aku kenal." Sahutnya dengan suara lirih.
" Hei Queen dengerin aku dulu, Queen ... Dengerin penjelasan aku." Ujar Nicho menenangkannya.
Dengan tetesan air mata yang mulai membasahi pipinya, Queen akhirnya terdiam dan melihat kearah lelaki tersebut.
Mereka saling bertatapan satu sama lain, dengan tangan Nicho yang berada di punggung tangannya dan juga mengusap lembut pipinya.
"Dengerin ucapan aku baik-baik. Aku yang udah buat kamu jadi begini, jadi aku yang harus tanggung jawab akan hal ini. Aku janji, aku akan bilang sama kedua orang tuaku untuk segera melamar kamu. Aku akan nikahin kamu, baik kamu hamil atau nggak." Ucapnya dengan nada lembut.
Queen terdiam, ia masih ragu akan perkataan lelaki tersebut. "Jujur kamu nggak akan ingkar?"
Nicho mengangguk dengan mengerjapkan kedua matanya. "Aku janji, nggak akan ingkar."
"Aku tahu Nicho, aku takut kamu ...."
Cup.
Belum sempat Queen menyelesaikan ucapannya, Nicho langsung mendaratkan kecupan lembut tepat di bibir indahnya.
Sontak, wanita cantik berambut kecoklatan itu terdiam sejenak, ia tertegun dengan aksi sepontan Nicho ini. Perlahan, Nicho pun melepaskan ciumannya lalu mengusap lembut bibir indah Queen dengan ibu jarinya.
Ia tersenyum memandangi wajah cantik Queen. "Aku janji, apapun yang terjadi sama kamu, aku akan tetap tanggung jawab."
Ucapan manis yang di lontarkan oleh Nicho serta tatapan matanya yang indah, membuat Queen merasakan bahwa apa yang dikatakan oleh Nicho ini memang benar adanya dan tulus dari dalam hatinya. Hingga secara perlahan, senyuman manis pun tersimpul di wajah cantiknya.
Wanita itu pun langsung memeluk Nicho dengan erat dan di balas dengan dekapan hangat oleh sang empunya.
Nicho pun mengecup pucuk kepalanya beberapa kali. "Ingat perkataan aku, apapun yang terjadi, aku akan tetao tanggung jawab ke kamu." Ujarnya lembut.
Queen pun mengangguk kecil dengan senyuman manis di wajah cantiknya. Ia semakin erat memeluk Nicho dan merasa nyaman bersandar di d**a bidangnya.
*****
Pukul 18.00. Nicho dan Queen masih berada di rumah itu, setelah selesai makan tadi mereka sempat mengobrol bersama dan bercanda tawa, hingga mereka Lelah dan mulai tertidur dalam berpelukan dengan posisi Nicho yang berada di bawah dan Queen yang memeluknya diatas.
Drrtt ... Drrtt ...
Suara dering ponsel yang terus berbunyi, membuat Nicho pun secara perlahan membuka kedua matanya, pandangnya langsung tertuju pada ponselnya yang berada di atas meja tersebut. Ia melihat kearah Queen yang masih tertidur diatasnya, Perlahan ia pun meraih ponselnya.
"Mamah." Gumamnya setelah melihat bahwa yang menghubungi dirinya berkali-kali itu adalah Mamahnya.
Merasakan ada pergerakan dibawahnya, membuat Queen pun secara perlahan membuka kedua matanya. Ia melihat kearah Nicho yang memerhatikan layar ponselnya.
"Kenapa nggak diangkat?" Tanya Queen yang masih dengan suara serak karena bangun tidur.
"Em ... Bukan siapa-siapa kok." Sahutnya yang kembali meletakkan ponselnya diatas meja
.
Nicho langsung berfokus pada Queen dan mengusap lembut rambutnya. Queen yang masih berada diatasnya mulai berpikir tentang rumahnya ini.
"Nicho."
"Kenapa?"
"Em ... Menurut kamu, apa aku perlu tanyain langsung mengenai rumah ini ke Tante aku? Jujur sebenernya aku nggak percaya, tapi ... Dari dulu memang Tante aku itu selalu cekcok sama Papah. Dia selalu iri sama Papah."
"Ya memang seharusnya kamu tanyain langsung, biar semuanya jelas. Jadi nggak simpang siur. Kan enak kalau nanti udah tahu kebenarannya. Kamu jadi bisa menilai mana yang salah dan mana yang benar." Sahutnya.
Queen mengangguk. "Iya, nanti deh aku tanyain kalau mereka udah pulang dari luar kota." Jawabnya lalu tersenyum.
Nicho tersenyum tipis seraya mengusap pipinya dengan lembut. "Nah gitu dong, senyum. Kan jadi enak lihatnya."
Queen mulai beranjak dari tubuh Nicho dan duduk di sofa tersebut, Nicho pun membenarkan posisinya dan duduk tepat di samping Queen.
"Nicho, kayanya aku mau harus ke apartemen dulu deh."
"Kamu yakin? Nanti kalau misalkan Justin ke rumah ini lagi gimana?"
Queen menghela napasnya. "Pokoknya aku perlu ke apartemen dulu."
"Yaudah, kalau gitu sekarang kamu siap-siap aku akan antar kaku kesana."
Queen mengangguk, ia pun segera bangkit dari posisinya. "Yaudah aku bersih-bersih dulu ya." Ucapnya yang dianggukan oleh Nicho. Queen pun segera pergi menuju ke kamar.