Jarak yang Semakin Mendekat

1120 Words
Amsterdam, 11:48 pagi waktu lokal Hari pertama layover Udara pagi menyusup lembut dari celah jendela kamar saat Tania menarik tirai tebal hotel, memperlihatkan langit kelabu khas Amsterdam dan apron bandara yang sibuk. Fall season di Eropa Utara memang punya caranya sendiri membuat orang betah melihat keluar jendela lama-lama, dingin, calm, dan agak sendu… sedikit mirip hatinya pagi ini. Tania berdiri di depan cermin panjang,merapikan outfit-nya Oversized turtleneck warna krem, dilapis trench coat mocha yang panjang. Bawahnya skinny jeans hitam, dipadu ankle boots coklat tua. Simple tapi classy. Rambutnya dibiarkan loose wave natural, vibe effortless pretty banget, kayak penumpang business class yang baru landing dan langsung siap foto street style. “Fall look, checked. Semangat hidup masih loading…” gumamnya sambil menarik napas panjang. Ia tersenyum kecil, lalu menambahkan, “sekalian hunting kado ultah buat inces Megan.” Ia mengambil tas selempang kecil, memastikan paspor dan cardholder masuk, lalu keluar dari kamar. Aroma coffee roast dari lobby hotel langsung menyambutnya, bercampur wangi kayu cedar yang membuat semua terasa hangat dan classy. Tania berjalan keluar hotel menuju shuttle kecil yang membawanya ke area kota. Angin dingin langsung menerpa kulit wajahnya, tidak menusuk, tapi cukup untuk membuat pipinya merona alami. “Dua hari di Amsterdam,” gumamnya, memasukkan kedua tangan ke saku coat. “Oke, Tan. Mari pura-pura hidup teratur.” Ia berjalan menyusuri trotoar berbatu, melewati deretan sepeda yang terkunci rapi dan kanal pagi yang tenang. Daun-daun berwarna coklat keemasan berguguran pelan, menambah vibe fall movie yang terlalu cantik untuk diabaikan. Tujuannya hari ini? Brunch di salah satu café yang sudah disimpan Tania di wishlist sejak training, Canal & Crumbs, restoran kecil dengan jendela besar menghadap air, terkenal dengan cinnamon roll dan Dutch apple pancake. Begitu membuka pintu café, lonceng kecil berdenting halus. Hangat. Wangi butter dan ramah. Seolah café itu berkata ‘welcome to the soft life you deserve, girl.’ Tania memilih meja dekat jendela, membuka menu, dan baru saja hendak memutuskan mau makan apa ketika sebuah suara sinis terdengar. “Ini seat gue. Minggir, ya.” ucap seseorang dengan nada dingin. Tania mengangkat wajah, dan di hadapannya berdiri seorang wanita berpenampilan elegan, outfit ala model runway, heels runcing, aura cantik tapi jelas menyimpan kesombongan. ‘Kok dia tau aku orang Indonesia?’ batin Tania, keningnya berkerut. “Hello… do you hear me?” suara itu kembali, kali ini sambil menggoyang kedua tangan di depan wajah Tania. Tania merespon dengan elegan, senyum tipis terulas di bibirnya. “Excuse me? Pernah denger nggak istilah first come, first serve? Karena gue yang duluan sampai dan duduk di sini, otomatis seat ini punya gue. Jadi silakan cari kursi lain.” Wajah wanita itu langsung memerah, emosi jelas naik sampai ke ubun‑ubun. “Berani banget, lo nggak kenal siapa gue?” katanya sambil menunjuk dirinya sendiri. Tania menggeleng pelan, matanya meneliti sosok di depannya. Ada sesuatu yang familiar, tapi rasanya mustahil mereka punya pertalian. “Maaf, lu siapa?” tanya Tania datar. Wanita itu mengangkat dagu tinggi, d**a maju ke depan, seolah sengaja memamerkan aset di balik gaun ketat yang membalut tubuhnya. “Kenalin, nama gue Ralin. Bintang iklan sekaligus model utama Luxeora Fashion cabang Jerman” “Ohhh…” respon Tania, sementara dalam hati ia berdecak kagum. ‘Keren juga ya, Om Cedric sama Tante Maya. Luxeora sekarang udah buka cabang di mana‑mana.’ Karena nggak ada yang mau ngalah, akhirnya dua wanita itu duduk di meja yang sama. Dari luar, mereka tampak seperti sahabat yang lagi brunch bareng, tertawa, ngobrol, menikmati vibe café. Padahal aslinya, mereka cuma dua orang asing yang kebetulan bertemu di tanah asing, dengan ego masing‑masing masih berdiri tegak. Tiba‑tiba seorang wanita lain muncul, langkahnya cepat dan sikapnya formal. Tania langsung menebak, pasti itu asistennya Ralin. Wanita itu membungkuk ringan sebelum berbicara, suaranya terdengar serius. “Nona, kami baru menerima kabar… Tuan Teo sudah bebas.” Ralin sontak menegakkan tubuh, wajahnya berubah antusias. “Papa! Terus, dia sekarang di mana?” “Masih di Jakarta.” jawab sang asisten singkat. Sementara itu, Tania berusaha menahan diri untuk tidak ikut larut dalam obrolan dua orang di depannya. Namun pikirannya mulai berputar. ‘Teo… apakah Teo yang sama? Mantannya Santi?’ batinnya, mencoba mencocokkan potongan logika yang berserakan. Sementara Tania di Amsterdam sibuk menjaga jarak dari drama bersama wanita bernama Ralin, kemudian memutuskan batal brunch dan beralih hunting kado. Nick yang tengah melayani rute New York–Jakarta kini terjebak dalam transit beberapa jam di Abu Dhabi sebelum kembali melanjutkan penerbangan menuju base. Tiba‑tiba, seseorang menepuk pundak Nick dari belakang. Kapten tampan itu menoleh, lalu senyumnya melebar begitu melihat sosok Jeremy. “Hey, bro… transit di sini juga?” sapa Nick. Jeremy mengangguk mantap. “My last trip, bro, sebelum gue ambil libur panjang.” Nick mengerutkan kening. “Resign?” Jeremy cepat menggeleng. “Nope. Istri gue bakal melahirkan, jadi gue ambil cuti panjang.” Nada suaranya penuh antusias. Nick tersenyum lebar. “Wow, congratulations, bro. Gue ikut senang. Yang keberapa?” Jeremy menepuk dadanya dengan bangga. “First child, bro. And I’m super excited.” Seketika, ada sesuatu yang aneh merambat dalam diri Nick, seperti sebuah tangan tak kasat mata meremas‑remas hatinya. Perasaan asing itu datang begitu saja, meninggalkan jejak yang sulit ia abaikan. Pada momen ketika Ivan dan Loli menyambut kelahiran putri pertama mereka, Megan Halim, kembali berputar di benak Nick. Kini, wajah bahagia Jeremy tampak tak jauh berbeda dengan ekspresi Ivan saat itu. ‘Untuk apa aku bekerja keras seperti ini? Bukankah semua demi masa depan istri dan calon anak‑anak. Tapi… kapan aku bisa merasakan apa yang mereka rasakan? Antusias menjadi seorang ayah, menanti buah hati dengan penuh harap…’ “Hey, gimana dengan lo, bro? Kapan nyusul punya momongan?” tanya Jeremy sambil tersenyum lebar. Nick terkekeh pelan, mencoba menutupi kegelisahan yang merayap di hatinya. “Doain aja, bro… semoga secepatnya.” jawabnya, senyum tipis terulas meski matanya menyimpan cerita lain. Jeremy menatap Nick dengan senyum penuh arti. “I know it’s hard, try your best, bro. Gue yakin lo pasti punya trik buat menaklukkan Tania. See you very soon… Thanksgiving tahun ini di Manhattan, kalian pulang kan?” tanyanya di ujung kalimat. Nick hanya mengangguk, senyum tipis terulas di wajahnya. “Thanks, bro. Thanksgiving tahun ini reuni keluarga White, gue pasti datang dan kali ini gue pastikan Tania juga akan hadir.” ucapnya dengan nada mantap, seolah lebih ingin meyakinkan dirinya sendiri daripada orang lain. Setelah sedikit basa‑basi, akhirnya mereka berpisah. Nick melangkah menuju crew rest area, sementara pikirannya masih dipenuhi gema ucapan Jeremy barusan. “Aku tidak bisa terus menunda,” batinnya. Seketika, senyum licik terulas di wajah tampannya, seolah ia telah menemukan cara untuk menundukkan Tania tanpa harus mengorbankan harga dirinya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD