4

1122 Words
Pagi ini Luna bangun dari tidurnya dengan tak tenang. Semalaman ia tak bisa tidur nyenyak teringat dengan ciuman pemuda yang rambutnya berwarna pirang. "Dasar bocah sialan! Bocah laknat, setan, tunyul. Gue sumpahin lo jadi ngepet." Sumpah serapah keluar dengan lancar dari bibir Luna. Ia masih sangat kesal teringat dengan ciuman tadi malam. "Eh, tapi tuh bocah cakep juga sih. Sayangnya ga sopan dan main seruduk cium-cium bibir gue." Luna memegang bibirnya. "Aduuh, kenapa gue malah ingat ciuman tuh bocah sih. Gila-gila, pikiran gue sudah gila. Otak gue mulai ngeres lagi dah ini, bagaimana gue menghadapi dunia ini kalau gue malah kayak jadi cewek murahan begini," teriaknya dengan berlebihan seakan ia malu pada dirinya sendiri. "Sepertinya gue harus melupakan kenangan yang menjijikkan ini. Hidup gue akan jadi tak berarti jika seperti ini, hatiku hancur, hidupku berantakan. Ooh Tuhan, kenapa engkau memberikanku cobaan yang begitu berat? Tolong jangan membuat pikiranku traveling ke luar negeri cukup di dalam negeri saja." Luna pun memutuskan untuk ke rumah Ibunya, sudah menjadi kebiasaan jika setiap sabtu akan pulang ke kota hujan. Ia tahu jika sampai di rumah pasti akan di tanya kapan nikah? Nikah kapan? Kenapa selalu seperti itu membuat kepalanya pusing. Saat ia akan turun ke lobby dengan menggunakan lift malah bertemu dengan Kevin dan teringat lagi ciuman mereka. "Eh, si Mbak. Kita ketemu lagi deh." Goda Kevin. Digoda Kevin membuat Luna menjadi salah tingkah dan menatap Kevin. Ia penasaran dengan hidung pria tersebut yang jadi korban pukulan mautnya. "Kenapa Mbak kok dekat-dekat sih? Mau gue cium lagi yaa." Luna menjadi semakin kesal dengan Kevin yang masih membahas ciuman tadi malam, ingin rasanya ia banting dengan keras. "Mbak ngeliatnya ga gitu juga kali, aku tahu aku tampan dan mempesona, tapi ga di sini Mbak. Mau ke unitku." Dengan semangat Luna ingin melayangkan tangannya lagi memukul Kevin, tapi dengan sigap Kevin menghindari Luna. "Mungkin kemarin gue belum siap Mbak. Kalau sekarang gue sudah punya jurus untuk mengelak dari pukulan maut." "Bisa diam ga! Dari tadi nyerocos mulu deh." "Ga mau diam, Mbak. Ga enak mending saling berbincang-bincang membahas masa depan. By the way any way busway namanya siapa sih Mbak? Kita sudah ciuman, tapi gue belum mengenal lebih dalam sama Mbak." Kevin tersenyum pada Luna sambil mengulurkan tangannya. Luna hanya melirik Kevin, ia tidak mengindahkan uluran tangan Kevin. Ia tidak mau berurusan dengan pemuda tengil yang berada dalam satu lift dengannya. Lama amat sih ini liftnya jalan. Bikin gue makin emosi aja sama si bocah! "Yuhuuu... Mbak, tangan gue pegel loh ini. Masa sih ga mau membalas uluran tangan gue, pamali Mbak cuek sama orang ganteng nanti jatuh cinta deh." Luna menutup matanya. Ia benar-benar sudah tak tahan lagi jika harus berlama-lama dengan Kevin. "Ya sudah kalau si Mbak ga mau menjabat tangan gue yang berharga ini. Asal Mbak tahu aja banyak cewek-cewek berharap bisa menyentuh tangan gue dan pada antri mau jadi pacar gue. Malah si Mbak, gue tembak ga mau." "Nembak-nembak emangnya gue sasaran tembak apa! Minggir lo, gue mau keluar." Luna keluar dari lift dengan anggun. Kevin terpanah dengan pesona Luna, ia tak akan tinggal diam. Bagaimana pun caranya akan mendapatkan si Mbak, walau belum tahu namanya. Ia tak akan menyerah. "Semangat Kevin! Kapan lagi dapat si Mbak garang itu, udah kayak macan betina." "Auuuummm," teriak Kevin dengan semangat di depan lift. Teriakan Kevin terdengar Luna sampai ia menoleh ke sumber suara. "Tuh, bocah kurang satu sendok deh kayaknya." Dengan secepat mungkin Luna berlari menuju basement menjauhi lobby yang masih ada Kevin berteriak-teriak bagai orang kesurupan. Begitu tiba di dalam mobilnya ia pun terengah-engah. "Sialan nih bocah bikin gue capek aja," keluh Luna. "Jangan sampe deh gue ketemu lagi." Luna bergidik geli sendiri. Luna melajukan mobilnya menuju kota hujan, ia merindukan Rosita, Ibunya. ****** 5 hari kemudian Hari-hari Luna terasa sepi tak ada Rani, sahabatnya yang selalu menghampirinya saat ia sendirian di kantor. Rani mengambil cuti untuk persiapan pernikahan yang tinggal menghitung hari. "Besok aku ke pesta pernikahan dengan siapa ya," ujar Luna. Luna tak bisa berpikir lagi, ia merasa lelah menjalani setiap waktunya dengan pekerjaan yang seakan tidak pernah berhenti menghampiri meja HRD. "Kapan gue bisa punya pacar kalau begini? Tapi, gue mau pacaran sama siapa juga bingung. Yaa sudahlah mungkin memang nasib gue belum dapat jodoh. Gue juga takut pacaran terus berakhir kecewa kayak dulu lagi." Mengingat hubungannya dengan Kafka yang kandas membuat hati Luna terasa sakit. Ia bingung sendiri dengan perasaannya, walau sudah 5 tahun berlalu semenjak Kafka memutuskan pertunangan dan menoreh luka yang teramat dalam di hatinya, tapi sulit untuknya melupakan Kafka. Terlalu banyak kenangan indah selalu mereka lewati bersama. Waktu sudah semakin sore, Luna memutuskan untuk kembali ke apartemennya. Besok ia akan pulang lagi menemui Ibunya lalu berangkat ke pesta pernikahan Rani walau tidak ada yang menemaninya. Saat ia berada di lobby perusahaan sekilas melihat bayangan seorang pria yang dikenalnya. "Kafka," ujarnya tak percaya. Luna mencari pria yang pernah menoreh luka di hatinya, ia mengejar bayangan pria itu. Tapi Kafka seakan menghilang. "Apa mungkin efek gue tadi ingat Kafka yaa. Ampun deh masa 5 tahun ga move on sih, parah dah gue ini." Luna menggelengkan kepalanya sendiri. Merasa aneh dengan pikirannya yang masih mengingat Kafka. "Udah akh, mending gue jalan aja ke kafe dari pada galau merana sendiri," ujarnya melirik arloji yang ada di tangan kirinya. Luna melanjukan mobilnya ke arah kafe tempat biasanya orang pulang kerja bersantai di sana, ia masuk ke salah satu kafe yang ada di rooftop. Ia selalu jatuh cinta dengan suasana kafe yang ada di atas salah satu plaza di sana, walau tidak setinggi gedung-gedung bertingkat di sekitarnya, tapi ia merasa nyaman. Alunan live musik salah satu band membuatnya ikut menikmati suara penyanyi yang terdengar menyejukkan hatinya yang tadi badmood menjadi goodmood. Tapi, ada yang salah di matanya, ia tak menyangka bisa bertemu melihat lagi Kevin. "Si bocah main gitar," ujarnya pelan. "Eh, itu ada si rambut hijau jadi drummer dan si rambut pink nyanyi. Kenapa gue harus ketemu dengan para cecunguk itu sih?" ujar Luna dengan penyesalan. Mata Luna dan Kevin saling beradu pandang, apa lagi saat ini Kevin sedang memainkan solo gitar, sorotan lighting mengarah ke Kevin membuat pria tersebut seakan bersinar terang dan menyilaukan di mata Luna. Kevin tersenyum ke arah Luna, membuat hati Luna tiba-tiba berdegup dengan kencang.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD