Author POV
Malamnya Mama Amel dan Mama Anne tiba dirumah. Saat mendengar bahwa Cakka sakit kedua wanita paru baya itu buru-buru pulang dari Bandung.
"Cakka, kamu sakit apa Nak?" dengan tergesa-gesa Mama Cakka masuk kedalam kamar saat melihat putranya berbaring lemas dengan handuk kecil didahi.
Shilla menghampiri keduanya, tak lupa dia menyalim tangan Mamanya dan Mama Cakka.
"Cakka demam Tante, tadi Shilla udah panggil Tante Rina, katanya Cakka cuma kecapekan dan butuh istirahat" jawab Shilla.
"Oh iya makasih sayang, kamu memang istri yang baik. Oh iya, mulai sekarang kamu jangan panggil Tante lagi dong kebiasaan deh," Mama Amel mengingatkan Shilla.
"Iya sayang, manggilnya itu Mama. M a m a," eja Mama Anne penuh penekanan.
"Eh iya Ma," ucapnya seraya tersenyum kaku.
Beberapa saat setelahnya, kedua wanita paruh baya itu langsung turun ke lantai bawah karena masih ada yang harus di urus.
Shilla duduk disisi ranjang mengarahkan tubuhnya menghadap Cakka yang tertidur pulas, matanya tak lepas memandang cowok itu seolah jika ia berpaling akan ada hal yang akan ia lewatkan.
Nyatanya, ini adalah pertama kalinya Shilla melihat Cakka dengan jelas dengan jarak yang benar-benar sedekat ini.
Dia memang tampan, Shilla membatin tak bisa memungkiri.
Shilla tersenyum tipis, dan cowok dihadapannya ini adalah suaminya.
Tak pernah terpikirkan olehnya ia akan menikah secepat ini, dengan berbisik pelan Shilla berucap, "cepat sembuh."
***
Cakka POV
Aku benci sakit.
Sangat benci.
Alasannya karena aku hanya bisa tidur seharian di atas ranjang tanpa bisa melkukan apapun dan itu sangat menyebalkan.
Tapi untuk pertama kali, aku menikmatinya, ternyata menikah dengan Shilla tidak seburuk itu. Meskipun aku tidak mencintainya tapi aku tidak bisa mengatakan aku membencinya, jika saja dia sedikit lebih ramah kami bisa menjadi teman. Siapa tau nantinya bisa saling menyukai, aku tidak ingin mengingkari kemungkinan-kemungkinan itu. Lagipula, itu akan bagus untuk aku dan dia kedepannya.
Aku memang menerima pernikahan ini karena paksaan Mama dan Papa namun aku tidak terlalu menyesalinya karena istri yang dipilihkan untuk ku bukanlah seseorang yang patut ditolak.
Dia cantik dan baik, meskipun cukup ceroboh.
Aku mengerjapkan mataku beberapa kali setelah tidur seharian, ku rasakan tangan ku terasa berat untuk diangkat saat aku menoleh ke kiri, ku lihat Shilla tertidur disisi ranjang sambil melipat kedua tangannya dan menempelkannya dipipi.
Oh damn! She's my wife, i can't believe she's mine.
Lama aku memperhatikan wajahnya yang tertidur pulas. Bibir tipisnya semerah tomat, pipinya yang cukup berisi sangat lucu. Beberapa saat kemudian ia terbangun dari tidurnya, setelah mengucek matanya dia langsung terduduk menghadapku.
"Lo udah bangun Kka?" ucapnya dengan suara serak khas orang bangun tidur.
"Hmm," aku tak berniat banyak bicara, walaupun sebenarnya aku sudah mulai merasa baikan tapi tetap saja kepalaku masih terasa pusing.
Aku malas mengatakan kalau kepala ku masih sakit sudah ku katakan aku tidak suka sakit, sebagai laki-laki aku tidak akan memanjakan penyakit.
Demam adalah hal kecil hanya saja Shilla yang menganggap ini berlebihan.
"Makan dulu ya," dan ku balas dengan anggukan kecil.
Shilla kembali dengan nampan dan semangkuk berisi bubur ditangannya, aku tidak berkata apa-apa begitu pun dengannya, setelah beberapa detik terdiam Shilla berucap, "gue suapin," lalu mulai menyendokkan bubur kedalam mulutku.
Aku hanya sedang tidak bertenaga untuk menolak, meskipun ini terasa aneh.
Suapan pertama, kedua, ketiga hingga akhirnya terdengar dentingan sendok yang menyentuh dasar mangkuk kaca itu. Aku sebenarnya sedang tidak berselera namun tidak ingin menjadi manja karena sakit yang bahkan tidak terlalu parah.
"Shill,"
"Kka,"
"Eh,"
Suasana mendadak semakin canggung karena Shilla menyebut namaku disaat aku juga menyebut namanya hingga kami dengan tidak sengaja menebut nama masing-masing bersamaan.
Sial, rutukku dalam hati menanggapi kecanggungan ini.
"Lo duluan aja deh," ucapku.
"Lo aja deh," balas Shilla.
"Ladies first,"
"Ehmm gue lupa mau bilang apa," ucapnya.
"Gue juga,"
Dan setelah itu kembali hening.
Demi apa, aku tidak tau situasi apa ini.
"Lo istirahat aja lagi," ucap Shilla setelah aku menghabiskan bubur yang tersisa didalam mangkuk dan meneguk air.
"Gue capek tidur seharian," ucapku.
"Jadi lo mau ngapain?" Shilla bertanya.
Aku mengidikkan bahu yang membuat Shilla tampak salah tingkah, karena tak ingin berlama-lama dengan posisi awkward ini, ia akhirnya memilih untuk menghindar dengan alasan mau mengembalikan mangkuk bubur ke dapur.
*
Ashilla POV
Aku baru saja tiba di sekolah setelah semalam tidak masuk, hari ini aku di antar Pak Jono, supir pribadi Papa karena Cakka masih belum sembuh total dan belum dapat kembali masuk sekolah.
"Hai Shill," Via menyapaku begitu aku memasuki ruang kelas.
"Hai Vi.." balasku menyapanya.
"Lo kenapa keliatan lemes gitu sih,"
"Enggak kok, biasa aja,"
"Terus Cakka udah gimana?"
"Masih demam, tapi udah mendingan dari pada semalem,"
"Oohh," ucap Sivia sambil membulatkan bibirnya.
Aku duduk dibangku ku dan merasa aneh sendiri karena hanya sendirian tanpa ada teman semeja.
"Pagi anak-anak," beberapa saat kemudian Bu Ira masuk kedalam kelas dengan langkah ceria. Sepertinya moodnya sedang baik.
"Pagi Bu," balasku dan yang lainnya, Bu Ira memperhatikan bangku Cakka sebentar, seperti mengingat-ingat siapa penghuninya lalu kembali fokus pada semua murid.
"Hari ini kita persentasi," ucap Bu Ira kemudian.
WHAT?
Astaga, aku lupa!
Aku tidak ingat sama sekali akan tugas dari Bu Ira, semalam aku belum mebaca buku biologi sama sekali, aku juga tidak ikut belajar kelompok dengan teman-teman sekelompok ku .
Bagus Shilla, setelah ini pastikan nilai Biologi mu C.
"Kelompok pertama silahkan maju kedepan untuk mempersentasikan hasil diskusinya,"
"Yaitu Ashilla, Alyssa, Alvin, Angel," lanjut Bu Ira. Baiklah, tidak ada pilihan lain selain ragu-ragu maju kedepan.
"Nih," saat itu Alvin teman satu kelompok ku menyodorkan copy-an materi kepadaku.
"Gue udah copy buat lo," lanjutnya sambil tersenyum.
Aku tersenyum kaku, "thanks Vin," ucapku akhirnya. Dia baik sekali.
Dikelompok ku Alvin lah yang paling aktif menjelaskan tentang materi persentasi, yang ku dengar tentangnya ia memang salah satu yang sering disebut-sebut oleh para siswi, pantas saja banyak yang terpesona dengan Alvin karena selain tampan dia juga pintar dalam pelajaran. Bahkan Ify yang notabene nya rangking 3 saja lebih banyak diam.
Setelah kelompok ku selesai kelompok Cakka adalah selanjutnya ,mereka tampil bertiga, Alika, Bastian dan Bagas karena Cakka tidak masuk hari ini.
"Cakka tidak hadir bu," ucap Alika pada Bu Ira.
Selama mereka persentasi Alika selalu saja berkata...
"Sesuai pembahasan yang saya dan Cakka diskusikan..."
"Sesuai pembahasan yang saya dan Cakka diskusikan.." membuat ku muak. Oh, ini hasil diskusi mereka yang hampir selama 5 jam itu?
Lagi pula seharusnya Alika mengatakan 'sesuai hasil diskusi kami' bukan hasil diskusinya dengan Cakka. Aneh sekali.
Begitu pulang sekolah aku lagi-lagi harus menunggu lama di gerbang sekolah karena Pak Jono tak kunjung tiba untuk menjemputku. Berkali-kali aku mencoba menelfon tapi tetap saja jawaban yang terdengar hanyalah suara operator yang mengatakan bahwa nomor yang ku tuju sedang tdak aktif atau berada diluar jangkauan.
"Lama banget Pak Jono," keluhku karena semakin lama sekolah makin sepi hingga membuatku jadi parno sendiri.
5 menit lagi nggak dateng, fix gue naik angkutan umum.
"Cewek cantik, nunggu disini sendirian, nggak takut?"
DEG'
Seketika bulu ku merinding mendengar suara dari balik tubuh ku.
Tuh kan Shill, coba tadi lo mau diajak Sivia nebeng pasti gak gini.
"Alvinn!" Begitu aku membalikkan badan tanpa sadar aku meneriakkan nama orang yang membuatku terkejut bukan main itu.
Alvin terkekeh, lalu bertanya, "kok belum pulang?"
"Nah, lo sendiri kenapa belum pulang?" Aku balik bertanya.
"Yaelah orang nanya malah ditanya balik, jawab dulu pertanyaan gue,"
"Belum dijemput, nah lo?"
"Belum mau pulang,"
"Gak nyambung"
"Apanya?"
"Jawabannya,"
"Nyambungin aja sih,"
"Ih," siang-siang begini ada aja yang bikin kesel.
"Yaudah yuk pulang bareng gue,"
"Katanya lo belum mau pulang,"
"Kapan gue bilang?"
"Tadi,"
"Ya kan tadi sekarang udah beda,"
"Ngeselin banget sih lo" yang ada Alvin malah tertawa renyah saat aku katakan dia menyebalkan.
"Ikut gak nih?"
Setelah dipikir-pikir aku memang lebih aman pulang bersama Alvin tapi bagaimana kalau nanti Alvin malah bertemu Cakka dan dia curiga dan akhirnya tau kalau aku dan Cakka itu suami-istri? Hell-No, jangan sampai itu terjadi tapi tidak mungkin aku berlama-lama disini.
"Ikut gak nih, lama banget mikirnya. Lagian disini angkutan umum jarang lewat," ucap Alvin.
"Eh,"
"Udah deh ayo," dan akhirnya aku naik juga ke motor Alvin.
Tidak banyak percakapan diantara kami selama di perjalanan, Alvin juga tidak banyak bicara kecuali ketika bertanya arah menuju rumahku.
"Mampir dulu yuk," ajakku pada Alvin, saat baru turun dari motornya. Walaupun aku juga was-was kalau sampai Alvin meng-iya-kan dan kemudian bertemu dengan Cakka di dalam.
"Lain kali aja deh, gue buru-buru harus jemput nyokap nih," ucap Alvin
"Oh gitu ya. Yaudah deh, thanks ya Vin," Alvin tersenyum lalu memasang helm nya kembali.
"Ok, gue balik ya,"
"Iya, ti-ati," refleks tangan ku melambai begitu motor Alvin mulai menjauh dari pekarangan rumah.
Malam ini Mama dan Papa mengajakku dan Cakka untuk makan diluar mengingat mulai sekarang setiap akhir bulan akan ada yang namanya family time dimana keluarga ku dan keluarga Cakka akan makan malam bersama untuk mempererat persaudaraan dan tali silaturahmi. Ah, keadaan Cakka juga sudah jauh membaik dan sudah bisa beraktifitas seperti biasa sehingga hari ini ia bisa ikut bergabung.
"Mama denger dari kepala sekolah kamu, Mbak Tania, katanya bulan depan ada study tour ke Bali, benar nggak?" tanya Mama kepadaku setelah
"Nggak tau," jawabku. Aku sendiri belum mendengar apapun tentang study tour yang Mama maksud.
"Kamu sama Cakka ikut aja," sambung Mama lagi.
"Hmm," aku hanya berdehem.
"Mama sama Papa pulang dulu, jaga kesehatan ya Kka," ucap Mama Amel -Mamanya Cakka-.
"Iya Ma," balas Cakka, kemudian Mama Amel menghadap kearah ku.
"Kamu juga ya sayang, jaga kesehatan biar gak jatuh sakit, jagain Cakka juga ya," ucap Mama Amel yang membuatku tersenyum kikuk.
"Apaan sih Ma, Cakka kan bisa jaga diri sendiri," tiba-tiba Cakka menyahut.
"Maksud Mama jagain biar nggak diambil orang, anak Mama kan ganteng," aku hanya membalas dengan kekehan terpaksa.
"Mama sama Papa pulang dulu ya,"
"Iya Ma, hati-hati," lalu kami masuk kedalam mobil begitu mobil orang tuanya Cakka menjauh.
Perjalanan dari restoran tempat kami makan menuju kerumah memang cukup jauh, ditambah lagi kemacetan Jakarta yang super padat membuat ku beberapa kali mendecakkan lidah, rasanya tidak nyaman saat ini untuk duduk bersebelahan dengan Cakka.
"Macet banget ini sayang," ucap Mama memberi penjelasan karena terus mendengar decakkan ku.
Entah beberapa menit lagi hingga kami akan sampai, namun aku akhirnya memutuskan untuk tidur karena malas berada didekat Cakka juga rasa kantuk yang mendominasi.
Tak perlu berlama-lama begitu aku memejamkan mata dimenit-menit seterusnya aku sudah terbang kealam mimpi.
*
Author POV
Mobil hitam metalik itu masuk melewati gerbang bercat putih. Setelah mesin mobil mati, satu-satu orang didalamnya mulai keluar.
"Banguni aja Shilla nya Kka," ucap Papa Shilla memberitahu menantunya.
"Gendong aja deh Pa, kasian Shilla nya, lagian udah tau anaknya susah dibanguni," Mama Anne -Mama Shilla- menyahut merasa iba jika putri semata wayangnya yang saat ini tertidur pulas dibangunkan.
"Shilla kan berat Ma," balas Papa Shilla.
Cakka yang mendengar itu ikut menyahut, "gak usah Ma-Pa biar Cakka aja yang gendong Shilla ke kamar," ucap Cakka pada Papa dan Mama Shilla.
"Gak usah Kka, kamu kan masih sakit Nak,"
"Gak kok Ma, Cakka udah sehat kok. Mama sama Papa masuk aja duluan,"
"Bener nih?"
"Iya Pa,"
"Yaudah Papa sama Mama masuk dulu ya,"
Setelah kedua orang tua Shilla masuk ke dalam, Cakka pun menghampiri Shilla. Dalam hitungan detik Shilla sudah berada di dekapan Cakka yang kemudian menggendongnya.
"Berat banget sih," bisiknya lebih pada dirinya sendiri.
"Banyak dosa sih sama suami, ngelawan mulu," lanjutnya dan tersenyum samar.
Cakka menggendong Shilla hingga ke kamarnya lalu membaringkan gadis itu di ranjang bersprei warna merah marun itu.
Dengan sabar ia menyingkirkan satu-satu benda yang mengganggu tidur Shilla seperti tas yang masih tersampir di bahunya juga wedges yang dipakainya, Cakka duduk disisi ranjang sambil memperhatikan Shilla sebentar, menyibakkan rambut yang menutupi wajahnya kebalik telinga gadis itu.
"Good night," ucapnya sebelum pergi meninggalkan Shilla sendiri.
***