Selama perjalanan tidak ada percakapan diantara keduanya. Mereka hanya saling diam dan menatap jalanan. Alesya merasa kalau suasana di dalam mobil saat ini benar-benar sangat canggung. Dia hanya ingin cepat-cepat sampai di rumah dan menyudahi keadaan yang menyiksa batinnya.
Kai akhirnya mengantar Alesya kembali ke rumah karena Alesya tidak bisa menolak, mengingat ucapan terakhir Kai yang tidak menerima penolakan.
Tidak lama kemudian, mereka tiba dilokasi tempat tinggal Alesya. Alesya keluar dari dalam mobil dan berbasa basi menawarkan Kai untuk bertamu. Hanya basa basi sopan, karena sudah diantar olehnya. Sebuah kejutan dan sangat tidak terduga kalau Kai malah mengiyakannya.
"Selamat sore, Pak Anto," sapa Alesya sopan dan ramah.
"Sore, Non Alesya. Tadi ada Pak Ikran. Dia datang sama anak buahnya dua orang. Kayaknya Non bakal ditemeni mereka lagi deh mulai besok," ucap Pak Anto memberitahukan sesuatu yang sangat ingin disingkirkan oleh Alesya dan tidak lupa memberi salam juga pada Kai
Para pengawalnya telah tiba. Mereka bergerak sangat cepat, bagaikan angin topan dan membuat Alesya hanya bisa menghela napas.
"Oh iyah, Pak. Terima kasih ya sudah memberitahu. Ini ada cemilan buat Pak Anto, hehe. Biar nggak bosen nungguin lift," ucapnya sambil memberikan sebuah kantong berisikan makanan.
"Wah, makasih banyak yah, Non," ucap Pak Anto dengan senyum lebar merekah diwajah dan mengambil kantong tersebut. Alesya dan Kai segera keluar dari dalam lift. Karena mereka sudah tiba dilantai tujuan.
Begitu keluar lift, sudah ada satu pengawal yang menunggu disamping pintu lift. Memang sudah tugas mereka untuk berjaga disana setiap harinya dalam waktu dua puluh empat jam secara bergantian. Kai memahami hal itu, karena yang namanya apartement, meski dibilangnya fasilitas pribadi dan tidak akan ada yang bisa masuk tanpa akses. Terkadang, walau jarang sekali, tetap saja bisa kebobolan. Jadi wajar, jika menyewa pengawal untuk berjaga-jaga. Namun, itu tidak berlaku pada Kai yang membuat batas antara pintu lift dan bagian dalam huniannya. Kai membuat sekat dan pintu lagi, agar tidak sembarang orang masuk kedalam tempat tinggalnya. Meski dilantai itu hanya dirinya sendiri yang tinggal.
"Kamu pakai pengawal?" tanya Kai penasaran. Kenapa Alesya memakai pengawal dan mengaitkan dengan kejadian tadi. Yang artinya, Alesya bukan orang sembarangan. Spontan pertanyaan dari Kai membuat Alesya lebih menghela napas.
"Yah begitulah kalau mempunyai orang tua yang terlalu sayang pada anaknya," jawab Alesya yang malah tidak seperti jawaban untuk Kai dan membuat laki-laki itu mengernyitkan dahi.
"Nggak jelas!" sergah Kai dan mengikuti Alesya yang berjalan santai di dalam kediamannya.
"Kamu mau minum apa?" tanya Aleysa ramah.
Walau seperti itu, Alesya tetap memperlakukan Kai dengan sopan dan ramah. Karena biar bagaimana pun, Kai seorang tamu di rumahnya dan harus diperlakukan dengan baik. Jika diluar rumah pun, Alesya tetap akan memperlakukannya dengan baik. Karena dia mengingat jelas semua ajaran orang tuanya.
"Air putih saja," ucap Kai santai.
"Oke, tunggu bentar yah," jawabnya sembari jalan menuju sebuah kamar, lalu beralih ke dapur. Bi Nah sedang tidak ada di rumah. Dia ijin untuk pulang menjenguk anaknya yang baru saja melahirkan. Tidak lama kemudian, Alesya selesai dan memberikakn segelas air putih pada Kai.
"Thanks. Kamu tinggal sendirian?" tanyanya penasaran dan meneguk sekali segelas air putih yang ada ditangannya. Kalau tinggal sendiri, wajar saja jika ada pengawal yang mengikutinya.
"Nggak. Aku tinggal bareng sama orang tua. Cuma mereka sekarang lagi di luar negeri, mengurus pekerjaan. Katanya bentar lagi balik tapi, nggak tahu deh bentarnya versi mereka itu kapan. Sudah dua minggu mereka disana soalnya," jelasnya jengkel. Alesya kesal pada orang tuanya yang terlalu lama disana, padahal bilangnya hanya sebentar dan tidak memberikan jawaban yang pasti.
"Oh," Kai memperhatikan suasana hati Alesya dan terlihat jelas jika Alesya sangat merindukan kedua orang tuanya. Berarti, mereka adalah keluarga yang harmonis. Berbeda dengan dirinya.
"Kamu lapar? Mau makan apa? Mumpung nih, aku mau pesan makan karena lapar. Kita juga belum makan siang dari tadi, padahal sudah jam segini," ucapnya sambil melihat-lihat ponselnya.
"Aku mengikuti tuan rumah saja," ucapnya santai dan tidak menolak, karena dia tidak pemilih. Lalu, Kai juga ingin berada disini lebih lama lagi.
"Yah sudah, aku pesan mie sama dimsum yah," ucapnya dengan wajah ceria. Makanan selalu membuat Alesya bahagia. Dia selalu terhibur dan senang hanya dengan memikirkan apa yang akan dia makan selanjutkan.
Alesya tidak tahu, jika Kai terus menatap dan memperhatikannya sejak dia menatap layar ponselnya. Kai menatap Alesya hangat dan sedikit tersenyum saat memperhatikan gadis itu. Hingga Kai sendiri terkejut dengan dirinya yang tersenyum saat melihat Aleysa. Bisa-bisanya dia melakukan hal yang tidak seperti dirinya.
"Kai, buruan sini!" ajak Alesya pada Kai untuk segera mengikutinya. Alesya mengeluarkan dan menata makanan-makanan itu dengan sangat baik di atas meja makan. Mereka duduk berseberangan dan dapat dilihat jelas oleh Kai, wajah antusias Alesya.
"Senang banget," ucap Kai dengan menahan dan mengatur ekspresi wajahnya.
"Iyah pasti, makanan itu bagai surga tahu!" seru Alesya dan langsung menyeruput mie yang ada dihadapannya.
"Awas jadi gendut!" ledek Kai dan terkekeh saat melihat respon dari Alesya yang menurutnya imut.
"Ish, kata Mia, aku itu nggak bisa gendut tahu, meski makan lima kali dalam sehari." Protesnya keras dan tetap memasukkan makanan ke dalam mulutnya tanpa henti, hingga kedua pipinya terlihat menggembung seperti hamster.
"Pfftt, hahaha," tawa Kai tidak dapat ditahan lagi. Ini pertama kalinya Kai tertawa lepas seperti ini. Itu juga pertama kalinya Alesya melihat Kai tertawa.
"Tampan," gumam Alesya pelan. Beruntung Kai tidak mendengarnya. Alesya pun tidak sadar saat mengucapkannya, dia baru menyadarinya setelah mengeluarkan kata itu. Dia merasa sudah tidak waras, karena menganggap pria dihadapannya yang bak seperti beruang es itu tampan.
Setelah selesai makan, Alesya membereskan bungkusan sisa dari makanan yang mereka santap. Kai ikut membantu, meski sudah dilarang oleh Alesya. Itu karena Kai tidak ingin hanya diam dan menerima saja, setidaknya dia harus tahu diri untuk hal seperti ini.
"Anyway, thanks yah jamuannya," ucap Kai tulus dengan senyum diwajahnya.
"Ha? I—iyah, sama-sama," jawab Alesya terbata-bata. Tadi melihat tawanya Kai, sekarang senyumannya. Mimpi apa dia semalam bisa ngalamin kejadian kayak gini. Tidak dapat dia duga kalau Kai akan tersenyum dan tertawa padanya. Meski Kai baik dan sudah menolongnya beberapa kali tapi, tidak pernah satu kali pun, Alesya melihat senyum atau tawa Kai. Karena bukan hanya padanya, melainkan pada semua orang Kai bersikap dingin dan kasar.
"Sepertinya aku harus balik deh, sudah jam segini juga. Nggak enak lama-lama di rumah kosong yang hanya ditempati wanita seorang diri," ucapnya sambil melirik ke arah jam yang tersemat ditangannya itu.
"Hmm, iyah. Kamu juga pasti capek 'kan," ucap Alesya menyetujui perkataan Kai.
"Oke, kalau begitu aku balik yah. Nanti aku hubungi lagi," ucapnya dan berjalan menuju lift. Sekilas terlihat tidak rela diraut wajah Kai tapi, dia menepisnya dan berusaha menghilangkan perasaan itu.
Terlintas sesaat ekspresi kecewa diwajah Kai dan dia sendiri tidak mengerti kenapa dia merasakan perasaan seperti itu. Kai juga merasa bingung dengan apa yang dia rasakan saat ini.
"Iyah, hati-hati dijalan yah," timpal Alesya. Setelah Kai tidak terlihat lagi. Alesya baru bisa bernapas lega. Entah kenapa, saat ini jantungnya berdebar sangat kencang saat menatap, berbicara dan bersama dengan Kai.
Kring Kring
Bunyi ponsel berdering dan Alesya segera mengangkat panggilan masuk diponselnya.
"Halo ma," sapa Alesya hangat.
"Putri mama, apa kabarnya, Sayang? Kamu baik-baik saja?" tanya Mira cemas pada keadaan putri semata wayangnya. Begitu melihat cctv dari ponselnya, Mira langsung menelepon Alesya setelah Kai tidak lagi berada di rumah mereka.
"Iyah, Esy baik-baik saja kok. Mama jangan khawatir dan fokus saja disana, biar bisa cepat pulang. Esy kangen banget sama Mama dan Papa," berpura-pura kalau dia baik-baik saja. Padahal, nyatanya tidak begitu.
"Maafin kami yah, Sayang. Maaf karena kami tidak ada disana dan membiarkanmu sendirian," ucap Mira dengan nada lirih.
"Nggak pa-pa, Ma. Kalian disana juga bukan untuk bersenang-senang dan sengaja meninggalkan aku, jadi jangan cemas. Lalu, bisakah bilang pada Papa untuk membatalkan soal Pak Ikran?" tanyanya langsung tapi, tetap berhati-hati. Karena Alesya sangat keberatan soal ini. Dia tidak ingin membuat orang-orang dilokasi syuting menjadi heboh. Dia bukan Artis besar dan bukan siapa-siapa, dia hanyalah seorang Alesya. Pasti akan ada orang-orang yang menggosipkannya dibelakang dan dia tidak mneyukai itu. Terlalu memikirkan pendapat orang juga termasuk salah satu kelemahannya. Meski Alesya tahu, kalau dia tidak akan bisa mengontrol dan membatasi ucapan dan pikiran orang lain.
"Halo, Sayangnya papa, my Princess. Papa sudah memutuskan dan kamu tahu kalau itu tidak akan bisa diubah, selama ini papa menuruti karena mencoba mengerti kamu. Namun, kejadian ini terjadi lagi dan tidak akan Papa biarkan. Tunggu saja saat Papa pulang, akan Papa bereskan si berengsek yang berani menyentuhmu itu," ucap tegas Jeffry dengan amarah yang memuncak. Ingin rasanya dia langsung menghabisi b******n yang telah berani menyentuh putri kesayangannya. "Jadi, untuk sementara Papa menempatkan Ikran, hanya sampai kami kembali dan membereskannya."
"Baiklah. Namun, bisakah mereka mengawasi dari jauh? Jangan sampai orang-orang menyadarinya. Esy mohon, Pa!" ucapnya memelas pada sang Ayah.
Saat ini ucapan Jeffry tidak bisa dibantah oleh Alesya. Dia tahu jika Jeffry saat ini tidak akan mendengarkan perkataannya, dia sangat tahu dan paham sekali watak Jeffry. Karena itu, dia hanya meminta keringanan agar mereka menjaganya secara diam-diam tanpa sepengetahuan orang lain.
"Haa, baiklah. Papa akan bilang pada Ikran," menghela napas. Jeffry juga tidak ingin membuat putrinya terbebani jadi menyetujui itu, asal putrinya tetap terjaga, meski diam-diam atau terang-terangan, semua itu sama saja untuknya. Semua sama-sama untuk keamanan sang putri.
"Papa yang terbaik, makasih Papa," ucapnya gembira sekali, karena Jeffry mengabulkannya. Ini lebih baik daripada tidak sama sekali.