BAB 1 — Retak yang Tak Bersuara
Ada hari-hari ketika dunia tampak berjalan seperti biasa.
Langit tetap kelabu. Jam berdetak seperti biasa.
Manusia berlalu-lalang, sibuk dengan dunianya sendiri.
Tapi di dalam diriku—
ada sesuatu yang perlahan… hancur.
Retak, sunyi, tak terlihat.
Dan tak ada satu pun yang peduli.
Karena retakannya... tak bersuara.
---
Aku duduk di meja kerja.
Punggung lurus, mata lelah menatap layar.
Jari menggantung di atas keyboard, tapi pikiran terbenam entah ke mana.
Cahaya putih lampu kantor menyorot tanpa ampun.
Membuat segalanya terasa steril, tapi sekaligus dingin.
Dan dingin itu—bukan berasal dari ruangan.
Tapi dari dalamku sendiri.
> Kosong.
Bukan karena kehilangan perasaan.
Tapi justru karena terlalu banyak merasakan,
sampai tak ada ruang lagi untuk mengeluh.
---
Namaku Arkha Valiant.
Kata mereka, terdengar gagah.
Kata mereka, seolah aku ditakdirkan kuat.
Tapi jujur saja,
ada malam-malam ketika aku iri pada orang mati—
karena mereka tak perlu lagi pura-pura kuat.
---
📅 2021 — aku kehilangan sesuatu yang tak bisa kuulang.
📅 2022 — aku mati rasa.
📅 2023 — aku bangkit, setengah hati.
📅 2024 — aku gagal. Tapi tetap berjalan.
📅 2025 — aku masih di sini. Tapi setiap hari terasa seperti tenggelam…
dengan mata terbuka.
---
> “Kamu kenapa, Khak? Tatapanmu… kayak orang yang udah nyerah hidup.”
Kata seseorang.
Entah teman. Entah rekan kerja. Entah siapa.
Aku cuma tersenyum.
Karena dia benar.
Aku hidup — tapi hanya sebagai benda yang bernapas.
Bukan manusia.
Hanya eksistensi yang numpang lewat di antara detik-detik asing.
---
Setiap malam aku pulang…
Bukan ke rumah.
Tapi ke ruangan sunyi yang sekadar jadi tempat tubuhku rebah.
Jiwaku tertinggal.
Di kantor.
Di jalan.
Di ingatan yang tak pernah aku undang —
tapi tetap datang seperti tamu tak tahu malu yang tahu di mana aku menyembunyikan kunci.
---
Aku menatap cermin.
Sosok di sana menatap balik.
Matanya tajam. Tapi bukan karena kemarahan.
Melainkan karena diam terlalu lama.
Karena… lupa bagaimana cara meminta tolong.
---
Aku pernah mencoba menangis. Tapi air mataku kering.
Pernah mencoba berdoa. Tapi suaraku terlalu pelan untuk sampai ke langit.
Pernah ingin menghilang. Tapi kakiku terlalu sopan untuk benar-benar melangkah ke titik tanpa kembali.
> Jadi aku tetap tinggal.
Bukan karena kuat.
Tapi karena... terlalu keras kepala untuk menyerah.
---
Dan hari itu…
Bukan hari dengan badai.
Bukan gempa.
Bukan tragedi.
Justru karena semuanya terlalu biasa.
Terlalu... diam.
Terlalu... rapi.
Aku sadar —
bukan hidup yang sedang kulewati.
Tapi sekadar bertahan.
Dari satu pagi ke malam berikutnya.
Dengan harapan konyol…
bahwa suatu hari,
ada seseorang yang akan menggenggam tanganku,
dan bilang:
> “Kamu nggak perlu jadi kuat sendirian.”
Tapi tidak ada.
Tidak pernah ada.
---
Jadi aku bangkit dari kursi.
Kupasang lagi topeng lama —
yang bahkan topengnya pun sudah kelelahan.
Dan kembali menjadi Arkha Valiant.
Pria dengan tatapan tajam, langkah terarah, dan punggung tegak…
yang tampak utuh dari luar —
Padahal di dalamnya...
reruntuhan itu sudah lama jadi abu.
---
Hari itu bukan awal yang heroik.
Bukan titik balik yang dramatis.
Tapi hari itu...
aku berhenti berpura-pura.
> Bukan karena akhirnya kuat.
Tapi karena berpura-pura… lebih menyakitkan dari kenyataan.
---
> Dan dari hari itu, semuanya mulai bergeser.
Bukan ke arah yang lebih baik.
Tapi ke arah yang tak pernah bisa kuprediksi...