Bintang menatap piring di depan Naira sambil mengerutkan kening. Hanya ada potongan buah di sana. "Kamu cuma sarapan buah?" Tanyanya, takjub.
Naira tersenyum tipis. "Aku lagi diet."
"Diet? Kamu kepingin kurus?"
Naira mengangguk, sorot matanya penuh tekad.
"Tapi 'kan, kamu enggak gemuk-gemuk banget?" Bintang menatapi Naira dari ujung rambut sampai kakinya, bingung.
"Itu artinya aku enggak langsing. Aku mau ngurangin sepuluh kilo lagi."
"Hah?!" Bintang tak bisa menyembunyikan wajah terkejutnya.
"Tapi nanti kamu jadi terlalu kurus, Nai?"
"Kamu enggak suka aku kurus?"
Bintang menggeleng cepat. "Kalau kamu sampai kurus, orang tua kamu nanti nyalahin aku. Disangkanya aku enggak kasih makan kamu?"
Naira memaksa bibirnya tersenyum. Hatinya mencelos. Ia tak menyangka Bintang akan mengatakan itu. Ia mengira dia akan mengatakan jika ia tak perlu diet karena menyukai dirinya apa adanya, tak peduli berat badan.
"Gimana nasi gorengnya, enak?" Naira berusaha mengalihkan pembicaraan, tak ingin membahas lagi tentang dietnya yang menyakitkan.
Bintang mengangguk. "Semua masakan kamu enak. Tapi yang paling enak soto ayam buatan kamu."
Naira tersenyum getir. Tentu saja Soto Ayamnya yang paling enak karena ia menggunakan bumbu instan. Ia menyadari masakannya memang tidak enak, tapi dia tak ingin membuat Bintang kecewa. Dan itu malah membuatnya sering kebingungan. "Kalau gitu nanti siang aku bikinin lagi ya?"
"Kamu enggak repot?"
Naira menggeleng. Dan dia selalu saja takut membuatku repot. Apakah dia lupa kalau ia adalah istrinya? Pikirnya pahit.
"Makasih, ya?"
"Aku juga mau bikinin kamu..." Naira tak jadi melanjutkan ucapannya saat tiba-tiba sebuah panggilan telepon di ponsel Bintang berbunyi nyaring. Dan Bintang pun lalu beranjak pergi, menjauh darinya, untuk menerima panggilan itu.
Naira memandang dengan gusar. Kenapa harus menjauh? Memangnya siapa yang meneleponnya? Mengapa dia takut ia akan mendengarnya? Kecurigaan pun muncul dalam benaknya, menggerogoti sedikit demi sedikit kepercayaannya.
"Hm, sorry, Nai, kayaknya hari ini aku enggak makan siang di rumah. Bu Sita memintaku untuk menemui klien siang nanti," ucap Bintang setelah ia menutup telepon, wajahnya terlihat sedikit terburu-buru.
Dan Naira pun kembali curiga. Kalau cuma Bu Sita, kenapa dia harus menjauh? Namun akhirnya dia memilih untuk percaya. "Enggak apa-apa. Sotonya buat makan malam aja," sahutnya, mencoba terdengar pengertian.
"Aku mau kerja dulu, ya?" Bintang pun lalu masuk ke dalam ruang kerjanya dan menutup pintunya rapat-rapat.
Naira menatap nasi goreng di atas piring Bintang yang tak habis dimakannya. Tumben tidak habis? Biasanya meski tak enak, dia selalu menghabiskannya. Ia lalu menatap pintu ruang kerja Bintang yang tertutup rapat. Dan sekarang pintunya pun ditutup? Apakah dia sedang meeting online?
Tak bisa menahan kecurigaan yang membuncah, Naira beranjak bangun lalu menempelkan telinganya ke daun pintu, mencoba menangkap suara mencurigkan. Tapi kemudian ia mengangkat wajahnya kembali saat tak didengarnya suara apa pun selain ketikan di keyboard komputer. Ah, mungkin dia hanya tak ingin diganggu. Ia pun lalu kembali ke meja makan dan menghabiskan sisa nasi goreng itu. Huh, percuma diet kalau begini, keluhnya. Ia lalu membuka ponselnya dan mengetikkan sebuah kalimat di mesin pencari, "Langsing Tanpa Diet." Sebuah harapan baru, yang mungkin tak akan pernah tercapai.
...
Bintang mempercepat langkahnya saat melihat Danisa melambaikan tangan dari dalam sebuah restoran cepat saji. "Sorry, agak lama cari parkirnya," ucapnya seraya menarik kursi lalu duduk di hadapan Danisa. Ditatapnya tumpukan ayam dan kentang goreng yang sudah tersaji di atas meja.
"Aku order sekalian buat kamu. Biar enggak perlu antre lagi." Danisa menjawab tanya di mata Bintang.
"Oh, thanks! Maaf aku jadi ngerepotin kamu."
Danisa menggeleng. "Aku kebetulan lagi mau lihat tempat di supermarket dekat sini. Aku pikir sekalian aja ketemu kamu."
"Tempat buat apa?"
"Untuk promosi produk baru Chantika."
"Oh..."
"Itulah kenapa sekarang Nina sangat sibuk. Dia juga udah cuti sejak kemarin. Pernikahannya tinggal tiga hari lagi."
Tiba-tiba saja Bintang merasakan sesak di dadanya, seperti ada tangan tak terlihat yang meremas jantungnya. Akhirnya kamu benar-benar akan menikahinya, Nin, bisiknya dalam hati, sebuah realitas yang pahit.
"Nina memintaku untuk mengembalikan ponselmu." Danisa mengeluarkan sebuah ponsel dari dalam tasnya lalu mengulurkannya pada Bintang.
Bintang menatap Danisa dengan bingung. "Kenapa harus dikembalikan?" Tanyanya, ada nada tak percaya.
"Mungkin dia takut Aidan tahu."
"Apa dia baik-baik saja?" Pertanyaan itu keluar begitu saja, penuh kekhawatiran yang tak bisa disembunyikan.
Pertanyaan Bintang membuat Danisa tertawa. "Ya, ampun, Bin, kamu enggak percaya banget sama aku? Aku 'kan, udah bilang dia baik-baik aja."
"Sorry... aku cuma..."
"Takut Aidan nyakitin dia lagi?" Danisa menyambung, memahami arah pikiran Bintang.
Bintang mengangguk, pandangannya meredup.
Danisa menatap Bintang sambil menghela napas panjang. "Jangan khawatirkan dia lagi, Bin. Sekarang mereka sudah kembali mesra. Dan kamu juga harus move on darinya."
"Apa aku boleh tanya sesuatu?"
"Tanya apa?"
"Apa Nina cerita tentang pertemuan terakhir aku sama dia?"
"Maksud kamu yang di rumah Mamanya itu?"
Bintang kembali mengangguk.
"Aku 'kan, terlibat juga di sana. Aku yang jadi partner in crime-nya Nina biar enggak ketahuan Aidan."
"Dan Aidan benar-benar enggak tahu?" Bintang mencoba memastikan, ada harapan kecil di matanya.
Kini Danisa menatap ragu, kilatan kecurigaan muncul di matanya. "Apa maksud kamu, Bin? Apa kamu tahu sesuatu?"
"Aku enggak tahu apakah ini cuma dugaanku saja, tapi waktu aku pulang dari rumah itu aku melihat penjaganya diam-diam menelepon seseorang."
"O ya? Apa kamu kasih tahu Nina?"
Bintang menggeleng. "Aku enggak mau berburuk sangka. Aku hanya berkirim pesan menanyakan apa dia baik-baik saja. Dan dia membalasnya beberapa hari kemudian. Aku berharap itu hanya dugaan. Tapi entah kenapa aku yakin Aidan mengetahuinya." Nada suaranya penuh keyakinan.
Danisa terdiam. Mencoba mengingat kembali kejadian itu. Ia ingat setelah itu Karenina tidak masuk kantor, lalu pernikahannya dipercepat. Dan Mamanya tiba-tiba saja datang. "Dan menurutmu Aidan menyakiti dia lagi?" Tanyanya, suaranya sedikit bergetar.
"Aku berharap enggak."
"Aku akan tanya Nina nanti. Tapi biasanya kalau terjadi sesuatu dia pasti cerita. Tapi kemarin itu dia enggak cerita apa-apa." Danisa mencoba meyakinkan, namun keraguan masih tersisa.
"Mungkin aku hanya paranoid."
Bintang mengembuskan napasnya, mencoba menenangkan diri.
Danisa tersenyum tipis. "It's okay. Aku mengerti kamu sangat mencintainya. Tapi kamu harus melupakannya, Bin, dan melanjutkan hidupmu. Kamu mau pindah, 'kan?"
Bintang mengangguk dengan enggan. "Aku hanya mengikuti keinginan Naira."
"Jadi sebenarnya kamu enggak mau pindah?"
Bintang terdiam, pandangannya jauh. Lalu menggeleng.
"Apa karena Nina?"
Kini Bintang menghela napasnya, lelah. "Aku takut membiarkannya sendiri."
"Dia enggak sendirian, Bin..."
"Dia hidup bersama orang yang hampir membuatnya mati, Sa. Gimana aku enggak khawatir?" Nada suaranya penuh keputusasaan.
"Tapi sekarang mereka baik-baik saja, Bin."
"Apa kamu bisa menjamin hidupnya akan selalu baik-baik saja bersamanya? Bagaimana kalau suatu saat nanti Aidan kembali menyakitinya? Dia pernah menyakitinya dua kali, apa kamu berpikir dia enggak akan menyakitinya lagi?" Pertanyaan Bintang menusuk, penuh kecemasan.
"Tapi Nina bilang Aidan sudah berubah. Dia sudah kembali seperti dulu lagi." Danisa mencoba mempertahankan argumennya.
"Maksudnya seperti setahun yang lalu? Setahun itu bukan waktu yang lama untuk mengenal seseorang. Dia sangat posesif, Sa. Dia terobsesi dengan Nina karena dia mempunyai masa lalu yang buruk."
"Dari mana kamu tahu?" Danisa mengerutkan kening.
"Enggak sulit untuk menyelidikinya. Itu bukan rahasia."
"Kamu memang terlalu paranoid."
Bintang kembali menghela napasnya. "Aku hanya ingin menjaganya, Sa. Aku takut kalau jauh darinya aku enggak bisa menolongnya."
"Tapi hubungan kalian sudah berakhir, Bin."
"Aku bukan mau mendekatinya lagi. Aku cuma mau menjaganya. Supaya dia tahu kalau aku selalu ada dekat dia. Aku enggak akan memaafkan diriku kalau sesuatu terjadi aku enggak bisa menolongnya."
Tiba-tiba hati Danisa terusik. Kalau Aidan benar-benar mencintai Karenina, bukankah dia tak akan menyakitinya? Sebuah pertanyaan yang kini mengganjal di benaknya.