Menyerah

1125 Words
"Hai!" Karenina menoleh pada Aidan yang sudah datang untuk menjemputnya makan siang. "Sebentar lagi, ya?" ucapnya, matanya masih terpaku pada layar laptop. "Udah, dong... makan dulu!" Aidan mengecup pipi Karenina. "Ten minutes!" Karenina memohon. Namun Aidan tak peduli. Ia malah menutup layar laptop di hadapan Karenina, menyingkirkan pekerjaannya. "Kerjaan enggak akan ada habis-habisnya," imbuhnya, tersenyum. "Kita mau makan di mana, sih?" Karenina bertanya, mencoba mengalihkan perhatian. "Terserah kamu." "Hm, gimana kalau di kantin?" "Hah?! Di kantin?" Aidan menatapnya dengan mata membulat, terkejut. "Katanya terserah aku?" Karenina menggodanya. "Ya, masa di kantin, Nin? Kamu 'kan, tahu aku enggak suka?" Protes Aidan, nadanya jelas tidak setuju. Karenina tersenyum. Aidan memang tidak suka makan di kantin kantornya. Bukan karena ia tak menyukai makanan di sana, tapi karena ia tak suka keramaian, apalagi sampai harus mengantri untuk membelinya. "Tapi aku kepingin makan di sana," sahutnya seraya menarik paksa tangan Aidan keluar dari dalam ruangan. Dan sambil bersungut, Aidan pun terpaksa mengikutinya. Dari kejauhan, Danisa memandangi keduanya sambil tersenyum lega. Ah, akhirnya drama mereka berakhir juga. Sekarang semua sudah kembali normal. Dan perusahaan pun akan kembali berjalan normal. Ia dan karyawan lainnya tak perlu takut lagi perusahaan akan ditutup. Perusahaan ini adalah mimpi Karenina. Ia tak bisa membayangkan jika Aidan sampai menutupnya. Bisa-bisa Karenina benar-benar pergi meninggalkannya, dan itu akan jadi bencana. Ia lalu membuka pesan di ponsel yang belum sempat dibacanya dan membalasnya. "Dia baik-baik saja, Bin. Aku tidak bisa menyampaikannya sekarang. Aidan baru saja menjemputnya untuk makan siang." Aidan menatap heran Karenina yang menyantap Nasi Padang di piringnya dengan sangat lahap. "Kamu beneran lapar?" Tanyanya, takjub. Karenina mengangguk dengan mulut yang penuh. Pemandangan itu membuat Aidan tak bisa menahan senyumnya. "Tumben banget kamu makan Nasi Padang? Enggak takut gendut?" "Memangnya kamu takut aku gendut?" Aidan menggeleng. "Selama ini aku enggak pernah melarang kamu untuk makan apa pun yang kamu mau. Kamu sendiri yang maunya diet terus." "Aku bosan makan vegie terus. Nanti malam aku mau masak buat makan malam kita. Kamu mau makan apa? Nanti aku masakin." Aidan kembali menatap heran. Ada apa dengannya? Mengapa ia cepat sekali berubah? "Hm, terserah kamu aja," sahutnya, sedikit bingung. "Aku masakin seafood, ya? Kamu 'kan, suka?" Aidan mengangguk dengan senyum yang lebar. Kebahagiaan samar terpancar di wajahnya. Karenina merasa hatinya begitu lega. Sekarang Aidan sudah kembali seperti dulu. Tiba-tiba saja ia merasa bersalah. Ternyata benar yang dikatakannya, ia lah yang telah merubahnya. Tapi sekarang ia telah kembali menjadi Karenina yang dulu. Ia sudah melupakan Bintang. Ia tak ingin lagi memperjuangkan cintanya. Buat apa ia mengejarnya kalau harus menyakiti banyak orang? Lebih mudah baginya untuk menyerah, daripada harus berjuang di atas penderitaan orang lain. .. Bintang mengangkat wajah dari layar laptop-nya saat melihat Naira berjalan menghampirinya. Ia lalu tertegun melihat penampilannya yang tak seperti biasanya. Naira terlihat begitu berbeda. Rambutnya... wajahnya... bahkan gaun yang dikenakannya. "Kamu... cantik sekali..." Gumamnya, tak percaya. Naira tersipu malu, pipinya merona. "Kamu suka?" Tanyanya, penuh harap. Bintang mengangguk lalu beranjak bangun. "Aku pangling. Enggak biasanya kamu berpenampilan kayak gini." "Aku 'kan, tadi pergi potong rambut, terus sekalian belanja make up baru dan baju baru." Naira memutar tubuhnya, menunjukkan lekuk tubuh di balik gaun ketat yang ia kenakan. "Kamu seksi sekali." Bintang menyentuh lembut wajah Naira, membelai rambutnya, lalu menatapi gaun seksi yang dikenakannya. Tiba-tiba saja ia merasa tak asing. Mengapa penampilannya mirip Karenina? Gaya rambutnya... warna lipstiknya... dan baju yang dikenakannya... Sebuah deja vu yang membingungkan. Tatapan Bintang membuat Naira mendadak canggung. Ini adalah pertama kalinya ia berpakaian seksi di hadapan Bintang, dan ia tak tahu lagi bagaimana harus meresponnya. Ia hanya mengikuti petunjuk dari artikel yang dibacanya di internet. "Mmm, kamu mau mandi dulu apa mau makan dulu? Biar aku siapin." Tanyanya, berusaha menutupi kegugupan. "Mandi dulu..." "Oke. Aku siapin dulu air hangatnya." Dan saat Naira membalikkan tubuhnya, Bintang kembali menatapinya dari belakang, seolah mencari sesuatu. Dan bayangan Karenina pun kembali muncul, mengganggu benaknya. "Apa kamu mau menemaniku mandi?" Tanyanya tiba-tiba, sebuah dorongan spontan. Dan Naira menoleh seketika, matanya membulat. Lalu mengangguk dengan wajah merona. Hatinya begitu bahagia. Akhirnya saat yang dinantikannya tiba. Ia memang sangat merindukan sentuhannya, karena sejak kehadiran perempuan itu, Bintang tak pernah menyentuhnya lagi. ... Bintang menatap layar laptop di hadapannya dalam diam. Pikirannya tak tentu arah, melayang entah ke mana. Dan hatinya penuh kebimbangan, sebuah kekosongan yang tak ia pahami. Ia merasa hampa, namun ia tak mengerti apa yang hilang dari hatinya. Ia hanya merasa hidupnya tak lagi sama seperti dulu. Ia lalu mengembuskan napasnya dengan kencang, mencoba mengusir bayangan wajah yang terus mengganggu pikirannya. Ia mencoba mengelak bahwa dialah yang telah membuat hatinya hampa. Bahwa dialah yang telah menghancurkan mimpinya dengan kenyataan yang sulit ia terima. Ironis sekali. Mereka saling mencintai, tapi harus menjalani hidup dengan orang yang tak mereka cintai, hanya karena sebuah komitmen. Sebelum kehadirannya, ia tak pernah mempertanyakannya. Ia sudah merasa cukup dengan cinta Naira. Ia tahu hidupnya akan baik-baik saja bersamanya. Tapi kini ia menyadari bahwa hidup tidak cukup hanya baik-baik saja. Karena hatinya pun berhak merasa bahagia. Dan aku tahu kamu juga merasakan yang sama, Nin, lirihnya dalam hati. Tapi kamu begitu takut untuk pergi. Kamu begitu takut meninggalkannya. Kamu memilih untuk mengorbankan cintamu daripada memperjuangkannya. Apakah kita memang harus berhenti sampai di sini? Bintang membuka ponselnya. Lalu kembali menuliskan pesan untuknya, sebuah pesan yang mungkin tak akan pernah sampai. ... "Nin, Bintang menanyakan kamu terus. Katanya kamu belum membalas pesan-pesannya." Danisa masuk ke ruangan Karenina, raut wajahnya menunjukkan sedikit keprihatinan. "Kan, ponselnya udah sama kamu, Sa? Kamu belum balikin ke dia?" Karenina mengangkat alis, bingung. "Aku tunggu dia ada di kantor. Dia 'kan sering WFH. Kata kamu enggak boleh kirim ke rumahnya takut ketahuan istrinya." "Kalau gitu kamu aja yang balas pakai ponselnya dia," usulnya, mengejutkan. "Kamu serius?" Danisa menatap dengan ragu, tak percaya. Karenina lalu mengangguk. "Tolong, Sa. Aku takut kalau aku berhubungan lagi dengannya hatiku akan kembali goyah. Aku enggak mau bikin masalah lagi, Sa. Aku akan menikah lima hari lagi." Dan Danisa pun akhirnya mengangguk, memahami beratnya beban yang ditanggung sahabatnya. ... Aidan tak berhenti menatap Karenina yang tengah memasak makan malam mereka di dapurnya. Rasanya sudah lama sekali ia tak melihatnya berada di sana, memasak sesuatu untuknya. Tak ada yang lebih membuatnya bahagia saat ini selain melihatnya kembali lagi seperti dulu. Meski luka hatinya masih terasa sakit, tapi ia sudah memaafkannya. Dia perempuan sempurna. Laki-laki mana yang tak akan tergoda olehnya? Tapi sekarang ia tak akan membiarkan laki-laki pengecut itu mendekatinya lagi. Ia bersumpah akan menyeretnya ke penjara jika dia kembali membawanya pergi. Dasar bodoh! Dulu dia menyia-nyiakannya, dan sekarang setelah menjadi milik orang lain dia mau merebutnya kembali. "Dinner ready!!" Suara Karenina menghentikan lamunan Aidan. Ia lalu beranjak bangun dan memeluk Karenina dengan erat, seolah ingin memastikan wanita itu tidak akan menghilang lagi. "I love you so much!" Bisiknya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD