CHAPTER 3

2186 Words
"Kau hanya harus percaya, maka semua akan baik-baik saja." -Mbok Ijah- Semesta sudah menuntun manusia ke jalannya masing-masing. Hanya saja terkadang manusia itu terlalu bebal, menciptakan jalannya sendiri. Kelabu sudah dibuatnya. Begitulah manusia, tak akan pernah puas. Layaknya harta, setelah memiliki banyak, akankah puas? Justru kau akan merasa kurang dan kurang. Jarang sekali merasa cukup. Tak cukup dengan yang sudah dimiliki. Seakan semuanya tak berguna dibuatnya. Membuat sifat rakus berada di urutan teratas. Begitu pula yang dirasakan Nia, sang manager Rayya. Ia sudah mendapatkan segepok kontrak yang amat menguntungkan dompet. Memanfaatkan popularitas Rayya yang tengah melonjak tinggi. Citra Rayya sebagai aktris harus terus bersinar bahkan di tengah gelap sekalipun. Melelahkan memang tapi hasilnya sebanding dengan semua itu. "Rayya, setelah ini kamu akan menghadiri acara talk show salah satu acara televisi ternama." Rayya mengangguk. Dia tahu hal itu sejak kemarin. Acara itu dipandu pelawak yang sudah mendapat banyak penghargaan. Perolehan yang cukup mengesankan. Rayya menghela napas kasar, cepat ia beranjak dari duduknya. Sebentar lagi jadwal syutingnya akan dimulai. Ia harus bersiap sepenuhnya. Ini akan menghabiskan beberapa season. Tak akan selesai cepat. "Rayya," Seseorang memanggilnya dari belakang. Itu Jess, salah satu kru yang menangani bagian peralatan. Tampak ia membawa gunting dan sebuah jingjingan. Kru disini memang sudah terbiasa berinteraksi dengan pemain. Membuat harmoni dalam kesatuan sinetron ini. "Ada apa?" tanya Rayya sejurus kemudian. Ia heran tentu saja. Dalam scene setelah persiapan kali ini tak membutuhkan alat yang begitu berarti baginya. "Tadi aku keluar, biasa keperluan. Kau tahu, di luar banyak sekali fans yang mengumpul." tutur Jess. Rayya menggangguk mafhum. Hal itu sudah biasa terjadi. Penggemar yang penasaran kadang hadir membludak di lokasi syuting. Beberapa malah sanggup menunggu sampai akhir. "Nah, salah satunya memberi ini untukmu." Jess menyodorkan jingjingan itu. Sekilas itu seperti makanan. Bau harum yang menguar dari situ menguat keyakinan akan itu. "Terima kasih. Tapi ini dari siapa?" "Penggemarmu, siapa lagi? Ah, aku dengar temannya memanggil dia mbok Ijah." Jess mengangkat bahunya. Ia kemudian berlalu, pekerjaan menumpuk menunggunya. Mbok Ijah? Terdengar tidak asing di telinganya. Rayya membuka kotak bekal itu, kebetulan ia masih agak lapar. Sarapannya tadi hanya dengan dua iris roti dan segelas s**u. Belum termasuk kategori sarapan menurutnya, itu hanya pengganjal sementara. Itu adalah nasi kuning dengan topping ayam goreng. Rayya terperangah, ini makanan favoritnya saat masih kecil. Perutnya yang keroncongan membuat Rayya cepat melahap santapan di hadapannya itu. Terasa lezat di lidahnya yang masih menyukai cita rasa tradisional. "Makanan kampung hanya untuk orang kampung," suara sinis seseorang membuat Rayya menengadah. Ia membatalkan suapannya saat melihat siapa yang berbicara. "Hai Rayya, apakah itu enak?" Suara berat lainnya terdengar penasaran. Begitu mendominasi. "Tentu saja ini enak. Kau mau mencobanya, Raja?" Rayya tersenyum manis. "Kau yakin mau mencoba makanan kampung itu? Bagaimana jika itu sudah terkontaminasi bakteri jahat di luar sana, hihhhh, membayangkan saja sudah ngeri." Tanaya bergidik saat mengatakannya. Tatapannya jelas mengatakan bahwa ia menganggap Rayya lebih rendah darinya. Rayya menatap Tanaya tajam tapi ia tak melakukan apapun. Ini masih di lokasi syuting, tak baik membuat keributan antar pemain. Bagaimanalah chemistry itu akan terbentuk nantinya? Ia melahap kembali makanannya, perutnya masih belum puas menikmatinya. Tanpa mempedulikan muka Tanaya yang masam, jika saja ini komik mungkin sudah ada tanduk merah di kepalanya dan hidung mengeluarkan asap. Rayya terkekeh memikirkan hal itu, ia menggeleng cepat berusaha mengenyahkan pikiran konyolnya. Setelah cukup puas ia membereskan bekasnya. Ia beringsut dari duduknya, mbak Nia sudah melambaikan tangannya pertanda syuting dimulai. Beruntung ia tampil di scene kedua. Namun ia tetap saja harus bersiap. Semua pemain butuh penampilan sempurna sesuai dengan peran masing-masing. "Kau terlihat cantik," sebuah bisikkan mendarat di telinganya. Rayya menoleh. Mukanya bersemu saat mendapati Jonathan di sampingnya. Kapan ia disini? Ia bahkan tak menyadari kehadirannya. Jonathan terkekeh, ia mengelus perlahan rambut Rayya sebelum beranjak ke tempat rias. Scene dia tampil sedikit lama. Apalagi scene pertama belum selesai jua. Tanaya dan Nazia berulang kali melakukan kesalahan. Padahal peran mereka hanyalah sampingan sebenarnya. "Cut, cut, cut, potong bagian itu. Ganti berikutnya." teriak pak sutradara. Dengan sigap Rayya maju. Ia berakting sesuai perannya. Terlihat beberapa memotret kegiatan syuting hari ini. Beberapa penggemar sinetron ini yang melihat reka adegan mulai menerka-nerka apa yang akan ditampilkan di layar kaca. Mencoba membuat kesimpulan sesuai dugaan masing-masing. Mempertanyakan alur yang tengah diatur. Beberapa jam berlalu tanpa disadari. Begitu cepat untuk mereka yang beraktivitas dengan padatnya. Namun beberapa ada saja yang menggerutu, menyalahkan waktu yang begitu lama bergerak. Semua memang tergantung kondisi dan situasi. Begitu pula dengan Rayya, ia mengusap titik keringat di dahinya menggunakan tissu. Lumayan menguras energinya. Apalagi ia harus berakting menangis tadi, hampir saja membuat matanya bengkak. Syukurlah mbak Nia mempunyai tips mengatasinya. "Rayya, sepuluh menit lagi kita akan bergerak. Setelah makan kamu akan langsung ke acara talk show." Mbak Nia memeriksa kembali jurnalnya yang tak lepas dari jangkauannya. "Baik," Rayya memainkan gawai miliknya, membuka social media yang bertuliskan namanya. Niat hati ingin merehatkan sejenak pikirannya yang agak penat hari ini. Apalagi cuaca yang terik membuatnya pusing, sejak dahulu memang sinar matahari adalah musuh terbesarnya. Terkena sedikit maka kepalanya akan langsung pusing. Rayya mendongak saat melihat tangan menjulur menyodorkan se-cup kopi. Seulas bulan sabit muncul di wajahnya yang manis, menambah keelokan yang bagai purnama itu. "Kau pasti haus," "Terima kasih. Kau tahu saja kalau aku sedang haus." Jonathan mengintip isi gawai milik Rayya, "Lagi lihat apa sih?" "Hanya scroll beranda ** saja. Membosankan." Jonathan tersenyum, ia mengambil gawai Rayya. Membuka kamera lalu mengajak Rayya ber-swa photo. "Bagaimana kalau ini di unggah?" tanya Rayya sejurus kemudian. Mukanya bersemu saat melihat photo mereka yang tengah berangkulan. "Itu terserah dirimu." Jonathan mencubit gemas pipi Rayya lalu mengacak rambutnya. Kekehannya terdengar begitu ringan. "Aish, kau ini." gerutu Rayya sambil membenarkan posisi rambutnya. Ia memukul pelan lengan Jonathan yang tengah menatapnya. Senyum tak terlepas dari wajah mereka. Auranya terlibat begitu memukau. "Maaf mengganggu. Ini sudah waktunya Rayya pergi." Suara mbak Nia memecah keheningan di antara mereka. Rayya menarik hidung Jonathan sebelum beranjak pergi. "Aku pergi dulu sayang," pamitnya Jonatan tersenyum lalu mengangguk, "Jangan lupa, besok aku akan menjemputmu untuk berangkat syuting." Rayya melambaikan tangannya. Ia tak akan lupa, sungguh. Baginya, bertemu dengan Jonathan adalah anugerah terindahnya. Entah mengapa ia begitu yakin bahwa Jonathan adalah belahan jiwanya. Namun, di balik rasa percaya seorang Rayya ada rencana semesta yang begitu indah. Menampilkan fakta baru yang bagaikan pelangi di hidupnya kelak. Kisah punyanya sudah ditakdirkan untuk menjadi istimewa. Berbeda dengan kepunyaan orang lain. Langkah Rayya dan mbak Nia terhenti. Seseorang menghadang jalan mereka. Itu hamyalah nenek tua beserta rekannya. Rayya ingat, dia mbok Ijah! Seseorang di acara kemarin dan sepertinya yang mengirim makanan tadi pagi. Ia ingat betul, orang tua satu ini adalah penggemarnya. "Ada apa ya mbok?" tanya mbak Nia. "Mbok hoyong photo sareng neng Rayya, eh sanes, Kuncrit yang mau photo bareng." ucap mbok Ijah dengan bahasa daerahnya yang belepotan karena dicampur dengan bahasa Indonesia. "Lah, apa pula kau ini? Kenapa jadi aku yang kau korbankan. Bilang saja kalau kau yang ingin photo, tak usah lah seret namaku juga." Pak Kuncrit akhirnya bersuara. "Stt, diem. Nurut aja sih, naon sesahna?" bisik mbok Ijah yang bahkan volume suaranya bisa terdengar oleh orang di sekitar mereka. "Ya tapi tak usah pakai namaku juga. Gengsi kau gedein aja, ngaku aja kalau kau yang ingin photo," repetan Pak Kuncrit terdengar seperti seorang anak yang merajuk karena tak dibelikan mainan seperti punya temannya. "Ya serah aku lah rek nganggo nami saha wae. Kau diem aja, nurut," pungkas mbok Ijah. "Alah, bilang saja rasa gengsimu itu besar sangat." Mbak Nia mengurut keningnya saat melihat tingkah dua lansia di hadapannya. Sesekali ia melirik jam di pergelangan tangannya. "Maaf ya mbok dan bapak. Rayya ada acara yang tidak bisa ditunda. Lain kali saja photonya ya. Kami permisi." Mbak Nia menyeret Rayya cepat, langkahnya yang terburu menandakan bahwa ia amat takut terlambat. Mobil yang membawa mereka melesat membelah jalanan ibukota. Awalnya semua terlihat baik saja. Namun tingkah pak Asep—supir Rayya—yang berkali-kali melihat spion membuat perhatian mereka teralihkan. "Ada apa pak Asep?" tanya Rayya. Gelagat pak Asep begitu panik, "Ada yang ngikutin kita dari tadi. Bapak liat sejak kita keluar dari kompleks syuting tadi. Kira-kira siapa ya non?" Rayya menoleh ke belakang. Benar saja, ada yang mengikuti mobil mereka. Namun, sosok di balik kemudi terlihat familiar. Sekejap Rayya dan mbak Nia berpandangan. "Itu kan mbok Ijah dan pak Kuncrit." kata mbak Nia saat menyadari siapa sosok itu. Rayya menggelengkan kepalanya. Terlalu lelah untuk melayani kedua lansia itu. "Biarkan saja pak, mereka paling cuma nguntit aku." Rayya tak habis pikir, untuk apa pula mereka berdua menguntit dirinya. Apalagi ini terlihat begitu terang-terangan. Apakah menjadi penggemar harus sefanatik itu? Rayya tak yakin. Ia mengenyahkan pikiran tentang kedua lansia itu. Ada banyak hal yang mesti dilakukannya. Hal ini tak harus menguras pikirannya. Membuang energi saja. Hanya saja Rayya tak menyadari bahwa ini adalah salah satu rencana semesta yang dibuat khusus untuknya. Plot ini terlalu mengejutkan nantinya. * Rayya menguap. Jam di samping tempat tidurnya menunjukkan pukul 05:15 waktu setempat. Semalam ia pulang pukul sebelas malam. Lagi-lagi mbok Ijah mengagetkannya dengan keberadaannya di sekitar apartemen Rayya. Ia menyodorkan sekotak makanan. "Neng sibuk syuting sampe teu sadar teu acan makan. Kumaha pami neng engkin sakit. Pan nu repot mah nu nguruskeun." Rayya tersenyum tipis saat mendengar itu semalam. Sudah lama sekali, kapan ia mendapat omelan seperti itu? Apakah tujuh belas tahun yang lalu? Ia tak ingat benar. Yang pasti ia amat merindukan momen dimana ia diomeli karena menghabiskan selai kacang di meja. Namun, yang ia herankan. Dari mana mbok Ijah tahu ia tinggal disini? Rayya mengangkat bahunya. Ia menggeliat. Beranjak bangun dari posisi rebahan yang sialmya begitu enak. Dengan malas ia menyibak gorden. Mempersilahkan cahaya mentari masuk, membasuh keseluruhan kamar Rayya. Larik cahayanya begitu syahdu jatuh di permukaan lantai. Membuat siluet yang begitu indah. Rayya bergegas menyiapkan dirinya. Ia harus tampil menarik hari ini. Bukan karena ada acara penting yang akan dihadirinya. Bukan pula acara syuting yang memaksa berpenampilan seperti itu. Hanya saja pagi ini Jonathan akan menjemputnya. Mungkin terdengar sepele tapi ini berarti baginya. Ping Jonathan : Aku sudah sampai, keluarlah darl. Pesan dari Jonathan membuat bibir Rayya membentuk bulan sabit, melengkung dengan sempurna. Ia bergegas turun, hatinya membuncah bahagia. Namun, langkahnya lagi-lagi terhenti. Mbok Ijah rupanya sudah menunggunya. "Neng, mbok pengen photo bareng, boleh?" Rayya mengangguk cepat. Ia mengambil gawai mbok Ijah. Cepat melakukan swa photo bersama. Dia tak mau terganggu lagi. "Sudah ya mbok. Rayya ada urusan," pamit Rayya. Rayya hendak melangkah lagi tapi lemgannya ditahan oleh mbok Ijah. Dahi Rayya mengernyit, apa lagi setelah ini. "Mbok pengen cerita, neng dengerin yah." pintanya kemudian. Rayya menggeleng, ia sedang terburu-buru. Tak ada waktu untuk mendengarkan curhatan nenek tua. Jonathan sudah menunggunya. "Rayya gak bisa, sudah ditunggu." "Sebentar aja neng," muka mbok Ijah memelas. Tangannya tak melepaskan lengan Rayya. "Ada apa ini?" Rayya dan mbok Ijah menoleh ke arah suara bariton yang menegur mereka. Itu Jonathan yang berbalut jas. Terlihat begitu gagah dan angkuh. Dahinya mengernyit saat melihat posisi lengan Rayya. Cepat ia membebaskan Rayya. Membawanya ke sisinya. Matanya menatap tajam mbok Ijah. "Mbok cuma mau bilang kalau laki-laki ini gak baik buat neng Rayya. Dia gak cocok buat disandingkan sama neng Rayya. Mending kalian teh putus aja." Dua manusia di hadapan mbok Ijah terperangah mendengar ucapannya. "Mbok gak ada alasan ngatur hidup kami. Mbok bukan siapa-siapa." tukas Jonathan. "Mbok penggemar neng Rayya!" Jonathan mendengus dibuatnya. Ia memandang Rayya sambil mengetuk-ngetuk jam di tangannya. "Maaf ya mbok, tapi ini urusan kami. Mbok gak ada hak buat atur hidup Rayya." ucap Rayya. "Mbok cuma gak mau neng Rayya terluka. Neng harus nurut kalau dibilang orang tua tuh. Putus aja sama Jonathan. Dia gak baik buat neng Rayya." Jonathan menghempaskan tubuh mbok Ijah sampai ia tersungkur. Amarahnya sudah tersulut. "Mbok bukan keluarga Rayya jadi gak usah ikut campur." "Mbok bilang juga apa, Jonathan gak baik buat neng Rayya. Pokoknya neng Rayya harus putus sama Jonathan sekarang. Mbok gak mau neng Rayya terluka karena dia. Dia jahat. Dia munafik!" jerit mbok Ijah. Jonathan berbisik, "Urus dia sayang. Dia sudah gila!" Rayya mengangguk, dia juga terusik oleh sikap mbok Ijah yang menurutnya sudah kelewatan. "Mbok bukan siapa-siapa Rayya. Mbok bukan keluarga Rayya. Mbok cuma penggemar Rayya. Sama sekali gak ada hak buat ikut campur urusan Rayya. Terserah Rayya mau berbuat apa, mbok sama sekali gak bisa melarang Rayya." "Denger itu bodoh!" sentak Jonathan. Ia kembali mendorong mbok Ijah sampai terjungkal lagi. Jonathan cepat melewati mbok Ijah, membawa Rayya. Bergegas hendak pergi dari situasi membingungkan itu. Mbok Ijah bangkit dari jatuhnya. Ia menatap tajam pasangan yang berlalu. Jarak mereka hanya lima langkah. Suara mbok Ijah terdengar menggelegar, "Kalian tak bisa mengelak dari takdir. Mbok bersumpah, neng Rayya akan merasakan apa yang mbok rasakan. Ini kutukan yang akan menimpa neng Rayya. Bersiaplah!" Deg. Hati Rayya bagai tersengat listrik jutaan volt. Ia merasa tak nyaman setelah mendengar hal itu. Sesuatu sepertinya akan menimpanya, dan ini bukan hal yang baik sama sekali. "Jangan dipikirkan. Dia sudah gila, dia hanya membual soal kutukan itu. Kamu gak usah mikirin hal ini lagi. Lebih baik kita bergegas, ya meski akan terlambat sih." Jonathan terkekeh saat melihat jamnya. Ia merangkul Rayya. Rayya tersenyum, mengangguk pelan. Jadwal padat sudah menunggunya. Ia harus segera sampai.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD