Sinar matahari lembut menembus celah tirai kamar. Dengan mata yang masih tertutup, Nayara meraba ke sisi sebelahnya, tempat Revan biasanya tidur. Kosong. Bahkan tidak ada bantal di sana. Nayara bangun dan menoleh ke arah ruang kerja yang ada di kamar itu, hanya dipisahkan oleh kaca dan pintu sebagai pembatasnya. Revan benar tidur di sana, di atas sofa dengan tubuh tertutup selimut.
Nayara masuk perlahan dan duduk di samping sang suami. Dia melihat sebuah sapu tangan merah jambu di genggaman Revan. Di ujung sisinya, Nayara dengan samar melihat sebuah nama yang terukir. Karena tidak jelas, dia mengambilnya perlahan namun Revan malah bangun.
Revan menarik kembali sapu tangan yang hampir terlepas dari tangannya itu. “Ada apa?”
“Kamu masih simpan itu, Mas?”
“Kenapa?” tanya Revan dengan suara serak, khas bangun tidur.
“Itu punya mantan kamu, ‘kan? Kenapa masih kamu simpan?”
“Emangnya kenapa? Aku masih butuh. Ini aku pakai karena aku lagi flu.”
“Tapi ….”
“Mau kamu permasalahkan lagi? Ini masih pagi, Nay. Tolong jangan cari masalah.” Revan bangkit dari sofa tanpa menatapnya. Dia berjalan melewati Nayara begitu saja.
"Kamu mau mandi? Mau aku siapin air hangat?" suara Nayara nyaris tak terdengar.
“Enggak usah,” jawab Revan singkat, lalu masuk ke kamar mandi dan membanting pintu tanpa suara yang berlebihan, tapi cukup untuk membuat d**a Nayara makin sesak.
Nayara tetap duduk di tepi sofa untuk beberapa detik. Seperti biasa, dia coba menahan semua emosinya. Perlahan, dia beranjak menuju lemari, mengambil kemeja putih favorit Revan, celana bahan gelap, dan dasi abu-abu yang warnanya cocok dengan jas kerjanya.
Setelah beberapa menit, Revan keluar kamar mandi dengan rambut masih basah dan handuk menggantung di lehernya. Dia langsung memakai kemeja yang Nayara letakkan di atas kasur.
“Mas, aku izin pergi ke panti asuhan, ya? Mau kasih donasi rutin.”
Revan yang tengah sibuk mengancingkan kemeja hanya melirik sekilas ke arah Nayara. “Kenapa enggak transfer kayak biasanya?”
“Uangnya emang aku transfer, tapi aku juga mau kasih alat tulis untuk anak-anak di sana.”
Revan menatapnya dari cermin sebelum akhirnya berbalik. "Sendiri?"
“Iya. Kenapa?”
Tanpa diduga, Revan menjawab, "Biar aku antar."
Sejenak Nayara terdiam, terkejut. Sudah lama sekali suaminya tidak menawarkan diri untuk menemaninya. "Enggak usah, Mas. Aku bisa sendiri, kok.”
"Aku antar," ulangnya tegas.
Nayara tidak membantah lagi. Dia hanya mengangguk sebelum melangkah ke luar kamar, memastikan beberapa kotak besar ada di dalam mobil.
Sepanjang perjalanan menuju panti asuhan, suasana di dalam mobil terasa canggung. Tidak ada percakapan berarti di antara mereka. Revan fokus menyetir, sementara Nayara hanya menatap ke luar jendela.
“Nay, soal semalam ….”
“Lupain aja, Mas.”
“Aku tau kamu pasti marah soal … Amanda. Itu wajar banget. Tapi, aku benar-benar enggak ada maksud apa-apa, kok. Aku juga enggak sedekat itu sama Amanda. Enggak ada yang aku sembunyikan dari kamu. Aku juga minta maaf karena semalam sudah marah-marah sama kamu. Maafin aku, ya?”
Nayara menoleh pelan ke arah Revan. Dia tidak pernah benar-benar menyimpan amarah pada Revan. Bahkan di saat hatinya remuk, dia tetap memilih percaya. Bukan karena dia bodoh, tapi karena mata Revan yang masih menampilkan ketulusan, masih sama seperti dulu. Ketulusan yang tidak pernah benar-benar hilang.
“Tanpa sadar, ini sudah jadi kebiasaan kita, ya, Mas? Malam berantem, paginya baikan. Gitu aja terus setiap hari. Dan disetiap hari juga aku berharap supaya malam nanti kita berantem.”
Perlahan, Revan meraih tangan Nayara sambil tetap fokus mengemudi. “Aku enggak lupa, kok, kalau kamu paling suka dipeluk dan dipegang tangannya, ‘kan?”
Sentuhan itu membuat jantung Nayara bergetar pelan. Tangannya hangat, genggaman Revan lembut. Nayara menunduk, menatap jemari mereka yang saling bertaut, lalu menarik napas dalam-dalam. “Iya, aku suka.”
Sesampainya di panti asuhan, beberapa anak-anak langsung berlari riang menyambut Nayara. “Kak Nayara datang!” seru mereka serempak.
Seorang wanita paruh baya menghampiri dengan ramah. "Ya ampun, Nay, kamu datang sama Pak Revan?"
“Iya, Mas Revan sendiri yang mau.” Nayara meraih tangan Revan yang berdiri kaku di sampingnya. “Mas, mau ke dalam?”
“Kamu duluan aja,” jawabnya datar.
Di luar, Revan berdiri di dekat mobil, mengamati suasana panti yang hari itu tampak lebih ramai dari biasanya. Beberapa relawan tampak sibuk membantu anak-anak, ada yang sedang mengajari menggambar, ada pula yang membagikan makanan.
Revan baru ingat kalau ada kotak besar berisi alat tulis yang belum diturunkan dari mobil. Ketika sedang menurunkan kotak itu, seorang relawan datang menawarkan bantuan.
"Mas, perlu bantuan?"
"Iya, tolong bawakan kotak ini ke dalam," ujar Revan tanpa benar-benar memperhatikan wajah pria itu.
Begitu pria itu melangkah mendekat dan meraih kotak, Revan baru menoleh. "Rico?"
"Revan?"
Keduanya terdiam sejenak. Bukan karena tidak ada yang mau mereka katakan, tapi karena ketegangan yang tiba-tiba muncul di antara mereka.
Akhirnya, seorang relawan lain yang melihat kebingungan mereka langsung turun tangan. "Biar saya aja yang bawakan, Mas."
Rico dan Revan sama-sama melepas kotak itu tanpa banyak bicara. Relawan lain mengangkatnya dan membawanya masuk ke dalam panti. Kini, hanya tersisa mereka berdua.
“Apa ini alasan kenapa Nayara mau datang ke sini hari ini?” tanya Revan dingin.
“Kamu datang sama dia?”
Saat itulah Nayara keluar dari dalam panti. Namun, sebelum dia bicara, Revan sudah menarik tangannya dan membawanya masuk ke dalam mobil. Mereka pun pergi meninggalkan tempat itu tanpa sepatah kata pun.
“Mas, ada apa?”
"Apa kamu ke panti karena mau ketemu Rico?" tanya Revan sambil mengemudi.
“Aku enggak tau dia ada di sana, Mas.”
“Jadi, kamu tau kalau dia sudah balik ke Indonesia?”
“Iya, kemarin aku ketemu dia jalan.”
Revan mengemudi dengan kecepatan tinggi, membuat Nayara mencengkeram kursi dengan kencang. Jantungnya berdebar, tapi dia tidak berani mengatakan apa pun. Sesampainya di rumah, Revan menarik tangan Nayara dengan kasar.
"Mas, sakit." Nayara meringis, tapi Revan tidak mengendurkan genggamannya.
Begitu mereka tiba di kamar, Revan mendorong Nayara ke atas kasur. Punggungnya membentur pinggiran ranjang dengan keras. “Aw,” ringisnya.
“Nay, kamu masih berhubungan sama Rico?!” tanya Revan dengan nada tinggi, nyaris seperti menuduh.
Nayara menegakkan tubuh, menahan nyeri di punggungnya. “Enggak, Mas. Tolong kamu jangan salah paham.”
“Jadi, maksud kamu semuanya cuma kebetulan? Kebetulan kamu mau donasi alat tulis ke panti dan kebetulan Rico jadi relawan di sana gitu?!”
“Mas, aku enggak tau dia ada di sana. Kenapa kamu enggak percaya sama aku?”
Revan terdiam. Dia jalan mondar-mandir, sambil memegang kepalanya. Lalu, dia duduk di sofa samping ranjang, bersandar dengan mata terpejam. Sedangkan Nayara hanya menunduk, memegang bagian punggung yang masih nyeri terkena ranjang tadi. Dia menangis tanpa suara.
Seperti sadar akan apa yang dia lakukan, Revan merasa bersalah. Kemarahan yang menguasainya perlahan mulai mereda. “Apa-apaan aku ini? Kenapa aku kayak gini?” batinnya.
Revan mengusap wajahnya kasar. Dia menatap Nayara yang masih duduk di tepi ranjang sembari meringis kesakitan memegang punggungnya. Perlahan, Revan menyentuh punggung sang istri seakan takut melukainya lagi.
“Aku … aku keterlaluan, Nay. Aku minta maaf.” Suaranya tidak lagi dingin, ada penyesalan yang tertahan di sana.
Tubuh Nayara menegang sesaat saat tangan itu menyentuh bagian punggung yang masih terasa nyeri. “Aw,”
“Maaf, ya? Aku enggak sengaja.”
Nayara mengangguk kecil meski wajahnya meringis. Revan memeluk Nayara dari belakang. Nayara menutup mata. Tubuhnya merespons tanpa bisa dicegah. Sudah lama sekali dia tidak disentuh seperti itu oleh sang suami. Bukan sentuhan marah, tapi sentuhan yang penuh perhatian. Tanpa sadar, Nayara menangis.
“Kenapa kamu nangis?” Suara itu langsung berubah panik. Revan menatap Nayara dengan sangat dekat, tanpa melepaskan pelukannya. “Aku salah lagi, ya? Aku nyakitin kamu?”
Kepala itu menggeleng pelan. Tangis Nayara pecah, tanpa suara keras, hanya bahu yang bergetar. “Aku senang karena aku kangen banget sama kamu.”
Tangan Revan terangkat, mengusap pipi Nayara yang basah. Dahi mereka bersentuhan. Napas Revan terasa berat, sedangkan Nayara masih menangis. “Nay?”
“Eum?”
“Kamu … kamu mau punya anak lagi sama aku?”
Nayara terdiam. Matanya menatap wajah Revan dengan terkejut. “Apa?”
“Kamu mau kita punya anak lagi?”
Nayara menelan ludah. Pertanyaan itu terlalu tiba-tiba. Pelukan itu belum lepas, dan tatapan Revan pun masih berjarak beberapa senti dari pandangannya. Entah kenapa, Nayara ragu. Dia suka dengan sentuhan itu. Tapi, untuk kembali memiliki anak, rasanya dia tidak yakin.
“Nay? Kamu belum siap?”
***