Kekosongan Hati

1018 Words
Pukul menunjukkan angka 3, Erland terbangun. "Sudah jam 3 pagi. Gue ketiduran. Bagaimana nanti gue jelasin ke Vanessa? Bisa-bisa nanti dia ngadu ke Mami Papi." Erland membangunkan Cindy. "Sayang... sayang, sudah pukul 3. Aku harus pulang. Aku tidak mau ini jadi masalah nanti kalau aku tidak pulang. Entah apa yang harus aku bilang ke Vanessa." "Sayang...., kamu kelihatan panik banget. Kamu tidak perlu memberi penjelasan apapun ke istrimu itu. Dia kan bodoh. Semalam dia menelepon lalu aku mengangkatnya. Aku mengaku sebagai sekretarismu dan bilang kamu masih sibuk. Dia percaya gitu aja sayang." "Benarkah?" "Kamu tinggal katakan sibuk mengurus pekerjaan bersama aku dan bakal jarang pulang." "Tapi..... " "Tuh kan betul dugaanku pasti kamu memiliki rasa dengan si Nessa itu. Buktinya sekarang saja kamu ragu sering-sering bersama ku di sini." "Sayang, dengar aku. Aku pasti datang ke sini setiap hari. Aku janji. Ini kartu black card, hadiah pernikahan ku dari Mami. Kartu ini boleh kamu gunakan sepuasnya untuk shopping, perawatan atau apapun agar kamu tidak bosan di sini menunggu aku." "Sayang......, kamu memang paling the best. Makin cinta..... aku sama kamu." Cindy menghujani beberapa kali kecupan ke bibir Erland. Erland mengambil pakaiannya yang berserakan dan mengenakannya dengan rapi lalu bergegas pulang. Vanessa terbangun saat mendengar suara mobil yang terparkir dan tak lama pintu bel berbunyi. Dengan wajah yang masih sayu dan rambut berantakan dia membuka pintu. Erland terkejut melihat penampilan wanita di depannya. Jauh berbeda 180° dengan Cindy. "Ada apa dengan wajah dan rambutmu?" Vanessa sedikit merapikan rambutnya dan menyeka matanya. "Aku ketiduran di sofa saat menunggumu Mas." "Aku lelah. Nanti bangunkan aku pukul 7." Setelah mengatakan itu, Erland menuju ke kamar tanpa melihat ke arah Vanessa. Vanessa menyiapkan sarapan, belum ada persediaan makanan di kulkas hanya ada makanan instan. Dia berpikir nanti siang akan pergi ke supermarket untuk membeli persediaan makanan. Setelah menata beberapa barang di dapur, dia mandi agar saat Erland bangun, Erland tidak komplain dengan penampilan dirinya. Vanessa masuk ke kamar untuk membangunkan Erland. Vanessa perlahan menghampiri, di pandangnya wajah lelaki yang berstatus suaminya. "Hidungnya, mengapa dia bisa memiliki hidung semancung itu? Alisnya tebal dan bibirnya.....merah." "Aduh.... kok aku jadi melantur." Vanessa kembali fokus ke tujuan awalnya yaitu membangunkan Erland. Dia memanggil nama Erland. "Mas Erland....., Mas sudah waktunya bangun. Ini sudah pukul 7. Mas Erland....." Namun Erland belum juga membuka mata. Lalu Vanessa duduk di tepi ranjang dan menepuk pundak Erland. Tiba-tiba tangan kanan Erland bergerak merangkul tubuh Vanessa hingga tubuhnya menempel di d**a bidang Erland. Jantung Vanessa berdebar cepat. "Sayang..... kita berpelukan sebentar seperti ini. Jangan dilepas." Erland juga mengomentari rambut Vanessa. "Aroma rambutmu wangi dan menyegarkan. Apa kamu sudah mandi sepagi ini?" "Iya Mas, aku sudah mandi." (Sayu-sayu Erland mendengar suara.) "Ini bukan suara Cindy, lalu siapa wanita yang sedang ku peluk?", batin Erland. Perlahan Erland membuka matanya. "Kamu..... " Vanessa mengangkat wajahnya ke arah Erland yang memanggil. Mata mereka saling bertemu dengan jarak beberapa sentimeter. Jantung Vanessa berdebar makin tak karuan namun Erland segera bereaksi. Dia melepas pelukannya. "Bagaimana aku bisa bangun kalau kamu menempel seperti ini?" Vanessa segera mengangkat tubuhnya, wajahnya masih memerah. "Tadi tiba-tiba Mas yang menarik aku." Erland segera mengalihkan pembicaraan. "Apa sudah jam 7? Aku harus bersiap ke kantor." "Iya,...." Erland segera bangkit dari ranjang ke sisi yang berlawanan dari Vanessa. Dia segera menuju kamar mandi sedangkan Vanessa menuju dapur. Vanessa membuatkan secangkir kopi hitam dan sepiring mie goreng. Erland mengenakan setelan jas rapi yang telah disiapkan Vanessa sebelum menyiapkan sarapan. "Pilihannya lumayan, setelan ini membuat gue semakin tampan. Tapi memang wajah gue ini sudah tampan mengenakan pakaian apapun. Tadi bisa-bisanya gue peluk dia. Sekarang dia pasti kegeeran di peluk orang setampan gue. Pokoknya gue kagak boleh biarin dia ngebahas hal tadi." (Dari dalam kamar, tercium aroma kopi dan masakan yang memacu rasa ingin makan.) "Wangi sekali, Kira-kira dia sedang masak apa?" Setelah selesai berpakaian, Erland keluar dari kamar menuju meja makan. Di atas meja telah tersedia kopi dan Vanessa menuju meja makan membawa sepiring mie. "Mas, ini sarapanmu. Semoga Mas suka." (Mie yang tampak polos hanya ada orak-arik telur namun wanginya harum terlebih saat Erland mengangkat sesuap untuk dia makan.) "Enak banget...", batin Erland. Namun dia tidak mengatakan apa-apa ke Vanessa. Setelah menghabiskan mie dan kopi nya, Erland langsung berangkat. "Aku harus berangkat sekarang. Lakukan apapun yang kamu inginkan dan jangan hubungi aku bila tidak ada hal penting. Oke." Vanessa ingin bertanya tentang hal yang Erland kerjakan semalam, tentang sekretaris nya, keinginannya untuk keluar berbelanja dan hal-hal kecil lainnya. Namun, Erland malah pergi begitu saja. Sejak awal, memang Vanessa dan Erland jarang berkomunikasi. Vanessa merasa harus membalas kebaikan Melinda dan Prima yang sudah membiayai sekolahnya hingga Perguruan tinggi. Di tambah lagi, kakeknya yang terlihat bahagia saat dia dijodohkan dengan Erland. Malam itu, malam dimana Vanessa mengetahui penyakit Melinda. Vanessa juga tanpa sengaja melihat kakeknya yang sedang menatap foto mamanya dan mengatakan kebahagiaannya. "Nessa telah dewasa, dia tumbuh menjadi wanita yang baik dan lembut sepertimu. Kini Nessa mendapatkan pasangan yang baik, putra dari keluarga Hutama, keluarga yang sudah banyak membantu Nessa. Nessa akan memiliki calon suami yang baik, mertua yang baik, keluarga yang baik. Kamu bisa tenang di sana dan papa juga bisa tenang. Kelak Nessa pasti hidup bahagia." (Mendengar itu, Vanessa ikhlas harus menikahi laki-laki yang belum begitu dikenalnya. Walaupun sewaktu kecil pernah mengenal namun tidak akrab. Dan sejak kepulangan Erland, 2 tahun yang lalu, mereka tidak saling menyapa karena jarang sekali bertemu. Setelah dijodohkan, Vanessa dan Erland bertemu beberapa kali untuk membahas pernikahan. Mereka bicara seperlunya saja. Dari percakapan, Vanessa merasa Erland lelaki yang cukup sopan dan baik. Tidak seperti kelakuannya waktu kecil yang nakal dan suka mengejek. Dia juga memiliki paras yang cukup menawan seperti Antonie. Jadi, Vanessa memantapkan hati berumah tangga dengan Erland. Berharap setelah menikah, mereka bisa menjadi lebih mengenal, menjadi akrab dan saling mencintai. Namun, beberapa hari sejak menikah, Vanessa merasa kosong. Erland seperti sibuk dengan dunianya dan sekarang pekerjaannya.) Vanessa menghela napas. "Aku tidak boleh seperti ini, toh aku bisa mencari kegiatan. Aku bisa pergi belanja, mencuci, memasak, menyapu, mengepel, ya pekerjaan rumah tangga untuk menghabiskan waktu. Nanti setelah pekerjaan Mas Erland sudah stabil, dia pasti memiliki banyak waktu senggang."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD