bc

Hirap Kenangan

book_age16+
77
FOLLOW
1K
READ
dark
fated
mafia
no-couple
mystery
city
crime
photographer
model
gorgeous
like
intro-logo
Blurb

Tara menderita amnesia retrograde akibat kecelakaan yang menimpa dirinya sewaktu kecil. Malam itu, selain kecelakaan yang menimpa Tara, dia juga harus kehilangan dua orang keluarga yang tersisa, ayah dan adik lelakinya. Ayah Tara meninggal terbunuh di malam itu dan sang adik menghilang.

Setelah bertahun-tahun akhirnya sang adik dinyatakan meninggal. Tara tumbuh diadopsi menjadi seorang fotografer ternama yang karyanya sangat diakui. Hingga seorang model muda bernama Axel Dafa, yang akan bekerja sama dengan timnya muncul. Mengubah dunianya. Menarik dirinya dalam sebuah pembunuhan seorang istri muda pengusaha ternama. Axel yang menjadi tersangka utama kasus pembunuhan itu juga mendapat teror lain yang mengancam nyawanya.

Mampukah Tara menarik diri dari kasus tersebut? atau malah berusaha melindungi Axel dari bahaya setelah tahu siapa model muda tersebut.

Cover by: Jejeana

chap-preview
Free preview
1. Hantu Kenangan
“Kakak!!!” “Kak, Tolong!!” Kembali pria itu terbangun setelah mimpi yang sama berulang kali. Tiap malam, tidur bagi pria itu adalah hal mewah yang harusnya bisa disyukuri banyak orang. Sedang dia harus bersusah payah agar bisa tertidur. Setelah mendapatkan mimpi yang sama, pria itu bangkit dan bersiap memulai harinya yang sama. Megantara Ryo berhenti sejenak di depan pintu. Dia memperhatikan sekeliling ruang tamu sambil menjinjing tas selempang berukuran sedikit besar, biasa digunakannya untuk membawa peralatan fotografi. Sebuah jaket abu-abu muda tergeletak di sofa berwarna kayu, tapi tidak mengganggunya. Setelah puas melihat sekeliling, Tara menutup pintu depan rumah dan menguncinya. Dengan kemeja hitam lengan panjang, tubuh yang selalu dia jaga dengan rajin melakukan olahraga itu terlihat sempurna. Pria dengan tinggi 178 cm itu memasuki SUV putih yang tampak kontras dengan penampilannya. Sebelum melaju menuju Bogor, tempat tujuan, Tara tampak membalas beberapa pesan yang masuk melalui ponsel. Setelah membalas pesan-pesan yang masuk, kembali dia terdiam sejenak sebelum akhirnya menyalakan mesin mobil dan melaju menuju Bogor, ke rumah ibu angkatnya. Menjelang weekend seperti saat ini, lalu lintas memang seperti belantara yang padat kendaraan. Sebenarnya pria itu enggan menuruti keinginan ibu angkatnya, karena dia tahu tujuan pertemuan malam ini. Beberapa kali dia menghembuskan napas dengan kasar. Waktunya terlalu berharga untuk sebuah kemacetan yang bukan hal baru baginya yang hidup di ibukota. Beberapa kali ponsel-nya berdering, tapi saat dia melihat siapa yang meneleponnya dia mengabaikan panggilan itu. “Ibu” dan “Audrey” menelpon secara bergantian, tampak dari nama yang muncul ketika panggilan telepon tadi. Langit tampak menghitam perlahan. Lampu-lampu jalan mulai dinyalakan bersamaan. Namun, kepadatan lalu lintas tak tergoyahkan, bagaikan sekelompok semut yang mengantri untuk mendapatkan jatah makanan manis mereka. Lagi-lagi dering ponsel Tara memecah hening. Dengan malas dia melihat kembali siapa gerangan yang meneleponnya, dia kira ibu angkat atau Audrey yang kembali menelpon dirinya. Setelah melihat nama yang tertera di layar, Tara menggeser gambar telepon berwarna hijau tanpa menunggu alunan nada dering miliknya selesai. “Ya?” jawabnya cepat seolah takut pria yang menelepon mematikan panggilan itu. Tampaknya penting. “Bro? di mana lo?” sapa suara pria yang sedikit berat dan serak dari saluran telepon. “Jalan, menuju Bogor. Ada infromasi terbaru?” jawab Tara lagi dan masih tampak terburu-buru. “Ke rumah ibu lo? Ada, nih, informan gue dapat sesuatu, paketnya udah dikirim siang tadi dari Singapura. Semoga bisa sampai Senin atau paling lambat Selasa. Mau gue kirim ke kantor? Apa ke rumah?” tanya suara itu kembali. “Ke rumah aja, kalau gue belum balik selip-in di tempat biasa. Senin gue ada meeting di Spectrum kemungkinan bakal hectic. Gue harap kali ini ada hasil,” ucap Tara seraya menggigit bibir bawahnya. Tara memiliki bentuk bibir yang unik. Hal itu juga merupakan daya tarik seorang Tara. Banyak model-model yang bekerja dengannya terjebak dengan pesona yang dimiliki Tara. Sayang, pria itu terlalu sibuk dengan pekerjaan dan sesuatu yang tengah dia cari sejak beberapa tahun terakhir ini. “Oke, ntar gue kabarin lagi.” Saluran terputus. Tara menghela napas dan kembali fokus dengan belantara kendaraan yang tak kunjung usai dia lewati. Sejak bisa menghasilkan uang sendiri Tara memutuskan untuk tinggal mandiri di ibukota. Dia masih merasa ada sesuatu yang tidak pernah disampaikan kepadanya. Sesuatu mengenai masa lalu yang tidak mampu dia ingat seutuhnya dan dia benci itu. Potongan-potongan kecil ingatan yang hampir tiap malam dia lewati mengusik dirinya. Dia yakin adiknya masih hidup ketika tragedi di malam nahas itu terjadi, tetapi orang-orang di sekitarnya berkata lain. Kesal dengan kondisi dirinya membuat Tara menjauh dari orang-orang yang memberinya kasih sayang. Dia tidak ingin perasaan sayang itu berubah menjadi kecewa saat dia tahu, mereka yang dia percaya ternyata menyembunyikan sebuah rahasia. Tara tumbuh menjadi pria yang dapat dibanggakan orang tua mana pun. Dalam asuhan ibu angkatnya Tara dapat terlepas dari tragedi mengerikan di masa lalu, setidaknya orang-orang berpendapat demikian. Akhirnya jalanan padat merayap tergantikan oleh pemandangan yang sudah lama tidak dia lihat, meskipun malam menjelang, lampu jalan membantunya mengingat masa lalu. Tara menghentikan kendaraannya di depan sebuah tanah kosong. Rumput-rumput tinggi tumbuh dengan liar menutupi sisa bangunan yang telah dirobohkan. Selama belasan tahun setelah kejadian itu, pemandangan ini seolah menariknya untuk mengingat sesuatu yang tidak mampu dia gapai seberapa pun dia menginginkannya. Dia menyerah dan melanjutkan perjalanan menuju tempat tujuan awalnya. Rasanya dia ingin berlama-lama di sana menatap kosong reruntuhan yang pernah menjadi tempatnya tinggal bersama ayah dan adik lelakinya yang hilang. Pria itu memasukan SUV putihnya ke dalam garasi yang terbuka. Ketika dia masuk melalui pintu samping yang langsung terhubung dengan dapur, seorang wanita yang sudah dia kenal ada di sana, bersama sang ibu yang menghampirinya dengan senyum sumringah. “Lama banget, Nak?” tanya sang ibu sambil mengecup kedua pipi pria itu. “Weekend−macet adalah hal yang tidak bisa dipisahkan. Ibu, sehat?” Tara membalas kecupan tepat di kening wanita paruh baya itu masih dengan senyum menawan. “Ibu tetap sehat walau anak lelakinya sibuk dengan pekerjaan dan jarang memberi kabar,” ucap wanita itu menarik Tara masuk lebih dalam ke rumah mereka. Pria itu tertawa saja mendengar sindiran yang sudah sering diucapkan oleh ibu angkatnya. “Dari jam berapa di sini?” tanya Tara kepada wanita yang lebih muda. “Sore, sekitar pukul tiga atau empat. Aku berangkatnya dari siang ke sini,” ucap wanita berambut lurus berwarna cokelat coca-cola. Tubuh tinggi dan sedikit berisi miliknya sangat menarik ditunjang wajah oval dengan sepasang mata cokelat yang indah. Audrey, pernah menjalin kasih asmara bersama Tara sebelum akhirnya kandas di tengah jalan. Wanita muda itu masih mencintainya, tapi Tara ingin agar hubungan mereka tetap seperti ini, hingga dia dapat menyelesaikan teka-teki kehidupannya sendiri. “Beda prioritas!” sambar sang ibu masih dengan senyum menawan miliknya. Di usia seperti saat ini, dokter Syifa, begitu dia dikenal, masih sangat bugar dan sehat. “Oh ayo lah, jangan membesar-besarkan masalah. Aku tadi meeting dulu sebelum job besar nanti hari Senin sama tim. Kalau tahu seperti ini mendingan aku nggak datang sama sekali?” ucapnya menunggu reaksi kedua wanita itu dengan sabar. “Oke, maaf kan ibu. Bersihkan dirimu dan ayo kita makan malam.” Setelah mandi, Tara turun kembali ke ruang makan bersama ibu dan Audrey, mantan kekasihnya. Walau sudah menjadi mantan, Audrey sudah terlanjur dekat dengan ibu yang jatuh hati padanya. Lagi pula Tara juga terlihat tidak keberatan, Audrey adalah teman yang sangat baik selama ini, di luar konflik percintaan mereka. Audrey pamit pulang walau ibu memaksanya menginap saja di rumah yang sangat besar ini, tapi gadis itu tahu tempatnya dan berjanji akan kembali pagi-pagi untuk membantunya menyiapkan sarapan. Tara dan ibu duduk di halaman samping rumah mereka ditemani secangkir teh hangat dan pemandangan langit yang gelap. Hanya ada beberapa bintang yang muncul malam ini. “Bu,” ucap Tara berhenti sejenak. Wanita paruh baya itu hanya menoleh ke arahnya dan menanti kalimat selanjutnya dari Tara. “Apa benar El sudah meninggal?” tanya pria itu seraya menatap langit yang gelap. Wanita paruh baya yang sedang memegang cangkir kaca itu tampak terkejut. Setelah belasan tahun terlewati dia tidak menyangka topik ini akan mereka bahas kembali. “Kenapa kamu bertanya kembali masalah itu, Nak? Terjadi sesuatu? Kepala kamu sakit?” tanyanya berusaha se-tenang mungkin. “Ibu, nggak nyembunyiin sesuatu dari aku, kan?” bukan menjawab pertanyaan ibu, Tara malah melontarkan pertanyaan lain. Raut wajah wanita itu berubah perlahan. Senyum menawannya memudar. Sekilas dia menghindari tatapan mata Tara dan menghela napas sebelum menjawab pertanyaan putra angkatnya itu. “Jawaban Ibu akan sama seperti beberapa tahun yang lalu, Tara. Elvan dinyatakan meninggal. Tara, kamu harus bisa menerima kenyataan ini walau sulit. Kamu harus melanjutkan hidup, jangan memikirkan mereka yang sudah pergi dari kita. Ayah kamu akan sedih jika kamu terus berputar pada labirin yang sama. Hasilnya tidak akan berubah. Elvan sudah meninggal!”   *   Ucapan ibu terus terngiang di dalam kepalanya. Tara mengamati langit-langit kamar yang gelap karena tidak menyalakan lampu. Kadang kegelapan memberinya ruang untuk memikirkan sesuatu yang rumit. Gelap juga mengingatkan dirinya pada kejadian malam itu. Kejadian di mana dia menemukan ayahnya sudah bersimbah darah di lantai dapur rumah mereka. Terakhir yang dia ingat adalah dia mendengar jeritan adik lelakinya sebelum semuanya berubah kabur dan tak jelas. Jeritan itu yang selalu membuatnya terjaga hingga pagi menyingsing. Jeritan itu juga seperti tanda, sebuah permintaan agar tidak lupa. Tanpa sepengetahuan ibu yang juga seorang psikolog, pria itu menjumpai dokter lainnya untuk berkonsultasi mengenai penyakit yang dia derita. Segala macam terapi itu membuatnya menyerah. Dia memilih cara lain untuk mendapatkan informasi yang disembunyikan rapat-rapat oleh kerabat yang dia kenal. Seorang teman menyelidiki kasus 15 tahun yang lalu yang sudah ditutup sebagai kasus perampokan yang berujung dengan kematian. Tentu saja semua itu tidak mudah lima tahun dia melakukan penyelidikan, tapi tidak mendapatkan hasil apa pun. Satu-satunya hasil yang dia dapat adalah pelaku perampokan di rumahnya merupakan buronan kasus pembunuhan dan penyiksaan yang tengah dicari oleh pihak kepolisian. Bramantyo Ditama. Setelah berhasil mendapatkan informasi pelaku, dari sanalah Tara dan kenalannya menyelidiki keberadaan sang adik. Senyum lebar adik lelakinya yang sangat dia cintai. Suara tawa renyah yang mampu menggelitik telinga. Kejahilan yang selalu berhasil membuatnya marah. Dia merindukan semua hal itu. Ke mana pun dia pergi adik lelakinya selau saja mengekori. Bahkan ketika ayah menghukum Tara berjemur di halaman belakang rumah mereka, Elvan mengikutinya dengan duduk di depan Tara sambil memegang payung. Adik kecilnya itu menyembunyikan minuman dingin di saku celana pendek hingga basah. Saat ayah lengah dia memberikan minuman itu kepada sang kakak. “Kakaak!!” Tara tersentak. Napasnya tidak beraturan. Dia melihat ke arah jendela yang sudah terang oleh sinar matahari pagi. Rupanya dia tertidur tadi malam. Pria itu bangkit dan membuka tas selempang miliknya. Dia mengeluarkan sebuah gelang dengan liontin berbentuk segiempat ketupat. Perlahan dia buka liontin yang berisi potret diri dan seorang pria kecil dengan senyum yang lebar sambil memeluk tubuh kurusnya. “El.” Suaranya parau. Ada kesedihan dalam tatap matanya. Ada rindu yang sulit dia ungkapkan. Seberapa pun dia ingin percaya bahwa adik kecilnya sudah tiada. Entah bagaimana, insting-nya mengatakan semua itu bohong. Mahardika Elvan masih hidup dan entah di mana saat ini. Bisa saja dia menunggu untuk dijemput pulang. Atau bahkan sudah melupakan segalanya. Kenyataan yang mana pun sama saja, asal adik kecilnya itu hidup dan dapat dia rengkuh tubuhnya. Dapat dia pandangi dengan puas sosoknya. Semua itu sudah cukup. Pria itu hanya rindu.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

My Secret Little Wife

read
98.6K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
206.1K
bc

Tentang Cinta Kita

read
190.6K
bc

Siap, Mas Bos!

read
13.5K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.6K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
15.5K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook