"Lepas, Mah! Biarkan Papah memberi pelajaran dengan Nicho. Dia memang benar-benar anak susah di atur."
Tok ... Tok ... Tok ...
"Nicho! Nicho! Buka pintunya, Nak ... Nicho!" Teriak Damian dengan suara ketukan pintu yang keras.
"Nicho! Nicho!"
Elma bingung, ia tak mau suaminya kasar lagi pada anaknya. Hingga ia pun berusaha untuk membujuk suaminya ini.
"Pah, sudah Pah. Nanti saja kita bicarakan padanya Secara baik-baik, Nicho baru pulang biarkan dia istirahat dulu." Ujar Elma.
"Nicho! Keluar kamu Nak! Nicho. Jangan membuat Papah semakin emosi, Nicho!"
Lelaki tampan itu yang merasa berisik pun akhirnya membuka pintu kamarnya. Ia berdiri tepat didepan kedua orang tuanya, sudah berdandan rapih dan ia siap hendak pergi lagi.
Damian memerhatikannya secara keseluruhan sang anak. "Mau kemana kamu?!"
"Nicho jawab pun bukan urusan Papah, kan. Karena Papah nggak pernah dengerin apa kata Nicho." Jawabnya dengan santai.
Kedua mata Damian langsung terbelalak. Ia sangat geram akan perkataan sang anak yang menurutinya kurang ajar.
"Nicho, kamu sudah terlalu sering membentak Papah! Lancang kamu berbicara seperti itu!"
Damian menatap sang Papah. "Pah, Nicho sudah Lelah menjadi boneka Papah. Nicho sudah menuruti semua keinginan Papah. Untuk kali ini saja Nicho ingin menjadi diri Nicho sendiri Pah!"
Plak!
Sebuah tamparan keras mendarat mulus tepat di pipi Nicho. Jelas itu bukan untuk pertama kalinya Damian menampar sang anak seperti ini. Tapi tetap saja, itu membuat Elma syok. Ia langsung menarik tangan sang suami agar tak hilang kontrol.
"Pah sudah Pah, cukup."
Nicho tersenyum tipis, ia melihat kearah sang papah. "Bunuh saja Nicho, Pah! Bunuh!"
Syok. Damian dan juga Elma yang mendengar perkataan sang anak langsung terkejut. Untuk pertama kalinya Nicho berbicara seperti ini, ia memang terkadang suka membantah, tapi tidak sampai seperti ini. Tapi bagi Elma, mungkin ini rasa kekesalan sang anak yang sudah di puncaknya, karena suaminya yang selalu egois dan harus menjadi apa yang ia inginkan.
"Berani kamu berbicara seperti itu, Nicho?! Kamu ini memang benar-benar anak ...."
"Pah, stop!" Cegah Elma seraya memegangi tangan sang suami yang hendak melayang kembali ke pipi sang anak.
Dengan butiran bening yang membasahi pipinya. Elma memohon pada suaminya ini.
"Pah, sudah cukup. Berhenti memperlakukan Nicho seperti itu, Pah."
Arah pandangan Damian pun langsung tertuju pada sang istri. "Mah, Nicho ini sudah kurang ajar. Dia sekarang berani membentak kita dan berbicara kurang ajar seperti ini. Dia harus Papah beri pelajaran Mah!"
Plak!
Damian kembali menampar sang anak dengan kuatnya. Jelas, itu membuat Elma sebagai seorang Ibu tak tega melihat anaknya diperlakukan seperti itu oleh suaminya sendiri.
Ia berusaha untuk mencegah sang suami, namun kekuatan suaminya lebih besar, hingga ia sulit untuk mengontrol emosi suaminya tersebut.
"Kamu anak nggak tahu di untung! Kamu benar-benar pembangkang Nicho!"
Nicho yang mendapatkan tamparan berkali-kali tak membalas sama sekali apa yang Papahnya lakukan. Justru ia malah menantang sang Papah dengan raut wajah mengejek, ia sengaja geram karena sudah muak dengan Semua perlakuan sang Papah yang selalu menjadikannya boneka, harus menuruti apa yang Papahnya inginkan.
"Papah sudah lelah membiayai pendidikan kamu, tapi ini balasan yang kamu berikan kepada Papah! Kamu anak kurang ajar! Nggak tau di untung! Papah hanya ingin kamu nurut Nicho, apa itu sulit untuk kamu hah!!!"
"Terus Pah, terus saja Papith lakukan itu ke Nicho! Agar Papah tidak punya anak seperti Nicho lagi, Pah! Terus Pah, kalau perlu sampai Nicho m*ti!!" Teriaknya dengan lirih.
Sahutan dari Nicho yang lantang, membuat Damian semakin emosi. Ia benar-benar sudah sangat matah akan perkataan sang anak.
"Kamu memang anak kurang ajar, Nicho! Kamu memang pantas menerima ini!"
Cletak!
Damian mencambuk anaknya dengan tali pinggangnya hingga beberapa kali.
Elma yang melihat itu semua itu sudah tak tahan lagi, ia pun langsung mendorong sang suami dengan sekuat tenaga agar menghentikan aksinya tersebut, hingga sang empunya pun terjatuh di lantai tersebut.
"Cukup Pah! Nicho sudah dewasa, dia berhak menentukan pilihannya sendiri." Lirih Elma.
Tubuh Nicho yang sudah penuh luka dan lebam, bahkan di sudut bibirnya terdapat setitik darah. Itu membuat Elma langsung memeluknya dengan erat dan mengusap lembut kepalanya beberapa kali.
"Maafkan, Papah kamu ya sayang." Ucapnya lirih.
Damian segera bangkit, ia menghampiri anak serta istri lagi dan berdiri tepat di hadapannya dengan tatapan yang terfokus pada anaknya.
Kemarahan masih terlihat jelas di raut wajahnya yang merah padam, serta napasnya yang naik turun tak beraturan.
Sambil terus mengusap anaknya, Elma menatap sang suami dengan perasaan amarah.
"Kalau Papah ingin menyakiti Nicho lagi, aku yang bersedia akan menggantikannya." Ucapnya lirih.
Damian diam, namun tatapannya masih terus tertuju pada sang anak. Ia mengambil tali pinggangnya di lantai lalu bergegas pergi sambil berucap.
"Temui Papah nanti malam di cafetaria Lexy. Tepat jam delapan." Ujarnya lalu berlalu pergi.
Elma memerhatikan sang anak. Ia mengusap lembut pipinya. "Kamu dengarkan sayang. Mamah mohon sama kamu turuti keinginan Papah kamu ya, temui dia di cafetaria Lexy nanti malam." Ucapnya pada sang anak.
Perlahan, pandangan Nicho tertuju pada sang Mamah. "Kenapa Mamah selalu bela Papah?"
Elma menggeleng kecil. "Nggak, Nak. Mamah bukan selalu membela Papah, buktinya sekarang Mamah belain kamu Nak."
Nicho menggeleng, ia mengalihkan tangan sang Mamah dari Pipinya. "Nggak, Mah. Mamah selalu belain Papah.
Awalnya Mamah memang selalu begini, tapi setelahnya Mamah selalu meminta Nicho untuk menuruti Semua keinginan Papah. Kenapa Mah? Kenapa???"
"Sayang ... Mamah begini karena Mamah sayang sama kamu. Mamah begini karena ...."
"Karena apa, Mah? Kenapa sih Mamah dulu nggak pernah ninggalin Papah? Kenapa Mamah masih bertahan dengan Papah yang kasar, Mah?"
Elma terdiam. Jujur, selama ini memang suaminya terbilang kasar, tapi sekasar-kasarnya Damian, Lelaki itu sama sekali tidak pernah sedikitpun menyakiti fisiknya, justru ia selalu melukai siapapun yang berani macam-macam dengannya.
Damian tak pernah membuatnya menangis. Ia benar-benar mencintai istrinya. Hal itulah yang membuat Elma tetap bertahan pada suaminya. Dan karena ia pun terlalu mencintainya.
"Mah, Nicho ini sayang sama Mamah. Dari dulu, Nicho selalu bilang kalau Mamah ingin pisah dengan Papah. Nicho dukung Mah. Tapi Mamah nggak pernah mau, dengan alasan karena Mamah terlalu mencintai Papah. Mah, Nicho juga ingin lihat Mamah bahagia."
Elma menangis dengan pandangan yang terus tertuju pada sang anak. "Nicho, Mamah bahagia. Mamah bahagia dengan Papah kamu."
Nicho menggeleng. "Nggak Mah. Dari dulu Nicho lihat Mamah selalu menangis karena Papah. Jika Nicho salah, Papah selalu marah ke Mamah."
"Karena Mamah yang salah, Nak."
"Mamah selalu bela Papah. Mamah nggak pernah mikirin perasaan Mamah sendiri."
Lelaki tampan itu langsung bangkit dari posisinya, ia masuk ke dalam kamar dan mengunci pintu tersebut. Elma pun langsung bangkit dan mengetuk-ngetuk pintu kamar tersebut.
Tok ... Tok ... Tok ...
"Nicho ... Buka Nak. Maafin Mamah, Nak."
"Mamah nggak perlu minta maaf, Mah. Mamah Nggak pernah salah, Nicho yang salah. Seharusnya Nicho nggak pernah lahir di dunia ini, Mah." Sahutnya dari dalam kamar.
"Nicho ... Kamu jangan berbicara seperti itu, Nak. Mamah sayang sama kamu, Nak. Papah juga sayang sama kamu."
"Mamah memang sayang sama Nicho. Tapi Papah nggak pernah sayang sama Nicho. Papah egois Mah, Papah hanya memikirkan dirinya sendiri."
"Nicho, kamu jangan berbicara seperti itu, Nak. Dia itu Papah kamu, sayang."
Nicho tak menjawab, ia hanya menghela napasnya lalu berjalan menuju ke kasur dan duduk disana.
"Nicho ... Maafkan Papah kamu ya, Nak. Dan jangan lupa nanti malam, kamu temui Papah kamu di cafetaria Lexy. Mamah sayang kamu, Nicho." Ujar Elma dari luar kamar.
Nicho tak menjawab, pandangannya tertuju pada pintu itu namun ia hanya mendengus pelan lalu merebahkan dirinya di kasur, dengan tatapan yang tertuju pada langit-langit diatasnya.
"Kenapa hidup gue selalu kaya gini sih." Gumamnya.
Ting.
Suara notifikasi pesan masuk di ponselnya, sontak lelaki tampan itu langsung meraih ponselnya yang berada di saku celananya. Ia segera melihat isi pesan tersebut yang Tak ada namanya di kontak ponselnya.
|| +628××××××××××
("Nicho, ini gue Queen. Lo kapan kesini lagi?")
"Queen?" Gumamnya.
Ia segera bangkit dan melihat kearah jam dinding yang kini telah menunjukkan pukul 10.30. Lelaki tampan itu membalas pesan tersebut lalu ia meletakkan ponselnya diatas kasur. Ia bergegas menuju ke lemari pakaian untuk mengambil beberapa baju miliknya.
*****
Di rumah mewah bernuansa gold, wanita cantik dengan bulu mata lentik itu tengah duduk santai di ruang tamu. Ia sedang menonton televisi.
Tok ... Tok ...
Tiba-tiba, suara ketukan pintu terdengar jelas di telinganya. Senyuman manis pun langsung tersimpul di wajah cantiknya.
"Nicho. Itu pasti Nicho." Gumamnya.
Ia segera bangkit dari posisinya, lalu berjalan menuju ke pintu tersebut dan langsung membukanya. Seketika, senyumannya memudar ketika melihat bahwa yang ada di depan matanya bukanlah, Nicho. Melainkan Justin.
"Justin. Ngapain lagi Lo kesini?" Tanyanya yang cuek.
Lelaki berambut lurus itu tak menjawab terlebih dahulu, karena tiba-tiba saja arah pandangan matanya tertuju pada leher mulus Queen yang banyak tanda kemerahan disana.
"Lo habis diapain sama tuh cowok?" Tanyanya dengan nada yang agak marah.
Queen langsung melihat kearah Justin. "Ngomong apa sih Lo. Nggak jelas." Ketusnya.
Justin langsung memegang kedua pundak Queen dan tertuju padanya. "Queen jawab pertanyaan gue. Lo habis diapain sama tuh cowok hah? Jujur sama gue, dia pasti udah berbuat kurang ngajar sama Lo kan. Tanda di leher Lo pasti ulah dia kan, iya kan Queen. Jawab gue." Ucap Justin yang mendesak Queen.
Sontak, Queen langsung melepaskan kedua tangan Justin dari pundaknya dengan kasar.
"Heh lebih baik Lo pergi deh dari sini! Ngapain lagi sih Lo kesini-sini!" Usirnya dengan tegas.
Justin menggeleng. "Nggak Queen, Lo harus jujur dulu sama gue apa yang udah dia lakuin ke Lo. Dia pasti udah kurang ajar sama Lo kan. Jawab Queen! Jawab."
"Justin stop! Lebih baik Lo pergi dari rumah gue!!"
Justin tetao berusaha mendesak wanita itu agar ia mau jujur. Tapi secara tiba-tiba, Nicho yang baru saja sampai pun langsung menghampiri mereka berdua dan berdiri tepat di depan Queen untuk memberi perlindungan padanya. Dengan tatapan mata yang langsung tertuju pada Justin.
"Jauhin cewe gue." Ucapnya Dingin dengan nada datar.
Justin menghela napasnya. "Apa yang udah Lo lakuin ke Queen? Lo pasti udah berbuat kurang ajar kan sama dia."
Nicho tertegun, ia melirik sekilas kearah Queen lalu kembali fokus pada Justin. "Lebih baik Lo pergi dari sini." Usirnya dengan cara halus.
Justin melihat kearah Queen, dan jelas wanita itu langsung masuk ke dalam rumah. Justin yang melihatnya pun kembali tertuju pada Nicho.
"Gue peringatin sama Lo. Queen adalah mantan terindah dalam hidup gue, bahkan sampai saat ini gue masih cinta sama dia. Dan Queen adalah wanita suci yang nggak pernah gue sentuh sama sekali, karena gue tahu dia sangat menjaga kehormatannya. Walaupun gue sama dia sekarang udah jadi mantan, tapi gue akan tetap Hajar siapapun itu orangnya yang berani nyakitin dia. Termasuk Lo." Bisik Justin yang mengancamnya.
Nicho tertegun. Ia mendengar semua perkataan yang Justin ucapakan. "Udah ngomongnya? Lebih baik Lo pergi sekarang, sebelum gue panggil security di komplek ini."
Justin menatapnya tajam. "Lo catat itu baik-baik di otak lo. Jangan pernah Lo buat Queen nangis. Karena Lo akan berhadapan dengan gue langsung." Ucapnya, lalu dia segera bergegas pergi dari tempat itu.
Nicho menghela napasnya panjang. Ia melihat Justin sampai Lelaki itu benar-benar pergi dan tak kembali lagi. Setelah itu ia segera masuk ke dalam dan menutup pintu tersebut.
Ia melihat Kearah Queen yang tengah duduk melamun di sofa itu.
"Queen adalah wanita suci yang nggak pernah gue sentuh sama sekali."
Seperdetik, ia mengingat perkataan Justin. Membuat Nicho merasa bersalah karena telah menyetubuhi Queen yang baru saja ia kenal. Jujur, ia memang khilaf melakukan itu semalam.
Nicho mengusap seluruh wajahnya, ia langsung berjalan menuju sofa itu dan duduk tepat di sebelah Queen seraya meletakkan makanan yang ia bawa di atas meja itu.
"Queen?" Panggilnya lembut.
Perlahan, pandangan Queen pun langsung menoleh kearah Nicho, yang angsung tertuju pada wajah Nicho yang penuh dengan luka lebam, sontak ia pun langsung panik.
"Nicho, muka Lo kenapa? Justin Hajar Lo ya?"
"Em ... Nggak. Bukan Justin, gue ada problem sedikit di rumah."
"Yaudah kalau gitu, gue obatin ya." Ujarnya.
Queen pun langsung bangkit dan segera mengambil kotak P3K lalu semangkuk air hangat dan juga handuk kecil.
*****