Aku duduk bersila sambil memangku Evan yang tengah anteng melihat video lagu pembukaan cartoon Hey Tayo sambil melenggak lenggokan tubuh kecilnya. Evan semakin terlihat menggemaskan di mataku ketika ia juga ikut menyanyikan lirik lagunya dengan cara bicaranya yang belum jelas.
‘Hai Tayo, hai Tayo, dia bis kecil ramah
Melaju, melambat, Tayo selalu senang’
Aku jadi ikut bernyanyi bersamanya. Tak lupa aku juga memperhatikan Karina yang sedang asyik memainkan games favoritnya ‘My Little Pony’ dari tablet milik Mas Dewa, kulihat terkadang ia tersenyum saat pony-nya itu di dandaninya dengan baik.
semakin besar saja keinginan dalam hatiku untuk memiliki anak-anak menggemaskan seperti mahluk-mehluk kecil nan imut ini. Rasanya aku ingin selalu menghabiska waktu seperti ini, menemani tumbuh kembang mereka nanti.
“hhh... kejauhan...”
Ingatku pada diriku sendiri, moodku turun saat di sadarkan pada kenyataan bahwa hamil saja rasanya masih jauh, apa lagi urusin pertumbuhan anak.
Dan tak lama kemudian kudengar langkah seseorang mendekat dan kulirik ternyata itu ada ibu dari anak-anak yang sedari tadi bermain denganku.
“udah selesai Mbak?”
tanyaku pada Mbak Lina, ia menggangguk sambil tersenyum.
“mereka lagi ngobrol, nostalgia masa muda mereka sekarang... ckckk nenek-nenek gaul emang”
Balas Mbak Lina.
“mereka rewel gak? Evan... sini sayang...”
Tanya Mbak Lina sambil mengambil Evan dari pangkuanku.
“ehmm... makin berat aja kamu ini nak”
Keluhnya saat anaknya yang masih berusia dua tahun itu kini di gendongnya.
“enggak kok Mbak anteng banget malah”
“makasih ya Shin, udah mau jagain Evan sama Karin”
“gak papa kok Mbak, aku malah seneng banget main sama mereka...”
Balasku pada ibu dua anak itu,
“soal yang tadi di bawah gak usah di denger ya... anggep aja itu suara bebek yang minta di kasih makan”
Aku terkehkeh mendengarnya, yang tadi maksudnya itu jelas adalah perktaan Bibi Hani padaku.
“Mbak ini ada-ada aja dosa loh Mbak masa bibi suaminya di samain sama bebek toh”
Kataku, tapi jujur saja aku jadi terhibur karenanya.
Penting untuk kuceritakan, bahwa Ibu tak pernah sekalipun menuntutku untuk segera memiliki anak, begitupun dengan kakak juga kakak ipar Mas Rama, mereka tak pernah menggunjing, menggosipkan sampai berkata yang tidak-tidak soal aku yang belum memiliki anak seperti mereka, justru sebaliknya merekalah yang selalu menyemangatiku di saat aku sendiri yang selalu bersikap pesimis dan banyak mengeluh karena masih belum juga di karuniai keturunan.
“gak papa kok, emang mulutnya kaya gitu...”
Ucap Mas Rama yang tiba-tiba muncul dan entah sudah berapa lama dia berdiri di ambang pintu ruangan serba guna di lantai dua rumah ibu ini. Mas Rama kemudian berjalan mendekat dan mendudukan diri di sampingku.
“tuh denger Shin, gak papa katanya kan”
Mbak Lina merasa menang karena di bela oleh suamiku.
“Mbak...”
Mas Rama memanggil Mbak Lina begitu sambil mengedipkan kedua matanya seperti tengah memberi kode padanya.
“ahh... sayang ayo turun, kita makan cemilan di bawah”
Ucap Mbak Lina pada Karin yang anteng dengan tabletnya itu
“ehmm iya Bu”
Mbak Lina lantas menuntun Karin yang baru saja ku bantu berdiri, dengan tangan kirinya dan menggendong Evan dengan tangan kanannya. aku sadar jadi ibu seperti Mbak Lina, itu berarti adalah masa di mana wanita harus bertransformasi menjadi wanita tangguh dan superkuat untuk menjaga anak-anaknya.
“Mbak aku bantu bawa Evan aja-“
“gak usah, gak papa aku mah strong kok”
Ucapnya, sambil langsung saja pergi turun menuruni anak tangga menuju lantai bawah.
Sampai kini akhirnya hanya ada aku dengan Mas Rama di ruangan ini.
Canggung.
Mas Rama dan aku hanya sama sedang terdiam. Tak tahu harus dari mana memulai pembicaraan setelah kejadian dengan Bibi Hani di bawah tadi.
Tak tahan, akhirnya aku memecah keheningan dengan mengambil bebek kuning mainan pegangan milik Evan.
“Lucu ya...”
Kataku dengan kikuknya. Mas Rama jadi menatapku, ia tahu aku berkata begitu hanya sebagai penglihanku saja. Sampai akhirnya Mas Rama menarik tubuhku untuk duduk lebih dekat dengannya,
“Mas...”
Mas Rama melingkarkan tangannya di perutku dan menaruh wajahnya di pundakku.
cup
bibirnya di daratkannya di pipiku.
“jadi... Mas emang gak ada niatan untuk punya anak selama ini?”
Tanyaku padanya.
“sayang...”
“jadi Mas takut kalo aku punya anak, terus nanti aku gak perhatiin Mas lagi? gitu? Mas takut nanti sampe harus saingan sama anak kita buat dapetin perhatian aku?”
Tanyaku pada Mas Rama, ingin mengkonfirmasi soal dirinya yang menjawab perkataan Bibi Hani yang kurang lebih sama dengan apa yang sedang ku tanyakan padanya saat ini.
Jujur saja itu jadi Big Question dalam kepalaku. Aku sampai berpikir kalau selama ini mungkin hanya aku saja yang sangat menginginkan seorang anak, sementara Mas Rama mungkin tak peduli. Atau mungkin di sini hanya aku saja yang memikirkan betapa seriusnya kehadiran seorang anak dalam sebuah keluarga, tapi tak bagitu bagi Mas Rama.
“apa selama ini di kepalamu... aku hanya harus jadi wanita pendukung kamu Mas yang lagi sibuk sibuknya kembangin perusahaan? apa perusahaan kamu itu lebih penting dari pada keluarga kita kedepannya kaya gimana?”
tanyaku semakin jauh.
“sayang... kamu ngomong apa sih... jelas keluarga kita yang utama sayang”
“terus kenap-“
“Shinta- oh... Ibu ganggu kalian?”
Ibu yang tiba-tiba muncul membuat suasana kini jadi sangat-sangat canggung. Aku menunduk merasa tak enak, ibu harus melihat raut serius antara aku dengan anaknya tepat di hari ulang tahunnya. Bahkan mungkin ibu bisa menyadari ketegangan yang terjadi antara aku dengan Mas Rama dari dahi Mas Rama yang masih di kerutkannya.
“engga kok Bu...”
Berusaha mencairkan suasana.
“Mas... kita ngobrol di rumah aja nanti ya”
Kataku pelan, sambil mengusap wajah Mas Rama, berusaha menyadarkannya untuk tak terlalu memperlihatkan situasi yang mungkin akan jadi masalah antara aku dengannya.
Aku langsung membangkitkan diriku, lalu berjalan menghampiri Ibu yang tengah berdiri sambil memasang wajah tak nyamannya.
“ayo Bu, kita turun”
Kataku
“sayang...”
“iya Bu?”
“ikut ibu yu nak”
Ucapnya sambil meraih tanganku dan menggandengku masuk ke dalam kamarnya. Aku menurut saja. Dan setelah sampai di dalam kamarnya di dudukannya aku di ranjang termpat tidurnya.
Duduk berhadapan dengan wajah cantic yang sudah menua itu, Ibu kini memasang senyum yang jelas sedang di paksakannya.
“sayang... maaf, kamu harus menanggung beban seperti ini jadinya... Ibu mewakili adik ibu meminta maaf padamu...”
“Ibu, itu bukan salah ibu, kenapa ibu minta maaf gini sama Shinta...”
Ibu meraih tanganku lalu mengelusinya lembut.
“Shinta, seharusnya keluarga bisa saling mendukung dan menjadi tempat teraman di saat kita sedang down, di saat keadaan tak sesuai dengan kita harapkan... dan apa yang di katakan Bibi Hani tadi bukanlah apa yang seharusnya seorang keluarga katakan, itu bukan kalimat yang pantas terucap dari sesama wanita, dia memang kurang dalam hal empati... maaf kamu harus mendengar itu darinya...”
“ibu....”
Aku langsung memeluknya, betapa beruntungnya aku memiliki seorang ibu mertua yang begitu baik hati dan bisa mengerti aku layaknya anak kandungnya sendiri.
“Ibu adalah tempat teraman buat Shinta... dan semua yang ibu lakukan selama ini adalah dukungan terbesar dalam kehidupan keluarga Mas Rama dengan Shinta... terimakasih Bu”
Ungkapku dengan mulai mengeluarkan tangis haru karena ucapannya yang sangat mengahangatkan hatiku.
Ibu lalu melepaskan pelukannya padaku, ia tersenyum dengan tangan yang di usapkannya pada wajahku yang basah karena linangan air mataku.
“bagaimanapun kamu... kamu adalah Shinta, menantu ibu yang sangat ibu sayangi nak”
Ucapnya, harus berterimakasih yang bagaimana dan seperti apa lagi aku pada tuhan di atas sana. Meski aku belum di karuniai-Nya seorang buah hati, aku seharusnya beryukur karena berada di tengah-tengah orang yang sudah sangat memberiku banyak cinta, kasih juga sayangnya yang sebesar ini.
“terimakasih Bu”
Kupeluk kembali tubuh yang penuh dengan kehangatan itu.
Dan tiba-tiba kurasakan sepasang tangan kokoh yang beraromakan tubuh yang sangat tak asing di penciumanku, kini tengah ikut dalam pelukanku dan Ibu.
“peluk kok gak ajak-ajak sih...”
Jelas sekali itu adalah suara protes suamiku.
“kamu ini... seharusnya kamu itu jagain istri kamu baik-baik... kurangin manjanya, jangan cuma minta di perhatiin Ramaa.... tapi kamu juga harus bisa kasih perhatian buat Shinta”
“tuh denger”
kataku, puas mendengar suamiku jadi mendapat omelan dari ibunya sendiri.
“iya... iya iyaaaa... udah aku nyerah diserang dua wanita cantik ini... ehmmm kesayangan-kesayanganku...”
Mas Rama semakin mengeratkan pelukannya padaku dan Ibu.
Tak bisa kupungkiri kalau sesungguhnya apa yang ada di sisiku saat ini adalah berkah terbesar dalam hidupku. Di saat kudengar banyak cerita ketika seorang istri susah memberikan keturunan, ia harus mendapati suami yang tiba-tiba berubah jadi seperti ini, dan ibu mertuamu yang akan jadi seperti itu. Tapi sepertinya semua cerita buruk itu tak berlaku padaku, mereka justru adalah malaikat-malaikat yang selalu ada menyemangatiku.
***
Sepulang dari acara milad ibu mertuaku, aku jadi tak bisa menatap wajah Mas Rama dengan benar. kulirik dirinya tapi kemudian kupalingkan saat ia balas melirikku. Begitu saja terus.
Sampai kini aku sedang duduk di depan meja riasku, dengan tanganku yang tengah meng-apply-kan skincare night routineku. Kuperhatikan dirinya dari cermin di depanku, tapi lagi-lagi tepat saat matanya menemukanku yang sedang memperhatikannya, kualihkan kembali pandanganku pada arah lainnya.
Sadar akan tingkahku itu, Mas Rama menghampiriku, lalu diangkatnya tubuhku dari atas kursi yang sedari tadi kududuki dan ia kemudian yang jadi duduk di atasnya.
Aku kini di dudukannya dalam panggkuannya.
“hey...”
cup
Mas Rama mengecup pipiku lembut.
“masih marah sama Mas?”
aku diam menunduk
“hhh... sayang... jangan gini dong... yah... maafin soal kata-kata Mas tadi”
“jawab jujur aku Mas... Mas sebenernya mau punya anak gak sih? atau emang Mas ini... beneran takut kalo sampe kita punya anak, anak itu bakal bikin kerjaan kamu malah jadi keganggu gitu atau-“
Mas Rama malah membungkam bibirku dengan bibirnya. Tapi aku diam tak membalas gerakan bibirnya di bibirku, sampai tak lama ia langsung melepaskan kembali tautan bibirnya dariku.
“sayang.... bisa gak... kita gak usah di ributin dulu soal urusan anak... Mas bahagia berdua sama kamu sayang... Mas betah berdua, Mas masih pengen kita nikmatin waktu pacaran kita dulu... tapi bukan berarti nanti sampe anak itu ada di antara kita, Mas gak suka, bukan seperti itu sayang.... Mas justru akan sangat bahagia... tapi jangan terlalu memaksakan... Mas cuma gak mau kamu jadi stress, itu aja...”
“Mas tuh gak ngerti... gimana aku gak stress coba, setiap kali ketemu orang pertanyaannya ‘kapan punya anak?’ ‘udah isi belum?’ ‘si ini aja udah hamil loh? kamu kapan?’... terusa aja gitu”
aku ngedumel jadinya.
“sayang...”
“ini udah lima tahun Mas... tadi apa kata kamu? betah berdua? itu namanya zona nyaman... kamu tahu dan pasti hapal istilah itu bukan... itu bikin kamu gak tumbuh kalo kamu terus ada di di zona nyaman kamu, Mas.... emang Mas gak mau apa naik stage, terus di panggil ayah?”
Kataku pada Mas Rama.
“hhh....”
Mas Rama tiba-tiba bangkit lalu ia berjalan memangkuku menuju ranjang tempat tidur.
“Mas gak mau di panggil ayah... tapi call me Daddy? okey?”
.....