Bab 9. Siapa Dia?

1009 Words
Happy reading. Typo koreksi. ____ Bianca bangun seperti biasa melakukan aktivitas kesehariannya, hanya satu yang tidak biasa baginya semalam. Entah mengapa Bianca Almora jadi terus membayangkan wajah asing laki-laki yang memeluknya kemarin. Wajah itu terus saja mengganggu tidur Bianca sampai wanita itu harus tidur larut malam karena tidak nyaman. Sekarang wanita itu sudah kembali berada di toko kecil miliknya, duduk di kursi dekat kasir biasa wanita itu menghabiskan waktunya di sana. Hari masih menunjukkan pukul 10.00 pagi, Bianca sudah mengantar Bulan putrinya sekolah bersama Bagas sedangkan Darren tidak bisa mengantar dua bocah itu karena lelaki berprofesi dokter itu belum pulang dari shift jaga malamnya di rumah sakit. Toko masih sepi, karena itu Bianca hanya duduk mengisi laporan pengeluaran dan masukan toko bunganya. Sedangkan, dua pegawainya Putri dan Doni tengah merapikan tatanan letak stok bunga mereka. "Mbak Bi, bunga bunga kafe ON3 mau jam berapa di antar?" Suara Doni masuk menanyakan perihal pesanan langganan mereka. "Astaga, Mbak lupa. Doni bisa kamu antar pesanan pak Jaya nanti jam sebelas aja. Mbak hari ini harus ke Bank soalnya." "Oh iya Mbak bisa," sahut pemuda itu, Bianca tersenyum tipis membalas. Wanita itu kembali menghitung pembukuannya. Tring. Bunyi lonceng terdengar, membuat Bianca terkejut melihat kedatangan seseorang yang tidak wanita itu kira. "Selamat da--" "Bi," panggil sosok di ambang pintu pelan. "Mas Darren." lanjutnya terkesiap. Bianca cepat-cepat berdiri dari kursinya berjalan mendekat bersamaan dengan lelaki yang masih memakai pakaian sama seperti kemarin itu juga menghampirinya. Kini keduanya sudah berdiri berhadapan, Bianca menatap raut lelah Darren bingung. "Mas kenapa kesini? Kenapa nggak pulang kerumah?" tanya wanita itu terlihat khawatir sekaligus heran. Darren menggeleng, manik gelapnya menatap wanita itu teduh dan hangat seperti biasa. "Aku mau ketemu kamu, terima kasih ya kemarin sudah repot-repot ajak Bagas jalan-jalan. Padahal aku ayahnya saja belum sempat ajak Bagas main seminggu ini." Bianca terdiam, menatap Darren mengerti. "Mas Darren nggak perlu bilang seperti itu ke aku Mas, lagipula aku kan sudah pernah janji akan kasih Bagas kasih sayang yang sama seperti rasa sayang aku buat Ulan. Mereka berdua penting buat Bi, Mas." Seketika hati Darren menghangat mendengarnya. Lelaki itu tidak bisa berkata-kata apa-apa lagi selain memandang wanita yang sudah tulus menyayangi putra semata wayangnya dengan pandangan lekat. "Terima kasih, Bi." "Mas jangan bilang makasih terus ke aku. Mas juga kenapa kesini sih! Mas itu capek kan baru pulang shift jaga, kenapa nggak istirahat di rumah aja dulu." Darren menggaruk lehernya pelan, jadi salah tingkah di marahi oleh Bianca. "Ah, itu Bi, aku ... aku mau ajak kamu makan siang bareng. Kebetulan ponselku lowbat nggak bisa menghubungi kamu. Makanya aku langsung kesini sebelum pulang kerumah, aku juga nggak mau kamu marah karena kita selalu gagal makan siang bareng akhir-akhir ini, Bi." Blush. Kedua pipi Bianca merona, dalam hati menggeleng tidak percaya karena Darren sampai repot-repot menghampirinya lebih dulu hanya karena tidak bisa memberinya kabar sebab ponsel lelaki itu mati dan lelaki itu takut dirinya marah kepada lelaki tampan tersebut. Bianca berdehem pelan, mengalihkan degupan jantungnya yang berdebar hebat karena sikap Darren. "Mas, mau minum dulu?" tawarnya, mencoba membuat atmosfer mereka tidak kembali canggung seperti di rumah lelaki itu kemarin. Darren menggelengkan kepalanya pelan, matanya melihat kearah jam yang melingkar di lengannya sekilas sebelum akhirnya memilih pamit pulang karena dia harus membersihkan diri lebih dahulu sebelum pergi bersama wanita itu. "Aku langsung pulang saja, Bi. Nanti aku jemput kamu ya," ujarnya. Mengangguk, Bianca pun membalas. "Baik Mas, kalau bisa Mas istirahat dulu di rumah ya. Agak siangan juga nggak apa-apa kita makan barengnya." Usul wanita itu sedikit tidak enak. "Aku nggak bisa janji, Bi. Kalau begitu aku pulang ya," balas lelaki itu segera berpamitan. Helaan napas Bianca terdengar pelan, wanita itu hanya bisa mengantar Darren keluar dari tokonya tanpa protes lagi. Lelaki itu masih berdiri menghadap Bianca sebelum berjalan kearah mobilnya, membuat alis wanita cantik itu terangkat karena Darren sedang menatapnya intens. "Ada apa, Mas?" "Bi," ucap Darren sangat pelan. Bianca hanya diam menunggu lelaki iti melanjutkan ucapannya. "Aku belum sempat minta maaf sama kamu." "Eh, maaf?" Bianca seketika tidak mengerti. Maaf untuk apa. Pikirnya. "Aku minta maaf kalau kamu mendengar ucapan mama lagi waktu itu." Deg. Bianca menahan napasnya saat mengerti kemana arah pembicaraan mereka sekarang. "Mas, aku--" "Aku nggak mau membebani kamu  dengan keinginan mama, Bi. Untuk sementara aku harap kamu memaklumi, jika mama ku suka mengatakan hal yang aneh sama kamu ya. Aku akan berusaha buat mama nggak terlalu membuat kamu banyak pikiran." Ah. Entah mengapa, hati Bianca sedikit sedih mendengar perkataan Darren sekarang. Mengerti, jika Darren hanya tidak mau mereka canggung atau mungkin lelaki itu memang tidak memiliki perasaan apapun kepadanya seperti dugaannya selama ini. Darren terlalu berbeda dengannya, pendidikan lelaki itu bagus, pekerjaannya pun bagus. Tentu saja pasti Darren menginginkan calon ibu untuk Bagas yang setara dengan lelaki itu. Sedangkan Bianca hanya tamatan SMA, putus kuliah, dan sekarang hanya sebagai pemilik toko bunga kecil di pinggir jalan. Jelaa mereka berbeda jauh. Bianca menggigit bibirnya dalam saat Darren masih menatap lekat kearahnya. Tatapan tidak nyaman lelaki itu selalu terarah kepadanya setiap membahas tentang Andini, ibu Darren. "Hmm, Mas tenang saja. Aku nggak akan marah kalau mama bicara hal yang aneh tentang kita. Wajar kalau mama Andini bicara seperti itu, aku nggak akan masukkan kedalam hati Mas." seru Bianca pelan membalas, wanita itu mengulas senyum tipis dengan denyutan d**a tidak nyaman terasa. Darren juga balas hal yang sama, menekan perasaan tidak nyaman di dalam hatinya setelah mengatakan hal tadi kepada Bianca. Tanpa keduanya sadari sejak tadi di dalam mobil sport berwarna hitam, mata tajam Zaviar memandang dua objek di depannya dengan pandangan tidak suka. Tangannya terkepal kuat di atas stir kemudinya, dan rahangnya mengeras tegang saat melihat tangan lelaki yang masih berdiri di depan toko itu dengan kurang ajarnya terangkat mengusap pucuk kepala wanitanya pelan sebelum benar-benar pergi dengan mobilnya. Brak. Zavi keluar mobilnya dan berlari lagi-lagi meneriaki Bianca keras. "Bianca!" Tubuh wanita itu terlonjak kaget saat memegang knop pintu tokonya, sebelum akhirnya membalikkan tubuhnya dan memandang sosok Zaviar Alstair yang membuat waktu tidurnya tidak nyaman semalam dengan sorot mata bingung. "Siapa laki-laki tadi, jawab Bianca!" Hah. ______ Bersambung...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD