3 – TERTAWAN HATI

1045 Words
Seminggu berjalan begitu lambat hingga kepala Rinka hampir meledak memikirkan sisa uangnya yang semakin menipis. Apalagi ketika admin keuangan kampus menghubunginya untuk penarikan uang semester, Rinka tidak punya pilihan selain membayar menggunakan sisa tabungannya yang sekarang tersisa 917 dollar. Rinka memang tergolong mahasiswa berprestasi, tapi tidak semua orang pintar beruntung. Dan Rinka juga bukan satu-satunya mahasiswa pintar di kampusnya, masih banyak saingannya yang jauh lebih pintar di atas Rinka sehingga mereka lebih layak menerima kesempatan beasiswa 100%. Rinka sudah cukup beruntung bisa mendapat beasiswa dengan potongan 50%. Rinka tidak pernah menggunakan uangnya untuk belanja kebutuhan yang tidak penting, bahkan ia jarang membeli makanan menggunakan uang pribadinya karena kampusnya sudah menyediakan makan gratis di kantin, begitu juga cafe tempatnya bekerja. Beruntungnya Rumah sakit Johns Hopkins juga memberi fasilitas makan gratis untuk semua pegawai dan anak magang, jadi Rinka tidak perlu takut kelaparan saat magang di sini. Tapi masalahnya! Karena shift 24 jam non stop itu Rinka jadi tidak memiliki waktu luang untuk bekerja parttime, dan tidak ada pemasukan lagi ke dompetnya sejak menjadi suster pribadi Dominic Rykerth. Rinka biasanya baru pulang ke apartemen pukul 10 malam setelah memastikan Dominic tidur dan tidak membutuhkan apa-apa, namun bukan berarti saat di apartemen ia bisa lepas tanggung-jawab begitu saja. Rinka perlu bersiaga jika sesuatu yang darurat terjadi dan Dominic tiba-tiba meneleponnya. Seperti dua hari yang lalu di jam 2 dini hari, Dominic menelepon Rinka yang terpaksa bangun dari tidurnya dan kembali ke rumah sakit karena pria itu mengeluh tidak berhenti batuk. Rinka tidak bisa menganggap remeh penyakitnya. Rinka mungkin saja bisa menggunakan waktu tidurnya untuk bekerja, tapi bagaimana saat ia bekerja Dominic tiba-tiba menelepon dan melaporkan kondisi darurat lagi? Rinka tidak mungkin meninggalkan pekerjaannya, tapi ia juga tidak bisa mengabaikan panggilan Dominic. “Arghh!” Gadis itu mengacak rambutnya frustasi, menyebabkan nursing capnya terjatuh ke lantai. Saat Rinka memungut kembali topi susternya, bell di dekat meja komputer berdering pertanda Dominic memanggil. Rinka bergegas menemuinya ke kamar. “Ada yang bisa saya bantu Mr.Dom?” Pria itu melepas kaca-mata bacanya kemudian memindahkan laptop ke meja, sepertinya ia baru selesai bekerja. Dominic kemudian menatapnya dan Rinka buru-buru menundukkan pandangan. “Aku sudah menyuruhmu berhenti melakukan itu suster Rinka, atau kamu sengaja melakukannya untuk membuatku kesal?” protes Dominic, tampaknya pria itu sedang dalam suasana hati yang buruk. Rinka terpaksa memandang Dominic lagi karena tidak ingin jadi sasaran empuk kemarahannya. “Baik Mr.Dom!” “Biar kuberi kamu sedikit nasihat. Menatap lawan bicara merupakan tatakrama dalam berkomunikasi lisan. Menatap mata lawan bicara juga salah satu bentuk rasa sopan dan menghargai,” tutur Dominic. Rinka mengangguk tanpa banyak bicara meskipun dalam hati merasa kesal karena pria itu malah menceramahinya soal tata krama. “Dimana nursing cap milikmu?” Dominic bertanya, merasa ada yang kurang saat melihat Rinka tanpa topi susternya. Rinka mengangkat tangan kanan yang menggenggam topinya. “Topi saya tadi jatuh, dan saya belum sempat memasangnya lagi karena Anda memanggil.” Rinka merasa agak aneh saat menjawab karena untuk apa juga Dominic peduli pada penampilannya? Apa dia tipe pria perfeksionis yang melihat segalanya harus sempurna? “Pasang sekarang!” perintahnya dengan wajah datar. Sesaat Rinka mengerutkan kening, tapi ia menurut saja dan berbalik memunggungi Dominici untuk memasang topinya. Namun Rinka merasa kesusahan menyematkan jepitan rambut ke topinya karena tidak ada cermin. Sebenarnya bisa saja Rinka memakai nursing capnya tanpa jepitan, tapi tanpa jepitan topinya akan mudah geser lalu jatuh dan bisa memengaruhi efisiensi pekerjaannya. “Emm… boleh saya izin ke toilet sebentar, saya tidak bisa memakainya tanpa bercermin.” Rinka berbalik lagi meminta izin Dominic yang masih diam memerhatikannya dengan tangan bersedekap bak seorang bos. Satu tangan pria itu kemudian melambai menyuruh Rinka mendekat. What the mean it? Rinka bergeming mengerjapkan mata di tempatnya, tidak paham maksud dari perintah Dominic barusan. “Kemarilah, biar aku bantu.” Perkataan itu seolah menjawab kebingungan Rinka saat ini. DAN APA MAKSUDNYA ITU?! Otak Rinka seketika memasang status siaga mengetahui Dominic terang-terangan menyuruhnya mendekat. “Tidak perlu repot-repot Tuan, ternyata aku sudah bisa.” Rinka spontan menyematkan jepitannya secara asal-asalan ke rambut karena yang penting topinya bisa melekat di atas kepala. Lalu tanpa diduga, Dominic justru tertawa melihat tingkah grasak-grusuknya. “Hahaha!” Rinka langsung terpesona di detik pertama melihat tawa lebar Dominic yang semakin memancarkan aura ketampanannya. Wajah dingin karena mood buruk yang beberapa saat lalu Rinka lihat di wajah Dominic kini menghilang tergantikan keceriaan berbahaya yang mendatangkan perasaan asing muncul dalam hatinya. Jangan bilang kalau dia baru saja jatuh cinta pada Dominic Rykerth? Hanya karena tawa memesona itu? Rinka menggeleng panik, tidak percaya hatinya akan berkhianat secepat ini. “Mr.Dom tolong berhenti tertawa!” Rinka refleks mengucapkannya karena tak tahan dengan tawa memesona Dominic yang berimbas buruk ke jantungnya yang saat ini dag-dig-dug tak karuan. Dominic seketika berhenti tertawa, “Maaf, aku tidak bermaksud menertawakanmu,” katanya, kembali memasang ekspresi dingin. Rinka bersyukur gelombang cinta itu berakhir, dan Dominic jauh lebih baik berwajah datar seperti saat ini ketimbang tersenyum atau tertawa padanya. Sebab bukan hanya ketampanannya saja yang berbahaya, senyum dan tawanya ternyata lebih berbahaya karena mampu menawan hati Rinka yang kini telah jatuh cinta padanya. “Kemarilah, aku hanya ingin membantu memasang topimu.” “Saya sudah bilang tidak perlu Mr.Dom…” “Ini perintah.” Nada suaranya berubah mengerikan dan terkesan tidak ingin mendengar penolakan. Rinka pun tidak ada pilihan lain selain menurutinya. “Apakah Anda suka membantu suster lain memasang topinya juga?” tanya Rinka ketika tangan Edward bergerak di atas kepalanya memperbaiki letak jepitan di cap nursing Rinka agar terpasang sempurna. Dalam posisi sedekat ini Rinka dapat melihat dengan jelas alis tebal, mata biru, hidung mancung, bibir seksi dan rahang wajahnya yang nyaris tidak ada cela. Tuhan… sungguh indah ciptaanMu ini, batin Rinka. “Tidak, ini pertama kali dan hanya kulakukan padamu,” jawab Edward. Rinka spontan terbelalak, lalu menatapnya dengan pipi merona. Detak jantungnya kembali menggila, membuat Rinka merasa tidak nyaman dengan situasi ini. Terlebih lagi di bawah pengawasan sepasang mata biru milik pria itu, Rinka semakin gugup sampai rasanya lupa cara bernapas. “Kenapa Anda membantu saya hanya untuk hal-hal kecil seperti ini?” Dengan senyum meneduhkan Edward menjawab, “Karena kamu suster pribadiku.” Dan saat itu juga Rinka menyerah menghalangi perasaannya, karena sepertinya—mustahil untuk tidak jatuh cinta pada pria memesona seperti Dominic Rykerth. BERSAMBUNG...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD