Bab 6 - Bertemu Orangtua

1276 Words
Empat pasang mata tengah saling pandang sekarang terutama Sean yang tatapannya kelihatan tegas dan menghakimi. "Kenalin Pa, Ma. Ini Olivia, calon istriku," ujar Damian mantap. "Selamat malam Om, Tante! Kenalin saya Olivia." Olivia mengenalkan diri dengan suara yang sopan dan lembut. Tak lupa memamerkan senyumnya yang manis. "Malam Olivia, kamu cantik sekali, Nak." Sonya membalasnya dengan ramah. Tak seperti Sean yang kelihatan lebih tegang. "Makasih Tante. Tante juga sangat cantik." "Ah, kamu bisa aja." "Kenal di mana dan udah berapa lama pacarannya? kayaknya baru pertama kali ke sini ya?" timpal Sean seraya melirik tepat ke Olivia. Olivia merasa dit*lanj*ngi dengan tatapan tajam itu, ia membasahi bibirnya gugup. "Aku sama Olivia pertama kali ketemu di restoran, waktu itu kebetulan dia makan di sana." Damian mengambil alih untuk menjawab. Olivia tertegun mendengar jawaban Damian lalu dengan cepat mengangguk. "Kami baru setahun pacaran. Tapi, aku udah yakin dengan Olivia," sambung Damian seraya menatap Olivia dengan tatapan tulus penuh cinta. "Olivia, kesibukannya apa sekarang? kerja di mana?" kali ini Sean menyebut nama Olivia agar Damian tak lagi mengambil alih. "Hmm ... Aku ...." "Olivia kerja di Pink Bakery, Pa." Lagi-lagi Damian yang menjawab. "Hah, di tempat kita dong berarti? kok Papa nggak pernah ketemu?" Olivia hanya menyunggingkan senyumnya. Singkatnya keluarga Addison adalah keluarga konglomerat yang cukup berpengaruh di Indonesia. Dari zaman nenek moyang, mereka telah membangun kerajaan bisnis di bidang F&B yang tersebar luas di beberapa kota termasuk Jakarta sebagai pusatnya dan diturunkan ke anak cucu. Di bawah nama Addison Group, berdiri deretan restoran mewah, kafe-kafe kekinian yang selalu dipadati pengunjung, dan toko roti ternama yang menjadi kebanggaan keluarga—Pink Bakery, yang selalu terjual habis setiap harinya. "Iya, Olivia baru keterima kerja di sana. Ya 'kan sayang?" Damian sengaja menatap Olivia dengan senyum lebarnya. Olivia menyunggingkan senyum canggungnya. Rasanya ia ingin mencubit pinggang lelaki itu saking menyebalkannya dia. Seenaknya bertindak sendiri. Olivia menarik napas panjang, mencoba mengendalikan degup jantungnya yang tak karuan. Ruang tamu yang tadinya terasa hangat kini berubah seperti ruang interogasi. Sean masih menatapnya tajam, seolah berusaha membaca apa pun yang tersembunyi di balik mata cokelatnya. "Besok sudah mulai kerja ya?" tanya Sonya memecah suasana tegang. "I-iya Tante." "Wah, semangat ya Nak. Pink Bakery lagi banyak project baru, pasti seru. Kalau nggak sibuk, besok Tante ke sana juga deh." "Iya Tante, terima kasih," jawab Olivia sopan. Jemarinya saling menggenggam di bawah meja, sampai pucat karena terlalu erat menahan gugup. Dan obrolan terus berlanjut. Suasana yang tadinya kaku mulai mencair ketika Sonya sesekali melontarkan candaan ringan dan Sean menanggapi dengan santai. Olivia ikut tertawa kecil, mencoba menyesuaikan diri dengan ritme hangat yang mulai tercipta. Sonya berusaha keras membuat suasana cair dan nyaman untuk semua orang, walaupun Damian tidak menyukai ibu tirinya itu tapi dia menghargai usahanya dan membiarkannya berbicara tentang apa saja, sampai tak terasa waktu makan malam datang dan Olivia diajak makan malam bersama dengan keluarga Addison. Pukul 9 malam, Damian pamit untuk mengantarkan Olivia pulang. "Heh! kamu ini memang pria gila ya!" Olivia akhirnya bisa mencubit lengan Damian dengan puas saat mereka sudah di dalam mobil. "Aww, sakit tahu!" Damian mengaduh kesakitan seraya mengusap-usap lengannya. "Kamu pikir pernikahan itu hanya main-main?! bagaimana bisa kamu bohong sampai segitunya? jangan-jangan kamu memang sering bohong ya? pro banget kelihatannya." Olivia melirik sinis orang yang duduk di sebelahnya sambil bersedekap d**a. "Ya, terus aku harus gimana, menurut kamu? Jawab jujur? Kalau jawab jujur, sudah dipastikan kamu tidak akan lolos menjadi calon mantu. Papaku itu lumayan strict soal jodoh untuk anaknya." Olivia menghela napas, menyandarkan tubuhnya seraya memijat keningnya frustasi. "Terus, aku harus gimana? gimana kalau mamamu benar-benar datang besok ke toko rotinya?" "Ya udah kamu tinggal kerja di sana," jawab Damian enteng. "Enteng banget kalau ngomong." "Ya iyalah, aku ini termasuk orang penting di sana. Jadi, aku bisa bebas menempatkan orang di mana saja," ucap Damian angkuh, wajahnya terdongak, tak lupa dengan seringaian khasnya yang menyebalkan namun sialnya tampak menawan di mata Olivia. "Ya, terserah deh. Tapi, besok jemput aku. Aku tidak tahu di mana tempatnya." Olivia melirik Damian dengan ekor matanya. "Aman." "Terus sekarang kita mau ke mana?" "Ngantar kamu pulang." Damian menghidupkan mesin mobil lalu memegang setir, mobil perlahan bergerak meninggalkan kediaman orangtua Damian. "Ya udah antar aku—" "Untuk sementara waktu kamu tinggal di apartemen sebelum nikah denganku, aku yang biayain semuanya. Jadi, kamu nggak perlu khawatir," potong Damian dengan cepat. Olivia tersentak. "Tapi semua pakaianku ada di kost-an." "Kamu bisa mengambilnya besok." "Ok," jawab Olivia pasrah kemudian menyenderkan tubuhnya yang lelah. *** Keesokan harinya. Tok tok tok! Olivia menggeliat dalam tidurnya ketika mendengar suara pintu kamarnya diketuk keras dari luar. Tok tok tok! Ia sontak membuka matanya, menyibak kasar selimut yang membungkus tubuhnya, matanya belum sepenuhnya terbuka. "Siapa sih yang datang pagi-pagi begini? ganggu aja," gumamnya dengan suara serak seraya menggaruk kepalanya. Dengan malas ia beranjak dari ranjang lalu berjalan dengan langkah malas sambil mengucek-ucek matanya. Tok tok tok! Ceklek! "Selamat pagi, cantik!" Kelopak mata Olivia membesar seolah tak percaya dengan pemandangan yang dilihatnya sekarang. Bagaimana tidak, Damian sudah berdiri di hadapannya sekarang dengan pakaian rapi dan ekspresi menyebalkannya itu. Dia tampak mengangkat tinggi sebuah totebag. "Mau apa kamu di sini? ini masih pagi loh." Damian menghela napas seraya menurunkan totebag yang ada dalam genggamannya. "Kamu pasti lupa? hari ini adalah hari pertamamu bekerja di pink bakery. Kamu tidak ingat? aku juga bawakan kamu seragamnya." "Hah, astaga! Aku lupa!" Olivia mencengkram rambutnya frustasi. "Kamu belum terlambat, kamu masih punya waktu setengah jam lagi," kata Damian yang melirik ke jam di pergelangan tangannya. Dengan gerakan cepat, Olivia menarik totebag yang dibawa Damian. "Tunggu sebentar!" lalu kembali menutup pintu. Sementara Damian hanya menyunggingkan senyum tipis lalu kembali ke lobi. Beberapa saat kemudian, Olivia turun ke lobi, menjumpai Damian yang benar-benar masih menunggu bersama Dean di sana. Seragam untuk pekerjaan Olivia yang baru adalah sebuah kemeja dan celana panjang yang warnanya gabungan antara pink dan putih, sangat anggun dan feminim sangat berbanding terbalik dengannya yang menyukai warna gelap tapi mau gimana lagi, dia tidak bisa menolak. Bisa mendapatkan pekerjaan baru saja, dia sudah bersyukur. "Ternyata kamu cocok juga dengan warna itu," celetuk Damian sempat-sempatnya menggoda Olivia. "Tapi, aku tidak suka." "Aku tidak bicara tentang pendapatmu, aku bicara tentang pendapatku," ujar Damian lalu melangkah duluan keluar dari apartemen, meninggalkan Olivia yang cemberut di belakang. "Aku sudah atur semuanya agar kamu bisa langsung kerja hari ini. Semua karyawan masuk jam 8 pagi dan pulang jam 5 sore," celetuk Damian saat di tengah perjalanan. Damian dan Olivia duduk di jok belakang, sementara Dean yang menjadi supir. "Hah ... Tapi hari ini aku harus ke pengadilan agama. Pengadilan agama biasa tutup jam 5 sore." "Kalau begitu pulanglah lebih awal," ucap Damian enteng. Olivia sontak mengusap wajahnya kasar. Bukannya meringankan bebannya, hidupnya justru terasa semakin berat setelah bertemu dengan pria tampan yang duduk di sebelahnya itu. "Apa kamu bodoh, huh?!" maki Olivia tanpa bisa ditahan sampai membuat Dean yang sedang menyetir spontan melirik ke kaca spion. "Aku nggak mungkin bisa bersikap seenaknya di hari pertamaku bekerja. Kalau aku kena marah gimana?" "Kamu tidak akan kena marah. Kamu tinggal minta izin ke manajer dan sebut namaku, bilang kalau aku sudah mengizinkanmu pulang lebih awal. Gampang 'kan?" Olivia tertegun lalu menghela napas berat seraya menggeleng-gelengkan kepalanya. Dia baru tahu bila orang kaya memang suka bertindak seenak itu. Setibanya di toko roti 'Pink Bakery' salah satu bisnis F&B milik keluarga Addison. "Terima kasih sudah mengantarku, aku turun dulu," ujar Olivia cuek sebelum membuka pintu. Damian hanya diam namun pandangannya tak pernah lepas dari wanita itu walau dia sudah turun dari mobil. Sudut bibirnya terangkat membentuk senyum tipis. "Dean, nanti sore jemput dia dan antarkan kemanapun dia pergi. Jangan sampai dia lari lagi," perintah Damian. "Baik Pak."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD