Part 13--Hati yang Dingin

2238 Words
Maya enggan menatap sang suami. Ia hanya tersenyum getir. Alasan klasik itu membuatnya muak. Bukan itu yang diinginkan oleh Maya. Akan tetapi, itulah Hadi, laki-laki itu pasti akan menutupi segala kesalahannya. "Hanya itu?" Maya bertanya dengan nada dingin membuat Hadi takut untuk menjawab. "May ... kamu sedang kurang sehat. Pikirkan anak kita yang ada dalam rahimmu. Aku mohon, jangan bahas ini dulu. Suatu saat aku pasti akan jelaskan." Hadi mendekati sang istri saat mengatakannya. Hadi ingin memeluk sang istri. Sekadar berbagi rasa sedih dan beban pikiran. Sayangnya, Maya menghindar dan menepis tangan sang suami dengan kasar. Hadi terperanjat kaget. Ia tidak menyangka jika istrinya akan berbuat seperti itu. "Baiklah jika tidak ingin jujur. Aku akan memilih diam." Maya memilih mengakhiri semuanya. Ia tidak ingin lagi berbicara dengan Hadi entah sampai kapan. Hadi menghela napas kasar. Sejujurnya ada banyak pertimbangan tentang kejujurannya. Salah satunya adalah kesehatan sang istri yang sedang tidak baik saat ini. Bukan tidak ingin jujur, tetapi ia mencari waktu yang tepat. Saat Maya sudah tenang. Sayangnya, istrinya tidak paham akan hal itu. Sementara itu, Pak Indrayana sibuk di dapur. Melancarkan aksinya mencari potongan rambut milik sang anak. Beruntung, masih ada di tempat sampah. Gegas beliau mengambil sedikit dan memasukannya dalam sebuah plastik bening yang diambilnya dari rak dapur milik sang putra. Ada sedikit kelegaan, setidaknya rencananya akan berjalan lancar. Hanya menunggu kabar dari orang kepercayaannya saja. Apa yang dilakukan Pak Indrayana ternyata tidak luput dari pandangan sang istri. Bu Ira pun menjadi curiga dengan ulah Pak Indrayana. "Ngapain mungut rambut?" tanya Bu Ira dengan nada tidak bersahabat. "Tidak apa, Bapak ingin buat sampel wig dengan rambut yang sejenis dengan anak kita." Sebuah kebohongan yang sangat lancar terucap dari bibir Pak Indrayana. Kebetulan memang Pak Indrayana mengalami botak pada bagian kepala atas. Seperti profesor yang berpikir terlalu keras. Tak urung, Bu Ira tersenyum dengan manis. Beliau membayangkan jika sang suami memakai wig atau rambut palsu nantinya. "Apa ga keliatan lucu, Pak?" tanya Bu Ira sambil menahan tawa. "Belum dicoba jadi belum tahu. Kalo dapat rambut yang sejenis dengan milik putra kita 'kan jadi ga terlalu kaku. Setidaknya masih mirip dengan rambut asliku," kata Pak Indrayana dengan wajah yang serius. "Terserah Bapak saja bagaimana baiknya. Pak, kita pulang, ya. Ga betah lama-lama di sini." Pak Indrayana menghela napas panjang mendengar ucapan sang istri. Bu Ira selalu saja seperti itu. Tidak mau sedikit saja menurunkan emosi dan kebenciannya terhadap Maya. Beliau bahkan menuduh, jika istri Hadi itu adalah penyebab gagalnya pertunangan sang putra dengan Arini. Hal itu yang menimbulkan rasa benci terhadap menantunya hingga sekarang. Pak Indrayana berpamitan pada sang putra dan Keenan. Maya ada di kamar memutuskan untuk tidak keluar. Tidak ingin menambah beban pikiran dan sakit hati saat mendengar ucapan dari ibu mertuanya. Bukan tidak mungkin beliau akan mengatakan hal yang menyakitkan hati dan pikirannya. "Nenek lebih baik jangan datang ke sini lagi karena bikin mama Keenan nangis dan sedih!" jerit Keenan saat mertua Maya berpamitan pulang. Sontak semua mata memandang pada Keenan yang berada di gendongan Hadi. Pak Seno pun menatap cucunya heran. Mungkin, anak kecil itu merasakan kebencian sang nenek pada sosok mamanya. Apa yang dilihat anak kecil akan diingatnya sepanjang masa. "Nenek pun sebenarnya malas datang. Kakek yang memaksa, makanya nenek ada di sini." Lihat saja, tidak pernah mau mengalah pada siapa pun bahkan pada seorang anak kecil. Begitulah Bu Ira yang sifatnya sangat sombong. "Sudah, Bu. Jangan seperti itu," tegur Pak Indrayana pada istrinya. Beliau tidak enak dengan besannya. Hadi berulangkali menahan sesak yang ada di d**a. Seperti sudah jatuh tertimpa tangga pula. Perumpamaan yang tepat untuknya saat ini. Kedua orang tuanya sudah keluar dari rumahnya. Hadi pun segera masuk ke dalam rumah. "Pak, Bu, maafkan Ibu saya. Beliau mungkin sedang banyak masalah." Hadi meminta maaf untuk kesekian kalinya pada kedua mertuanya. Mereka hanya mengangguk dan memahaminya. Tidak ingin memperpanjang masalah. Sebab, mereka paham, jika Maya tidak diinginkan sebagai menantu di keluarga Hadi. Dari segi ekonomi memang keluarga mereka jauh di bawah keluarga Hadi. Akan tetapi, jodoh yang membuat mereka bersatu saat ini. "Nak Hadi, besok kami berdua pulang, ya. Mungkin kalian bisa mencari orang untuk membantu selama Maya bed rest." Bu Wati mengutarakan keinginannya. Rasanya tidak enak terus menerus berada di rumah Hadi. Bukan tidak mungkin Bu Ira akan datang lagi dan menyindir kehadiran mereka. Bu Wati tidak ingin hal ini terjadi. Tidak enak menjadi pihak yang selalu disindir. Ada kalanya d**a berdenyut nyeri karena mendengar ucapan yang menyakitkan. "Lho? Ada apa? Apa Ibu saya mengatakan hal buruk?" tanya Hadi dengan perasaan tak menentu. "Tidak, Nak. Kami memang harus pulang." Bu Wati berusaha menutupi semuanya." Besok, Ibu bantu cari orang yang mau bekerja di sini. Siapa tahu ada tetangga yang mau bekerja di sini," lanjut beliau sambil mengambil Keenan dari gendongan Hadi. Beberapa hari ini Keenan lebih senang tidur dengan nenek dan kakeknya. Neneknya selalu mendongeng sebelum anak kecil itu tertidur pulas. Pun dengan Bu Wati, sangat senang bisa tidur bersama dengan sang cucu. Hal yang langka dan jarang terjadi. Sebelumnya, Maya hanya berkunjung saja ke rumahnya dan jarang menginap. Hadi tidak melanjutkan obrolan dengan mertuanya. Pikirannya kusut, tidak tahu harus mencari jalan keluar bagaimana. Maya seolah menutup hatinya. Pun dengan ibunya yang menambah masalah dengan sikap angkuhnya. Tidak masalah dengan ibunya, tetapi masalah utamany adalah ketidaksiapannya untuk jujur tentang masa lalunya dengan Arini. Maya pasti akan menduga yang tidak-tidak perihal masa lalu Hadi. Hal itu yang membuat sang suami lebih sulit untuk menjelaskan masalahnya. Perlu keberanian ekstra. Belum lagi jika kedua orang tua dan mertuanya tahu. Semua pasti akan menghujatnya. "May ... boleh aku masuk?" tanya Hadi sambil mengetuk pintu kamarnya. Tidak ada balasan dari Maya, Hadi pun segera membuka pintu. Maya tampak sedang bersiap untuk pindah tidur di sofa. Ia tidak nyaman ketika harus berdekatan dengan sang suami saat ini. Biarlah sang suami berpikir yang tidak-tidak saat ini. "May ... kenapa tidur di sofa?" tanya Hadi dengan panik. Maya tak menjawab pertanyaan sang suami. Biar saja sampai sosok laki-laki yang tidak jujur itu peka dan manyadari kesalahannya. Tidak mudah menerima kenyataan nantinya. Sebab, hubungan yang diawali dengan ketidakjujuran pasti akan ada badai yang menghantamnya. Keadaan rumah tangga Hadi semakin dingin. Maya kini sudah lebih sehat dari sebelumnya. Rasa mual hebat sudah tidak begitu dirasakannya lagi. Lebih tepatnya menahan keinginan untuk mengeluarkan isi perutnya. Semua dilakukan demi anak yang ada dalam kandungannya. Wanita penyabar itu kembali pada rutinitas kesehariaannya. Mengurus anak pertamanya--Keenan. Sikap Maya tak lagi sehangat seperti dulu terhadap Hadi. Ia lebih sering menjauh ketika ada sang suami. Pun dengan tidur, Maya memilih tidur dengan Keenan. Hadi harus menyiapkan semuanya sendiri. Maya hanya memasak untuk dirinya dan Keenan. Hati laki-laki berjambang tipis ini tercubit, mendapati sikap istrinya. Hadi tetaplah Hadi yang tidak berani menjelaskan masa lalunya. Ia tidak punya nyali untuk mengatakan hal yang sebenarnya terjadi. Arini, wanita itu adalah korban dari keegoisannya pun dengan Maya. Dua wanita yang menjadi korban sosok Hadi. Sementara itu, Pak Indrayana sudah mendapatkan apa yang diinginkan. Rambut anak yang ada difoto itu. Dengan cepat, laki-laki paruh baya itu menuju ke rumah sakit besar di Kota Bandung. Sengaja memilih rumah sakit swasta agar cepat dalam menangani masalahnya. Juga tidak dicurigai, karena kebanyakan dokter di rumah sakit pemerintah mengenalnya. Ada yang kebetulan teman SMA, ada juga yang masih saudara, dan tetangga. Pak Indrayana tidak gegabah, beliau meminta orang lain untuk memeriksakan helaian rambut yang telah dipisahkan. Hanya memantau saja dan membayar semua biaya yang harus ditanggung untuk tes DNA. Bukan sopir pribadinya yang beliau minta, takut jika suatu saat berita ini bocor. Orang suruhannya telah melaksanakan tugas dengan baik. Sebagai imbalannya Pak Indrayana memberikan sejumlah uang. Tak lupa, nama pemilik masing-masing rambut dicantumkan dan meminta pihak rumah sakit merahasiakan hal ini. Tentu saja, pihak rumah sakit merahasiakannya. Mereka memberikan informasi jika hasil tes DNA paling lama sepuluh hari dan paling cepat kurang lebih satu minggu. Bagi Pak Indrayana waktu itu tidaklah lama. Beliau tidak ingin terburu-buru. Alasan utama melakukan tes DNA itu karena sang anak yang ada di foto bernama Ganesha Indrayana. Nama belakang yang sama dengan namanya. ♡♡♡♡ Reza yang telah memutuskan untuk melepaskan rasa cintanya pada Arini kini banyak menyibukkan diri dengan berbagai kegiatan. Apa yang dilakukannya ternyata sangat efektif. Idola tampan yang membuat kaum hawa terpesona itu memilih membantu papanya mengelola usaha travel yang kebetulan membuka cabang di Yogyakarta. Reza-lah yang mengurusnya. Akan tetapi, ia tidak ingin disebut sebagai bos. Baginya, semua adalah teman. Tidak banyak yang tahu jika usaha travel itu miliknya. Sebab, Reza bercerita kepada teman-temannya jika ia sambil bekerja. Ya, di sela-sela ujian terakhir semester ganjil, ia menyempatkan diri untuk mengecek usaha milik keluarganya. Tak hanya itu, ia pun sering pergi ke Kota Solo. Sekadar bertemu dengan kakak perempuannya. "Mas Reza, aku senang liat kamu udah fresh lagi." Dika mahasiswa semester lima mengatakannya sebagai bentuk apresiasi terhadap perubahan Reza. Bukan rahasia umum lagi jika Reza patah hati karena Arini. Berita itu akan menyebar dengan cepat. Ya, kedatangan Arini waktu itu yang menyebabkan semuanya. Reza tak ingin menampiknya atau membuat klarifikasi perihal berita itu. Lebih tepatnya membiarkannya saja. Lama kelamaan pasti akan reda dengan sendirinya. Dua minggu sudah sejak kejadian itu. Kini hati Reza sudah tidak ada lagi nama Arini. Entah mengapa begitu cepat nama itu hilang dari hati dan otaknya. Rasa sakit yang ditorehkan wanita itu jelas sangat dalam. Akan tetapi, Reza lebih memilih melupakan rasa sakit itu. "Makasih, Dik. Sudah seharusnya aku serius kuliah." Reza mengatakan apa yang ia rasakan saat ini. Masa depan taruhannya jika terus menerus memikirkan hal yang tidak penting. Rasa sakit hati yang ditorehkan oleh Arini memberikannya pelajaran yang bermakna. Bahwa hidup harus tetap dan terus berjalan meskipun tidak bersama dengan orang yang dicintainya. Benar, Reza pun justru keadaannya jauh lebih baik. Berita kedekatan Arini dengan Henri telah menyebar ke seluruh penjuru kampus UNY. Reza memilih mengabaikannya. Justru saat ini laki-laki idola sejuta kaum hawa lebih bersyukur, Allah menunjukkan padanya jika wanita tinggi semampai itu tidak cocok untuknya. Beredarnya berita Reza tidak lagi mengejar Arini menjadi angin segar bagi kaum hawa yang mengidolakannya. Masih ada harapan. Begitulah pikiran mereka. Entah, harapan apa yang dimaksudkan. Marisa salah satunya. Adik tingkat Reza sangat terobsesi dengan laki-laki tampan dengan tatapan setajam mata elang itu. Marisa sangat gencar mendekati Reza. Mulai dari perhatian kecil hingga perhatian yang luar biasa. Reza memilih mengabaikan semuanya. Bahkan, saat liburan semester tiba, gadis itu memilih tinggal di Yogyakarta karena tahu jika Reza masih harus bekerja di biro travel. "Za ... makan siang pengen dibawain apa?" tanya Marisa yang pagi-pagi sudah mengantarkan bubur untuk sarapan pujaan hatinya. "Mar ... tolong berhenti bersikap seperti ini." Reza bersikap dingin dengan wanita manapun. Tidak peduli siapa pun itu, hatinya kini tertutup untuk makhluk Tuhan bernama wanita. Bukan tidak normal atau melenceng. Akan tetapi, laki-laki tampan itu masih berupaya menyembuhkan hatinya. Reza memang tampak baik-baik saja. Ia lebih sering berkumpul dengan teman-temannya. Hanya orang yang benar-benar dekat saja yang akan memahami jika sebenarnya sosok itu sedang patah hati yang hebat. Sandi--adik angkatannya sekaligus sahabatnya sangat paham dengan kondisinya. Laki-laki dengan model rambut khas cepak itu memilih tidak mencampuri urusan Reza meskipun mereka bersahabat. Sandi pun sibuk dengan kegiatan di luar kuliah. Ia lebih sering menghabiskan sisa waktunya untuk memberikan tambahan pelajaran pada anak-anak SMP dan SMA. Membantu meringankan beban ibunya di Jakarta. Reza pernah menawarkan agar bekerja travel milik papanya. Akan tetapi, Sandi menolaknya karena bukan passionnya. Sandi lebih menyukai untuk mengajar daripada bekerja yang lain. Jiwanya ingin mendidik anak-anak di negara ini. Reza tidak tersinggung dengan pilihan Sandi. Justru ia memberikan dukungan kepada sahabatnya itu. "Za ... apa sesulit itu ...?" Marisa menggantungkan pertanyaannya. Ia tak sanggup untuk mengatakannya. Reza sosok yang dikaguminya sejak dulu, sikapnya tidak pernah berubah. Mengacuhkan dan selalu menjauh. Tidak peduli dengan perhatian bahkan kepedulian yang diberikannya sejak awal mengenal sosok tampan itu. Reza bukan laki-laki yang mudah jatuh cinta pada lawan jenisnya. Hal ini yang membuat Marisa bertekad mendapatkan hati sosok pujaan hatinya. "Mar ... hubungan kita ini sebatas teman saja. Aku tidak bisa menerima perasaan cintamu. Bukan karena wanita manapun, tapi aku memang tidak ingin memikirkan masalah percintaan." Reza berusaha menjelaskan pada sosok wanita yang mengejarnya sejak dulu. "Tapi aku ... mencintaimu." Marisa memberanikan diri mengatakan isi hatinya pada sosok yang telah mencuri hatinya sejak dulu. Marisa bahkan selalu berusaha menyamakan jadwal kuliahnya dengan Reza. Hanya demi bisa melihat sang pujaan hatinya. Sosok wanita agresif itu tak segan-segan memberikan peringatan pada gadis-gadis di kampus yang berusaha mendekati Reza. Akan tetapi, sang pujaan hati tetap tidak berpaling padanya. Gadis itu bahkan rela meniru sosok Arini, wanita yang dicintai oleh Reza. Sampai sejauh ini perjuangannya untuk mendapatkan hati laki-laki pujaan hatinya. Tetap saja, Reza tidak membuka pintu hatinya sama sekali. Justru penolakan demi penolakan berupa menghindar dari Marisa yang Reza lakukan. "Maaf, Mar, aku tetap tidak bisa membalas rasa cinta kamu. Terima kasih atas kejujuranmu." Reza kembali menolak cinta sosok gadis yang ada di depannya. Reza pergi meninggalkan Marisa seorang diri. Ia harus menuju tempat travel, usaha milik sang papa. Marisa mengejar sosok laki-laki pujaan hatinya itu. Ingin mengantarkannya sampai tempat kerja. Sayangnya, penawarannya kembali ditolak oleh Reza. Marisa kembali ke parkiran tempat indekos milik Reza. Ia menyadari jika bubur yang dibawanya sama sekali tidak disentuh oleh pujaan hatinya. Hatinya berdenyut nyeri. Setiap kali melakukan kebaikan selalu berakhir dengan penolakan. Marisa memasuki mobilnya dengan perasaan yang tak menentu. Ia marah, sedih, dan kecewa. Semua itu menjadi satu. Liburan semester tinggal dua minggu lagi. Ada baiknya, ia pulang ke rumah orang tuanya. Sejenak memberikan jeda pada hatinya yang sakit karena patah hati. Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD