Saat Curiga Mulai Datang

1356 Words
Setengah berlari Danisa masuk ke ruangan Karenina lalu menutup pintunya. "Ok, tell me now!" Desaknya penasaran. "Yang mana?" "Insiden itu? Kamu ketahuan Aidan?" Karenina mengangguk. "Aku enggak sengaja manggil namanya waktu kita sedang ..." Karenina menghela nafasnya. Danisa membulatkan matanya dan menutup mulutnya yang sedikit terbuka. "Aku... enggak tau mau bilang, tapi itu fatal!" Karenina menatap kosong ke arah dinding di depannya. "Kamu yakin dia akan percaya kalau Bintang itu perempuan?" Karenina mengangkat kedua bahunya. "Mungkin lambat laun dia akan tahu juga." "Tapi kemarin itu dia enggak marah, kan?" "Waktu dia bertanya, dia menindihku sangat kuat sampai aku hampir enggak bisa bernafas. Sampai aku memohon..." "Ya, Tuhan! Tapi kamu enggak apa-apa?" Danisa menggenggam tangan sahabatnya. Karenina menggeleng. "Aku takut, Sa. Dia belum pernah begitu sebelumnya." "Kamu harus berhenti mengejar Bintang, Nin!" "Sekarang, aku jadi ragu dengan pernikahanku." "Tapi enggak mungkin kamu membatalkannya. Aidan akan membunuhmu kalau sampai kamu membatalkannya." Karenina tersenyum getir. "Aku harus bagaimana?" "Kamu harus berhenti dulu bertemu Bintang. Lalu kamu perbaiki hubunganmu dengan Aidan. Mungkin saja sikapnya itu karena dia merasakan aroma perselingkuhanmu. Dia pasti sudah curiga dengan perubahan sikap kamu beberapa hari ini. Dia kan, orang yang sangat detail?" "Tapi aku sama Bintang enggak ngapa-ngapain. Kami hanya berpelukan." "Astaga! Nina! Kamu janji enggak akan menyentuhnya!" Danisa menggeleng-gelengkan kepalanya. "Kamu harus berhenti, Nin! Sebelum terlambat." "Aku semakin jatuh cinta padanya, Sa." Danisa mengusap wajahnya. "Kamu harus pikirkan Aidan. Kalau sampai dia tahu... Aku resign, Nin! Aku enggak mau ikut bertanggung jawab." Karenina tertawa dengan getir. Kini ia kembali merasa ketakutan. Dua hari tinggal di apartemennya ia bahkan tak berani membuka ponsel. Aidan terus mengamati gerak-geriknya dengan matanya yang setajam elang. Kini ia semakin merindukan Bintang. Ia ingin kembali berada dalam dekapannya yang membuatnya begitu tenang. Sebuah pesan singkat tiba-tiba masuk ke ponselnya. Bintang? Dibalasnya pesan itu, dan saat Bintang kemudian membalasnya ia pun menyandang tas nya lalu buru-buru keluar dari ruangannya. "Mau kemana, Nin?" Danisa mengejarnya dengan bingung. "Lebih baik kamu enggak tau, Sa." "Aku harus bilang apa kalau Aidan cari?" "Bilang saja enggak tahu." "Ninaaa!" Tapi Karenina sudah berlari jauh Bintang sudah menunggunya di lobi saat Karenina datang. Tanpa membuang waktu, Karenina langsung menariknya masuk ke dalam elevator, membawa Bintang menuju salah satu unit apartemen. "Ini apartemen yang aku beli untuk disewakan," jelas Karenina, melihat ekspresi tanya di wajah Bintang. "Tapi sekarang sedang kosong, tidak ada yang menyewa." "Kita mau membicarakan apa, Nin?" Tanya Bintang. "Aku..." Karenina menjatuhkan tubuhnya di atas ranjang. Ia menatap Bintang dengan ragu, kebingungan apakah harus menceritakan kejadian yang baru dialaminya. Ia khawatir jika cerita itu justru akan membuat Bintang menjauhinya. "Nin..." Bintang beranjak duduk di samping Karenina, menatapnya lebih dekat. "Apa ini tentang Aidan?" Karenina mengangguk pelan, seolah berat. "Apa dia sudah tahu tentang hubungan kita?" Melihat gurat cemas di wajah Bintang, Karenina semakin ragu untuk memulai cerita. "Ada apa, Nin?" nada suara Bintang kini dipenuhi kekhawatiran yang kian memuncak. Karenina akhirnya tak sanggup lagi menahan diri. "Peluk aku, Bin..." Ucapnya lirih, dengan mata berkaca-kaca menatap Bintang. Bintang pun tak lagi melontarkan pertanyaan. Ia membiarkan Karenina terisak dalam dekapannya. ... Karenina masuk ke dalam kantornya diiringi tatapan takut Danisa dan para karyawan lainnya. Ia tahu Aidan telah menunggunya, dan siap untuk menginterogasinya. Tujuh pesan dan dua belas panggilan tak terjawab sudah lebih dari cukup untuk membuatnya menjadi tersangka utama. Ah, mengapa ia sampai tertidur begitu lelap? Sesal menyeruak. Pelukan hangat Bintang telah membuatnya melupakan segalanya, bahkan Aidan. Karena menahan napas. Di sana, Aidan duduk di kursinya, dengan ekspresi wajah yang sangat dingin. "Maaf, aku ketiduran di apartemenku," ucap Karena, berusaha sekuat tenaga terdengar tenang, meskipun detak jantungnya berdebar kencang. "Jangan bohong! Aku baru saja mencarimu ke sana," sergah Aidan, bangkit dari duduknya. Ia melangkah mendekati Karena yang sengaja menjaga jarak. "Aku ke apartemen baruku, Aidan." Mata Aidan menelusuri Karenina dari ujung rambut sampai kaki, seolah mencari bukti kejahatan. "Ngapain kamu ke sana?" tanyanya tak percaya. Karenina mencoba beralasan, "Aku cuma ngecek aja. Terus ketiduran di sana." Wajah Aidan semakin merah, deru napasnya penuh emosi. "Aku tahu kamu berbohong, Nin. Kamu menyembunyikan sesuatu dariku." Karenina melangkah mundur hingga punggungnya menyentuh dinding. "Aku enggak menyembunyikan apa-apa, Aidan..." Tatapan Aidan menajam, menusuk hingga ke jantung Karenina. "Kamu enggak bisa mempermainkan aku, Nin. Karena cepat atau lambat aku akan mengetahuinya!" Karenina menatap Aidan ketakutan. "Kalau satu kali lagi kamu berbuat seperti ini, aku akan mempercepat pernikahan kita. Secepat-cepatnya! Dan kalau aku tahu kamu berselingkuh dariku aku akan membuat kamu dan kekasih gelapmu itu menyesal seumur hidup!" ucapnya dengan tatapan mengancam. Dan saat Aidan akhirnya meninggalkannya, tubuh Karenina ambruk ke lantai dan bergetar hebat. Danisa, yang sedari tadi terus mengawasi, bergegas masuk ke ruangan dan membantu Karenina duduk di kursi. "Aku tidak ingin menikah dengannya, Sa..." Karenina menatap sahabatnya dengan putus asa. "Kamu tenang dulu, Nin..." "Aku takut, Sa..." "Dia memang sengaja membuatmu takut." "Aku akan meninggalkannya, Sa." "Nin?!" Danisa menatap sahabatnya dengan mata terbelalak. "Aku tidak ingin bersamanya lagi." "Kamu harus berpikir jernih. Jangan mengambil keputusan saat sedang emosi." "Tapi aku enggak akan sanggup hidup bersamanya, Sa. Sekarang aku baru melihat watak aslinya. Dia kejam, Sa!" "Kamu harus berhenti bertemu Bintang, Nin! Dia seperti itu karena sangat mencintaimu. Dia sengaja membuatmu takut karena sebenarnya dia yang sangat takut kehilangan kamu." Karenina menggelengkan wajahnya. "Aku membencinya, Sa..." Lirihnya. ... Kamu makan apa tadi siang?" Tanya Aidan dengan nada datar, suaranya nyaris tertelan bising klakson dan deru mesin yang sangat macet sore itu. Matanya tetap lurus menatap jalanan di depannya, namun rahangnya tampak mengeras. "Fried chicken." Aidan mendengus pelan, mengerutkan kening. "Makan sama siapa?" Ada jeda sesaat yang terasa sangat panjang. Jantung Karenina berdebar tak nyaman. "Aidan, aku enggak selingkuh." Kepala Aidan akhirnya menoleh, menatapnya tajam. Ada kilatan kekecewaan di sorot matanya. "Aku enggak bilang kamu selingkuh. Aku cuma tanya kamu makan siang sama siapa? Tadi siang kamu bilang ketiduran di apartemen. Kamu makan siang di sana, kan?" Karenina mengangguk kaku. Ia memang tidak ingin berbohong. Tapi ia juga tak mungkin menceritakan bahwa ia makan siang bersama Bintang. "Iya. Aku ketiduran. Dan aku pesan ayam goreng cepat saji." "Selama ini aku enggak pernah lihat kamu makan fried chicken," sahut Aidan, tatapannya menyapu wajah Karenina, mencari sesuatu. "Teman makan siang kamu yang beli?" Pertanyaan terakhir itu, meskipun terdengar biasa, terasa seperti cambuk. Karenina merasa terpojok. Dia tahu Aidan tidak percaya sepenuhnya. "Itu makanan kesukaanku waktu kuliah." "Jadi, kamu makan siang dengan teman sekampusmu dulu?" Suara Aidan terdengar datar, namun tatapannya dari samping terasa menusuk, seolah berusaha membaca isi pikiran Karenina. Karenina menelan ludah. Jantungnya berdebar, dihantui keraguan. Apakah Aidan sudah tahu? Atau hanya mencoba memancing? Rasa takut yang sempat mereda kini kembali melingkupinya. "Jawab, Nin!" Suara Aidan meninggi, menuntut jawaban. "Aku makan sendiri, Aidan!" Aidan menghela napas panjang, tatapannya beralih ke jalan raya di depan. "Akhir-akhir ini kamu bertingkah aneh, Nin," gumamnya, lebih seperti sebuah pernyataan daripada pertanyaan. "Kamu terlalu posesif, Aidan," balas Karenina, sedikit bernada kesal. "Kamu tidak mengerti rasanya cemburu," Aida kembali menatap tajam. "Pernahkah kamu cemburu padaku?" Karenina membeku. Pertanyaan itu membuatnya terdiam, tak mampu menjawab. Bagaimana mungkin ia bisa cemburu jika dia selalu mengawasinya seolah ia adalah satu-satunya pusat kehidupan selain pekerjaannya. "Aku merasa kamu tidak mencintaiku lagi seperti dulu. But, it's ok. Aku mengerti. Mungkin kamu lagi jenuh dan sibuk dengan perusahaan barumu. Aku cuma minta kamu jujur. Jangan ada lagi yang kamu sembunyikan dariku." "Aku tak bisa menyembunyikan apa pun darimu, Aidan. Sejak kita berpacaran kamu yang mengatur seluruh hidupku. Kamu melarangku untuk bergaul bersama teman-temanku lagi. Kamu bahkan menyimpan semua nomor telepon mereka. Kalau kamu curiga, kenapa enggak sekalian saja menanyakannya pada mereka?" Ada gurat lelah di wajah Karenina. "Maafkan aku. Tapi mencintaimu kadang menghilangkan akal sehatku. Berjanjilah kamu tidak akan bersikap aneh lagi. Kamu akan menjawab setiap pesan dan teleponku. Aku harus tahu ke mana kamu pergi biar aku tidak mencemaskanmu. Aku sangat mencintaimu, Nin. Aku takut kehilangan kamu." Aidan lalu meraih tangan Karenina dan menciumnya. Hati Karenina melunak mendengar pengakuan itu. "Kita makan malam di apartemen kamu aja, ya? Kita pesan Thai Food kesukaan kamu?" Tanya Aidan dengan tatapan yang lembut. Membuat Karenina akhirnya mengangguk. "Senyum, dong..." Aidan menyentuh lembut wajah Karenina. Karenina akhirnya tersenyum. Kini ia sudah kembali lagi pada dunianya yang nyata.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD