Karenina berlari ke jendela saat mendengar suara mobil berhenti di seberang rumahnya. Ternyata si penghuni misterius itu baru datang, gumamnya saat melihat seorang pria keluar dari pintu kemudi dan membuka pintu pagar rumah itu. Kemudian, seorang laki-laki ber-hoodie keluar dari pintu belakang dan tergesa masuk ke dalam rumah. Karenina mengerutkan keningnya. Jadi dia punya sopir? Tapi kenapa dia seperti tidak mau terlihat orang lain? Dan cara berjalannya... mengapa seperti tak asing?
"Mbak Kariiiin!"
Panggilan itu membuat Karenina terkejut. Dilihatnya Rifan sudah berdiri di depan pagar rumah sambil menenteng sebuah bungkusan di tangannya. Ia lalu bergegas membuka pintu.
"Saya belikan martabak manis buat Mbak Karin! Kebetulan saya baru gajian," Rifan mengulurkan bungkusan itu pada Karenina dengan senyum lebar.
"Aduh, Mas Rifan ngasih terus... saya jadi enggak enak. Saya enggak pernah kasih apa-apa," Karenina menerima bungkusan itu dengan sungkan, merasa tak enak hati.
"Loh, kemarin kan, Mbak Karin udah kasih saya buah-buahan mahal kiriman 'secret admirer'-nya Mbak Karin itu?" Rifan menggodanya, mengingatkan keranjang buah misterius itu.
Karenina tersenyum mendengarnya. Sampai saat ini ia memang masih belum tahu siapa pengirim buah itu. "Makasih banyak, Mas... Mas Rifan baru pulang kantor?" Tanyanya.
"Iya, nih. Tadi saya juga habis mampir ke pos satpam tanya informasi tentang penghuni baru itu." Rifan melirik ke arah rumah di depannya, matanya penuh rasa ingin tahu.
"Orangnya baru datang..." Bisik Karenina seraya meletakkan telunjuk di bibirnya, mengajak Rifan ikut berbisik.
"Oh ya? Kok, enggak ada mobilnya?" Tanya Rifan sambil ikut berbisik, heran.
"Mobilnya baru aja pergi. Tadi dia diantar sopir."
"Diantar sopir? Dia punya mobil mewah dan sopir tapi tinggal di rumah kecil kayak kita?" Rifan mengernyitkan keningnya, semakin bingung.
"Rumah itu kayaknya cuma dijadikan tempat singgah. Dia enggak pernah menginap di sana," bisik Karenina lagi, membagi dugaannya.
"Mencurigakan..." gumam Rifan, matanya menyipit penuh selidik.
"Mas Rifan punya informasi apa?"
Karenina tak sabar ingin tahu.
"Kata Pak Satpam, penghuni itu namanya Pak Adi. Kerjanya jual rumah."
"Jual rumah?"
"Mungkin dia agen real estate."
"Ooh. Terus?"
"Cuma itu aja. Katanya dia menyewa rumah itu buat satu tahun."
"Apa sudah terverifikasi?" seloroh Karenina sambil mengedipkan mata, mengingat percakapan mereka sebelumnya.
Dan Rifan pun tertawa mendengarnya. "Nanti kalau saya udah kenalan."
"Kayaknya dia enggak mau kelihatan orang. Tadi keluar dari mobil pakai hoodie dan buru-buru masuk rumah."
"Oh ya? Hmm... mungkin dia habis perawatan wajah?" Seloroh Rifan, lagi-lagi membuat Karenina tertawa.
Dan Karenina pun tak bisa menahan tawanya. "Mas Rifan bisa aja!"
"Oke, nanti saya akan selidiki. Sekarang saya balik dulu, ya. Mau mandi."
"Oke, Mas Rifan. Terima kasih martabaknya," Karenina melambaikan tangan.
Saat Rifan berlalu dari hadapannya, Karenina pun kembali masuk ke dalam rumah dan mengunci pintunya. Namun, rasa penasaran yang tak terbendung membuatnya kembali membuka tirai jendela dan mengintip ke arah rumah itu. Tapi tiba-tiba saja ia menutupnya kembali saat menyadari sosok itu seperti tengah menatap ke arahnya.
Karenina mengerutkan keningnya. Siapa dia sebenarnya? Mengapa dia mematai-matainya? Apakah dia mengenalnya? Atau jangan-jangan dia memang penjahat? gumamnya. Tapi kalau penjahat, masak punya mobil mewah dan sopir? Dan buat apa dia mematai-matai dirinya, toh dia bukan siapa-siapa. Dan dia juga bukan orang kaya yang mempunyai harta benda berharga di rumah ini. Dengan rasa yang semakin penasaran, ia pun kembali mengintip lewat celah tirai. Namun kali ini sosok itu sudah tak ada lagi. Tirainya sudah tertutup rapat. Karenina menarik napasnya dengan lega. Ah, mungkin hanya kebetulan saja, ucapnya mencoba menenangkan hati.
Daster Baru dan Kenangan Lama
Naira menatap jam di dinding kamarnya. Sudah hampir pukul lima sore. Waktunya menyiapkan kopi dan camilan untuk Bintang. Ditatapnya kembali pantulan dirinya dalam cermin. Wajahnya tampak segar dan tubuhnya terasa lembap dan harum karena baru saja selesai mandi. Ia lalu merapikan kembali baju terusan longgar pemberian Mbak Mai yang dikenakannya. Baju terusan selutut berbahan katun yang nyaman. Kata Mbak Mai itu namanya 'home dress', padahal ia biasa menyebutnya daster. Mulai saat ini ia tak boleh lagi meniru pakaian ala Karenina. Ia harus menjadi dirinya sendiri. Mudah-mudahan Bintang suka, gumamnya seraya keluar dari dalam kamar dan berjalan menuju dapur.
Naira meletakkan dua cangkir kopi dan sepiring Apple Pie di atas meja teras lalu duduk menunggu. Ia akan menemani Bintang minum kopi sambil mengobrol dan bercerita seperti yang diinginkannya. Meski ia bingung apa yang harus ia ceritakan. Bukankah dia sudah tahu semua tentang dirinya? Sejak kecil hidupnya pun biasa-biasa saja. Tak ada hal menarik yang bisa ia ceritakan atau banggakan. Ia malah takut Bintang akan bosan mendengarkannya.
"Hei... Kamu udah rapi?"
Tiba-tiba saja Bintang sudah berdiri di hadapannya, senyum tipis terukir di bibirnya.
Naira mengangguk sambil tersenyum. "Kamu udah selesai kerjanya?"
"Sebenernya sih, belum. Tapi aku mau ngopi dulu. Nanti aku terusin lagi habis Maghrib," sahut Bintang seraya menghempaskan tubuhnya di atas kursi, tampak sedikit lelah.
"Lagi banyak proyek, ya?"
Bintang mengangguk. "Selain di perusahan Bu Sita, aku juga kan, nerima kerjaan freelance."
"Oh..." Hanya itu yang bisa keluar dari bibir Naira. Tanya apa lagi, ya? tanyanya bingung dalam hati.
"Baju baru, ya?" Bintang tiba-tiba bertanya, matanya menelusuri penampilan Naira.
"Hah?" Pertanyaan itu mengagetkan Naira.
"Baju kamu baru? Aku kok, baru lihat?"
"Ooh! Iya... eh, maksudnya baru dikasih Mbak Mai kemarin. Kamu suka?" Naira bertanya dengan sedikit gugup, menanti reaksi Bintang.
Bintang kembali mengangguk. "Lebih cocok sama kamu."
Wajah Naira berubah sumringah, kelegaan memenuhi hatinya. Ternyata benar apa yang dikatakan Mbak Mai, gumamnya dalam hati.
"Kamu sekarang jadi suka ngopi juga?" tanya Bintang melihat dua cangkir kopi di atas meja.
"Iya... kan, aku harus nemenin kamu ngopi?" Naira menjawab polos.
Jawaban Naira membuat Bintang tertawa lepas, sebuah tawa yang jarang terlihat akhir-akhir ini. "Jadi kamu terpaksa ngopi karena untuk nemenin aku?" Tanyanya di sela tawanya.
"Aku enggak terpaksa kok, Bin. Aku ikhlas!" Naira menjawab serius, tak mengerti mengapa Bintang tertawa.
Dan Bintang pun kembali tak bisa menahan tawanya. Ditatapnya Naira yang kebingungan melihat sikapnya. Kini ia mengerti apa yang membuatnya menyukai Naira. Dia sering membuatnya tertawa dengan kepolosannya yang menggemaskan.
"Kamu enggak harus melakukan hal yang sama, Nai. Kamu bisa nemenin aku sambil minum teh kesukaan kamu, atau minum apa saja yang kamu suka. Atau enggak minum pun enggak apa-apa," Bintang menjelaskan, senyumnya masih tersisa.
Naira tersenyum. "Enggak apa-apa, Bin. Aku sekarang udah suka kok, minum kopi," sahutnya, hatinya sedikit menghangat.
"Hmm, kalau gitu kamu harus coba ngopi di tempat camping. Rasanya lebih nikmat. Kalau kamu mau, kita bisa pergi ke sana weekend ini." Bintang mengusulkan, matanya berbinar.
"Ke mana, Bin?" Naira menatapnya dengan mata berbinar, antusias.
"Ke tempat yang pernah aku ceritain dulu. Aku ingin mengenang masa-masa indah bersama teman-teman kampus dulu."
Mengenang masa indah? Jadi dia mengajakku camping untuk mengenang masa lalunya yang indah bersama Karenina? Tiba-tiba saja Naira merasa dadanya begitu sesak, seolah dihantam benda tumpul. Mengapa ia tak pernah berhenti mengingatnya?
"Kamu mau kan?" Bintang bertanya, menatapnya penuh harap.
Dengan terpaksa Naira mengangguk, senyumnya terasa kaku.
"Kamu pasti suka, Nai. Karena di sana kamu bisa melihat hamparan bunga matahari yang sangat indah..."
Naira menahan air matanya yang akan menetes saat melihat mata Bintang tiba-tiba saja bersinar terang, penuh kebahagiaan. Ia dapat melihat dengan jelas sinar kebahagiaan di sana, tapi bukan untuknya. Seketika ia merasa dirinya tak berarti, semua yang dilakukannya sia-sia. Karena Bintang tak pernah merasa cukup dengannya, dan Karenina masih menjadi bayangan yang begitu kuat di hatinya.