Leo POV
Aku bangun dengan tubuh yang segar. Ini tidur terbaik yang aku miliki. Saat aku membuka mata Amanda sudah tidak disana, tempatnya pun sudah dingin tanda bahwa dia sudah lama bangun. Aku bangkit dan menuju kamar mandi. Setelah selesai aku terkejut melihat nampan berisi waffle dan kopi. Siapa yang meletakkannya? Berani sekali! Aku tidak akan memakan waffle sembarangan! Namun Amanda muncul dan mengatakan itu dari buatan tangannya. Aku memandangnya tajam. Aku tidak yakin dia bisa memasak. Dia terlihat seperti anak manja yang tak bisa apa-apa.
Bau waffle dan kopi membuatku sedikit lapar karena kemarin malam aku tidak memakan apapun di pesta pernikahanku. Makanannya tidak sesuai dengan seleraku. Aku memotong waffle tersebut dan mengarahkannya kemulutku. Aku nyaris berteriak girang karena rasanya yang nikmat tetapi aku harus menjaga wibawaku di hadapannya. Waffle ini setara dengan waffle kesukaanku yang di pesan khusus dari restoran Perancis langgananku. Dan kopi ini pun kopi terenak yang pernah aku rasakan.
Hatiku bergetar dengan kombinasi rasanya. Saat aku menyadari aku masih mengenakan handuk, aku memilih mengenakan jasku dan melanjutkan menikmati makanan itu namun Amanda mengambilnya dan ingin membuangnya. Ingin aku berteriak bahwa aku sangat menyukainya tetapi aku tidak ingin mengakuinya. Aku mengenakan jas yang sudah disiapkan Amanda dengan cepat, perutku berteriak ingin segera di isi. Kunikmati setiap gigitannya dengan lahap. Aku tidak perduli lagi jika Amanda melihatku. Aku menginginkan ini setiap pagi. Saat aku mengatakannya, wajah Amanda berseri. Aku segera meninggalkannya dan menuju mobilku. Handphoneku bergetar, 17 missed called dari Sarah. OH? Sejak kapan aku melewatkan teleponnya? Ini yang pertama!! Sh*t!
“Hallo.” Kataku kemudian.
“Kenapa lama sekali?” gerutunya.
“Maaf, Babe.” Aku memasuki mobil yang dibukakan oleh pengawalku.
“Kamu pasti menikmati malam pertamamu.” Sarah mulai terdengar merajuk.
Aku ingin mengakuinya bahwa aku menikmatinya, “Tentu saja tidak. I miss you more.” Kataku mengalihkan perhatiannya.
Sarah tertawa kemudian. “Aku akan menuju kantormu dalam 2 jam ini.”
“Babe… ayah pasti melarangmu masuk. Aku tak ingin pengawal ayahku melukaimu.”
Sarah menghela napas. “Lalu?”
“Aku akan menemuimu di penthouse saat makan siang.”
Sarah setuju dan memutuskan telepon. Masih dalam perjalanan, aku memikirkan malam pertamaku dengan Amanda dan makanan lezatnya pagi ini. Kejutan apa lagi yang akan diberikannya?
Sudah 1 bulan ini aku dan Amanda menikah. Dan setiap pagi aku selalu menanti waffle buatannya. Membuat moodku bertambah baik. Sejauh ini Amanda bersikap kooperatif. Setiap malam pun dia dengan suka rela melayaniku di ranjang. Mansion kami sudah dapat ditinggali. Aku memilih secepatnya menempati karena tidak ingin di ganggu oleh ayahku yang mulai seminggu ini menginginkan cucu. Oh my… Kami baru saja menikah satu bulan!
Seperti pagi ini, kami baru tertidur jam 2 pagi. 3 ronde s*ks kulakukan dengan Amanda. Saat aku bangun, sudah terdapat waffle hangat dan kopi panas di meja. Amanda muncul dengan mengenakan handuk rendah dan menuju ruang ganti kami. Aku mengikutinya menuju ruang ganti. Aku tidak mengenakan penutup apapun. Dia sedang memilih sebuah dress dan aku menarik tubuhnya menghadapku.
“Leo!” pekiknya kaget. Tanpa peringatan kulumat bibirnya keras dan jariku menyusup disela pahanya dan bermain dengan miliknya. “Le…Leo!” Amanda berusaha mendorong tubuhku tetapi kupertahankan tubuh kami saling menempel erat. Aku menyusupkan dua jariku kedalam kewanitaannya yang hangat. Amanda melenguh dan memeluk leherku erat. Aku mengangkat kaki kirinya dan kuarahkan kejantananku kearah kewanitaannya cepat. Sekali hentakan seluruhnya masuk. Kami mengerang bersamaan. Kumaju mundurkan dengan cepat.
10 menit kemudian kami berganti posisi. D*ggy style. Aku memasukkan kejantananku dari belakang dan kami kembali meleguh. Kewanitaannya sangat sempit. Tidak membutuhkan waktu lama, aku sudah mengosongkan seluruh benihku di dalam tubuhnya. Amanda mengerang keras dan mencapai puncaknya. Hanya suara napas berat kami yang terdengar. Kutinggalkan Amanda dan berjalan menuju kamar mandi untuk bersiap berangkat kerja. Aku menghabiskan waffle dan kopiku kemudian. Amanda sudah rapi dengan jeans dan kaosnya untuk membawa nampanku turun. “Bersiaplah.” Kataku singkat.
“Huh?” Amanda memandangku bingung.
“Kamu akan kekantor. 5 menit.” Aku melewatinya dan keluar dari kamar kami.
Aku menunggu Amanda didalam mobil. Dia sudah tampil cantik dengan rok ketat dan blouse yang membuatnya terlihat fancy. Dia tersenyum kepada pengawalku yang membukakan pintu. Aku menatap tajam pengawalku dan kemudian mereka menunduk.
Aku meraih tangan Amanda dan meremasnya keras. “Ouch.” Pekik Amanda. “Kenapa?”
“Jangan terlalu banyak senyum! Kamu seperti orang gila.” Kataku kemudian. Amanda melihatku heran dan kemudian menggelengkan kepalanya sambil tertawa sinis.
Setibanya di kantorku, aku memilih turun duluan dan Amanda mengikutiku dibelakang. Saat di lantai kantor utamaku, Jeny menghampiriku dengan manja tetapi aku melewatinya cepat. Amanda mengikutiku dengan patuh. Wajahnya masih melihat sekeliling kantorku. “Kenapa aku disini?” tanyanya.
Aku menatapnya lama, “Karena aku ingin.”
“Huh?” Amanda mendekatiku. “Kamu tidak pernah bicara jujur. Kenapa aku di sini?” tanyanya lagi.
“Jika aku sedang h***y, aku bisa segera menyetubuhimu.” Kataku singkat. Semenjak dua minggu lalu aku selalu merasa kesepian di kantor, entah apa yang terjadi. Meski Sarah selalu standby kapanpun di manapun tetapi aku masih merasa kekosongan itu. Kekosongan yang tidak bisa dipenuhi oleh Sarah.
Mata Amanda melotot, “Alasan bodoh. Aku tidak percaya.” Amanda kemudian duduk di kursi sofa di hadapanku. Aku memilih mengabaikannya.
“Aku memiliki kamar di belakang jika kamu ingin tidur.” Kataku saat melihatnya terlihat bosan.
Amanda bangkit berdiri dan menuju kamar. Aku melanjutkan menanda tangani berkasku. 2 jam kemudian Amanda keluar dan menghampiriku. “Kenapa kamu tidak meminum kopimu?” tanyanya. Kopi itu dibuatkan Jeny setiap hari meski rasanya tidak seenak buatan Amanda tetapi aku tidak memiliki pilihan lain. Aku tetap mengabaikannya dan fokus kepada paperku.
Amanda berjalan keluar kantorku dan tak lama kembali dengan dua cangkir kopi. Dia meletakkan di sampingku dan satunya di bawa kedalam kamar. Aku melirik kopi itu dan meminumnya. Aku sangat menyukainya. Awalnya kepalaku sakit karena banyaknya berkas yang harus kucek, tiba-tiba terasa berenergi kembali. Mendekati pukul 12, Sarah menghubungiku dan menyuruhku menemuinya namun aku begitu lelah. Aku merasa tidak sehat sejak kemarin.
Aku masih bersandar di kursiku ketika Amanda kembali keluar. Dia menatapku kuatir. “Kamu sakit?” Aku hanya diam dan kemudian dia menyentuh keningku, aku terkaget dan menepis tangannya kasar. Amanda terlihat terkejut namun airmukanya kembali berubah tenang. “Kamu sakit.” Aku kembali menutup mataku, “Kamu harus istirahat di rumah, Leo.”
“Jangan ganggu aku. Paper-paper ini harus selesai hari ini.” Aku kembali membuka mataku dan meraih paperku. Amanda merampasnya dan mengambil semua paper itu. “Apa yang kamu lakukan?!” teriakku marah.
“Kamu sakit, Leo.”
“Aku tidak peduli. Berikan kembali paper itu!”
“Aku akan mengerjakan paper ini. Istirahatlah di kamar.” Katanya lagi.
Kemarahanku membuncah, wanita ini benar-benar tidak mendengarku. Aku bangkit dan tiba-tiba kepalaku sangat sakit, aku nyaris jatuh jika bukan Amanda yang menangkapku. “See?” Amanda membopongku kedalam kamar dan membuka sepatuku. Di sentuhnya keningku lagi. Aku ingin menghempaskan tangannya tetapi aku tidak memiliki energi. Amanda melangkah keluar. 30 menit kemudian dia kembali dengan sebuah mangkok. Amanda duduk di sebelahku dan memintaku duduk.
“Ini bubur jahe.”
“Aku tidak suka. Tinggalkan aku sendiri.” Aku menghalau keras.
“Coba sedikit. Kalau kamu tidak suka, aku akan membuangnya.” Kata Amanda. Aku menggeleng dan kembali tertidur. “Coba ini atau aku harus memberimu makan dari mulut ke mulut?”
Mataku terbuka kaget, dari mana dia mendapat keberanian mengatakan itu? Amanda masih menatap seakan menantangku. Aku pun meraih sendok dan memakan buburnya. Sungguh di luar dugaan, rasanya enak. Aku menatap Amanda yang kini membuka sebuah bungkus obat.
“Dari mana kamu belajar masak?” kataku pada akhirnya.
“Huh?” Amanda memandangku bingung.
“Kamu jelas bisa masak.”
“Oh? Itu….” Amanda kembali sibuk dengan bungkus obat. “Aku terbiasa mengikuti kegiatan amal dan aku mendapat bagian di dapur umum. Di sana aku belajar masak.”
Aku hanya mengangguk kecil dan menghabiskan bubur itu, rasanya sangat enak. “Untuk makan siang, bisa kamu membuatkan untukku?”
“Why?” tanyanya bingung.
Aku mulai kembali jengkel dengan ketidaktahuannya. Aku sudah merendahkan diriku untuk meminta di buatkan makan siang dan dia membuatku harus mengulangnya. “Turuti saja. Kamu istriku bukan?” balasku sedikit jengkel.
Amanda memandangku dengan tersenyum kecil. “Okeh.” Dia kembali berbalik, “Here… minum obat ini untuk sementara. Jika tidak ada perubahan, kamu harus ke dokter.”
Aku mengambilnya dan menelannya. Amanda membersihkan mangkok milikku dan berjalan keluar. Obat yang di berikannya membuatku mengantuk. Entah berapa lama aku tertidur. Saat aku bangun, aku merasa jauh lebih baik. Jam menunjukkan pukul 4 sore. Nyaris 3,5 jam aku tertidur. Aku bangun dengan tergesa-gesa. Saat aku melihat meja milikku, semua paper sudah diselesaikan dan hanya tinggal aku tanda tangani saja. Aku tersenyum melihatnya. Bagaimana mungkin Amanda menyelesaikan ini? Aku mencari Amanda diseluruh ruangan bahkan menghubungi Jeny.
“Dimana wanita yang tadi bersamaku?”
“Dia pergi 2 jam lalu tuan. Anda memerlukan sesuatu?” tanyanya genit.
Tanpa menjawab, kututup interkomku dan menghubungi kepada pengawalku. “Dimana istriku?”
“Nyonya pulang saat tuan besar memanggilnya.”
“Ayahku?”
“Yah. Tuan.” Lapor pengawalku. Saat itu juga aku berpikir harus membelikan handphone untuk Amanda agar aku bisa menghubunginya kapan saja. Aku masih menatap paper diatas mejaku yang terselesaikan dengan rapi. Siapa sebenarnya kamu, Amanda? Kenapa kamu begitu sempurna?