Bab 8. Rumah Penuh Kenangan

1123 Words
Setelah kepergian Ko Edy, aku benar-benar hanyalah arwah penasaran yang tak punya pekerjaan. Setiap malam aku pergi hanya untuk melihat Ocean yang tertidur lelap dan Febri yang selalu menemaninya. Subuh ini, tampak Febri, Sean, Alesandra dan Erick berkemas meninggalkan rumah kontrakan itu. Mereka ingin kembali ke rumah kami di pedesaan dan aku ikut di dalam mobil. Mobil melaju tanpa berhenti, sehingga perjalanan hanya memakan waktu 2 jam karena masih subuh, jalanan pun lenggang. Erick membawa mobil, Alesandra di samping kursi pengemudi, Febri, Ocean dan aku di bangku tengah. Tidak banyak perbincangan di dalam mobil, hanya sesekali Ocean dan Febri yang tertawa ria. Dan akhirnya kami sampai di rumah kami. Rumah kami tidaklah besar tapi mempunyai perkarangan yang cukup luas. Aku turun dari mobil bersamaan dengan Febri dan Ocean yang digendong Febri. Tampak halaman dimana banyak bunga-bunga yang aku tanam sudah agak mengering karena lama tak di rawat. Lalu aku masuk ke ruang tamu. Ruang tamu merupakan ruang keluarga kami dimana kami pasti berkumpul dan bercanda ria. Dapur tempat aku selalu memasak masakan yang disukai Febri, dan Febri sering membantu aku memasak di hari liburnya. Terakhir kamar tidur aku dan Febri, kamar ini merupakan kamar kami saling berbagi cerita dan melepas penat. Semua memory kembali teringat di pikiranku saat pertama kali pindah ke rumah ini. "Feb, makasih ya kamu membeli rumah ini. Walaupun rumah ini jauh dari kota tapi aku yakin di sini kita akan membangun keluarga kecil kita yang bahagia". "Iya, Di. Aku tahu kamu kurang menyukai keramaian. Kamu suka udara pedesaan yang sejuk dan pemandangan yang masih hijau di sini. Karena kamu bilang akan membangun keluarga kecil kita, kita tempur sekarang yuk". "Tempur, Feb, ini kan masih sore". "Kamu harus tempur 5 ronde malam ini. Jadi kita mulai sekarang aja. Mumpung hanya kita berdua saja nih". "Hah, 5 ronde, sanggup apa kamu". "Aku buktikan ke kamu sekarang", sambil memeluk pinggangku. Lalu kami berciuman dan saling membangkitkan gairah. Aku melepas pakaian Febri dan sebaliknya lalu berlanjut ke tempat tidur. Iya tempat tidur itu, tempat aku memadu kasih dengan Febri. Akupun mengingat masa-masa kehamilanku, Febri dengan setia selalu membawa aku untuk memeriksa janin kami. Dia selalu memegang perutku dan merasakan gerakan-gerakan calon bayi kami. Dia menyanyikan lagu dan mengelus serta menciuminya. Sampai waktu persalinan, subuh itu, perutku terasa mulas dan Febri langsung membawaku ke rumah sakit. Di kamar ini, juga banyak kenangan aku bersama Ocean. Iya, Ocean tidur bersama kami sejak bayi. Aku merawatnya sendiri sejak Sean lahir. Kami bergantian mengganti popok Ocean di saat malam. Febri juga sering menggendong Ocean saat menangis agar aku bisa beristirahat. Sungguh masa-masa yang membahagiakan. Sampai Ocean mulai tengkurap, merangkak, belajar berjalan dan mengucap beberapa kata. Tak sekalipun kami ketinggalan perkembangan Ocean. Febri memandangi foto pernikahan kami yang berada di meja. "Di, rumah ini terlalu banyak kenangan tentang kamu, masa indah bersamamu, aku tidak mungkin dapat menghapus semua kenangan itu. Aku akan selalu mengingat kamu, senyummu, tawamu, manjamu. Iya, aku akan menjaga rumah impian kita ini, tapi aku tidak bisa menetap di sini lagi. Aku akan tinggal di kota memulai kehidupan baru tanpamu. Meski berat, aku akan berusaha, Di", sambil memeluk dan mengecup foto kami. Airmata ku pun mengalir begitu saja mendengar ucapan Febri. Lama, aku berada di sudut kamar sampai hari senja. Energiku banyak terkuras karena berada di luar seharian dan aku memutuskan untuk mencari makanan di luar untuk mengembalikan tenagaku. Aku berjalan sepanjang jalan, tidak banyak mobil yang berlalu lalang. Aku mencari sesajen, siapa tahu ada yang meletakkan tapi tak menemukan. Lalu tiba-tiba ada geng motor arwah yang mendekatiku dan mengelilingiku dengan motor mereka. "Arwah cantik, mau kemana? Ikut kami, yuk". "Makasih, tapi aku mau pergi ke suatu tempat". "Kami antar kamu, jadi kamu tidak usah berjalan kaki". "Tidak apa". "Ayolah", dengan sedikit memaksa. Salah satu dari mereka turun dari motor dan menarikku. Tentu aku tidak mau dan menginjak kakinya lalu mendorong nya jatuh. Setelah itu, aku berusaha lari tapi mereka mengejarku dengan motor. Aku yang memang sudah lelah terjatuh dan tepat saat itu, ada motor ninja berwarna hijau menghadang mereka. Pengendara motor itu, seseorang yang aku kenal, iya itu Leon. Tapi mengapa Leon di sini. "Bro, apa kabar?", Leon menyapa mereka sambil turun dari motornya. "Siapa loe? Sok akrab banget. Kita ini penguasa di daerah sini. Loe anak mana?" "Anak kota, bro. Ini motor gua, ninja terbaru. Gua juga punya segepok duit nih, ambil buat kalian", sambil mengeluarkan uang itu dari saku jaketnya. Mereka saling melirik satu sama lain. "Oke, gua ambil nih. Ayo kita balik". Akhirnya mereka pergi meninggalkan kami. "Leon, kamu sedang apa di daerah sini?" "Aku sengaja lah kemari, khawatir sama kamu. Benar saja firasatku, kamu itu harusnya tidak pergi sendiri. Lihat sekarang keadaanmu pasti kamu belum makan. Ayo, ikut denganku, kita makan dulu". "Makasih Leon, ini kedua kalinya kamu menolong aku". "Iya, aku ini kan temanmu". Aku naik ke motor Leon dan Leon memintaku untuk berpegangan. "Dra, pegang lah pinggangku kalo kamu lelah". "Ehm..., tidak aku biasa koq tidak pegangan". Aku pun naik motor Leon dan benar saja saking lelahnya aku tertidur dan menyandarkan kepalaku ke punggung Leon. Lalu Leon meraih kedua tanganku dan meletakkannya di pinggangnya. Dan sampailah kami ke dunia arwah, tapi aku masih tertidur lelap. Leon memperhatikan wajahku ketika aku tertidur dan membelai rambutku. "Dra, kamu cantik ketika tidur". Aku yang sudah tidur cukup lama akhirnya terbangun, dan sadar kalau posisi aku sedang memeluk pinggang Leon. Aku spontan melepaskan pelukanku. "Kamu sudah bangun, Dra. Aku tidak tega membangunkanmu, jadi aku biarkan saja dirimu tidur". "Maaf, aku tak sadar kalau memelukmu", sambil menundukkan kepalaku. "Tak apa, aku siap pinjamkan punggungku, pinggangku, bahuku, untuk kamu, Dra". "Leon..., ". "Sudah lah, ayo kita makan dulu. Aku juga lapar berkendara cukup lama di jalan. Kita harus makan enak supaya tenaga kita cepat pulih". Selesai makan Leon mengantarku pulang ke rumah Amel. Aku turun dari motor dan sebelum masuk ke rumah Leon memegang kedua tanganku. "Dra, istirahatlah, dan ingat satu hal, aku akan selalu ada di sisimu di saat kamu butuh". Kami saling bertatapan, ini kali kedua aku merasakan tatapan seorang pria seperti ini selain Febri. Langsung aku memalingkan pandanganku, aku takut akan perasaaanku sendiri lalu bergegas masuk ke rumah. " Iya, Leon, terimakasih untuk pertolonganmu hari ini. Aku permisi". Saat memasuki rumah, aku bertemu dengan Amel di ruang tengah dan menghampirinya. "Amel". "Dra, kamu kemana seharian? Aku agak khawatir tadi pagi kamu belum pulang jadi aku meminta Leon untuk mencarimu di tempat Febri. Kamu bertemu dengannya kan?" "Maksudmu kamu yang meminta Leon mencariku? Tapi aku mengikuti Febri sampai ke rumah lama kami di pedesaan. Dan Leon sampai ke sana mencariku. Iya aku bertemu dengannya di jalanan dekat rumahku dan aku diganggu oleh arwah geng motor. Saat itu Leon datang menolongku". "Benarkah? Dia mencarimu sampai sejauh itu. Wahh, aku rasa Leon menyukaimu, Dra.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD