Amanda POV
Pernikahanku berjalan begitu mulus meski aku merindukan ayah dan ibuku. Sepanjang acara aku terkagum-kagum dengan tampannya Leo dengan tuxedo hitamnya. Aku memilih menuju kamar untuk beristirahat. Seluruh baju Leo dan baju milikku tersusun rapi di ruang ganti. Selama 4 hari ini aku tidak melihat Leo menjengukku. Aku tahu dia sibuk. Dia satu-satunya yang akan mewarisi kekayaan orangtuanya. Dan selama 4 hari itu aku mengetahui pasti Clara tidak menyukaiku, tetapi aku tidak mengetahui alasannya. Hanya Freddy yang sesekali bersikap baik. Aku mengerti jika pembawaannya memang tegas dan berwibawa. Aku memilih melihat balkon dan merenung disana.
Namun aku tidak menyangka bahwa malam pertamaku akan begitu sangat menyakitkan. Aku memberanikan diri menanyakan apa Leo akan mencintaiku tetapi dia justru tertawa dan menyatakan aku hanya sebagai pemuas napsu. Dia mencintai wanita lain lalu kenapa dia tidak menikahinya dan malah menikahiku? Kejantanannya yang besar merobek kewanitaanku. Bukan hanya fisikku yang nyeri namun perasaanku juga. Leo begitu buas menyetubuhiku. Aku sudah tidak sanggup menangis dan memilih pasrah. Aku disini untuk menyelamatkan orangtuaku. Aku harus kuat. Ini adalah konsekwensinya.
Tanganku diikat bagai wanita tak berharga, dia memperlakukanku bagai barang. Sepanjang malam aku menahan nyeri. Leo sudah tertidur lelap dan aku bangkit dari tempat tidur membasuh tubuhku. Aku membuka ikatan ditanganku. Aku berharap air hangat akan menyegarkan tubuhku dan mengurangi nyeri di kewanitaanku. Aku menangis tiada henti. Mengapa aku harus mencintai pria ini? Mengapa aku harus mencintai Leo yang jelas-jelas tidak memandangku sama sekali? Kupeluk tubuhku erat. Aku sendirian lagi. Aku tahu cinta ini begitu cepat. Tetapi kepada siapa lagi aku bisa bersandar? Bukankah dia suamiku yang sah dihadapan Tuhan dan negara? Kepada siapalagi aku bisa menaruh kepercayaanku selain kepada suamiku sendiri?
Setelah merasa lebih baik aku mengenakan pakaian piyamaku dan menghampiri Leo yang terlelap. Wajahnya sangat damai. Aku duduk di sebelahnya dan menatapnya lama. Aku mencintai dia. Kusentuh wajahnya lembut. Aku membulatkan tekad… meski dia memperlakukanku seperti ini tetapi aku akan tetap melakukan yang terbaik untuknya. Entah sampai kapan. Sesuai janjiku kepada Freddy bahwa aku akan menjadi istri yang baik. Aku memilih membaringkan diri dan membiarkan kantuk menyelimutiku.
Pagi harinya aku terbangun, Leo masih tertidur lelap dan memeluk tubuhku erat. Aku melepaskan diri dan beranjak keluar kamar. Aku menuju dapur dan mendapati pelayan mulai menyiapkan makan pagi. Aku turut membantunya.
“Nyonya… anda tidak perlu melakukan ini.” Katanya salah satu pelayan dengan wajah takut.
“Tak apa.” senyumku. “Aku hanya akan membuatkan untuk suamiku.” Aku membuatkan waffle dan secangkir kopi. Aku mengetahui dari kepala pelayan bahwa Leo menyukai waffle dan kopi. Untuk makanan berat dia menyukai steak medium rare. Leo sedikit bawel dengan makanan sehingga dia memiliki chef khusus. Aku bisa melihat saat makan malam kami terakhir, dia sama sekali tidak makan dan hanya minum.
Aku membawa nampan berisi waffle dan kopi kedalam kamar. Leo sudah tidak di tempat tidur kami dan aku mendengar suara air mengalir dari kamar mandi. Aku berjalan menuju ruang ganti untuk menyiapkan baju kantornya. Saat aku keluar, Leo sudah menatap nampan dengan tatapan bingung. Handuk melilit rendah dipinggangnya.
“Makanlah. Aku yang membuatnya.” Kataku perlahan mendekatinya. Leo menatapku dengan tatapan tajam. “Cobalah. Jika kamu tidak menyukainya aku akan membuangnya.” Kataku lagi.
Leo masih menatapku tajam dan memotong waffle itu tanpa bicara. Suapan besar masuk kedalam mulutnya. Wajahnya masih tanpa ekspresi. Lalu dia meminum kopinya. Wajahnya masih tanpa ekspresi dan meletakkan cangkir kembali. Sudah pasti dia tidak menyukainya namun tidak ingin repot-repot berbicara denganku. Aku sadar akan itu dan saat dia meletakkan cangkirnya aku mengangkat nampan itu dan berjalan keluar.
“Mau kemana kamu?” katanya kemudian.
Aku berbalik, “Membuang ini.” Aku menunjuk nampan ditanganku.
“Kenapa kamu membuangnya?” tanyanya kemudian.
“Ke… kenapa?” tanyaku balik bingung. “Kamu tidak menyukainya bukan?”
Leo terdiam, aku masih menunggu jawabannya. Masih belum ada jawaban, aku berbalik kembali untuk membuangnya. “Aku akan menghabiskannya. Taruh kembali di sini.” Perintah Leo dan dia menghilang di balik ruang ganti.
Aku berbalik kaget, dia ingin menghabiskannya? Apa dia menyukainya? Masih dengan tanda tanya aku meletakkan nampan itu kembali. Tak lama Leo sudah terlihat rapi dan tampan dengan jas kerjanya yang aku sediakan sebelumnya. Dia duduk dihadapanku. “Kamu tidak perlu memaksakan diri jika itu tidak enak. Kamu akan sakit perut nantinya.” Terangku.
“Kamu cerewet. Kalau aku mengatakan akan kuhabiskan, yah akan kuhabiskan.” Balas Leo dengan tatapan tajam. Tangannya meraih sendok dan dengan lahap memakan waffle buatanku dan menghabiskannya tanpa sisa begitu pula dengan kopinya. Aku hanya menatapnya tak percaya. Pelayan mengatakan dia pemilih. Setelah selesai dia berdehem dan memperbaiki dasinya. “Aku menginginkan seperti ini setiap pagi.” Setelah mengatakan itu dia kembali berdehem dan bangkit berdiri meninggalkanku yang melongo menatapnya. Itu berarti dia menyukainya? Wajahku memerah senang. Leo sudah keluar kamar tanpa mengatakan satu katapun.
Aku meletakkan nampan kosong di meja dapur. “Tuan muda menghabiskannya?” tanya pelayan yang terlihat membantuku mengenakan baju beberapa hari lalu. Usianya sekitar 30an, bernama Ratih. Aku mengangguk dan mencuci tanganku. “BENARKAN?” tanyanya kaget. Aku mengangguk lagi. “Ini pertama kalinya.”
“Maksudmu?”
“Tuan muda sangat pemilih terhadap makanan. Dia hanya memakan waffle habis jika itu dipesan dari restoran Perancis favoritenya.”
“Oh ya?”
“Ya. Jika dia tidak suka makanannya, dia tidak segan-segan memecat kami.”
“Separah itu?”
Ratih mengangguk semangat, “Itu berarti waffle buatan Nyonya setara buatan koki Perancis itu.” Puji Ratih senang.
“EHEMMM!” sebuah suara mengagetkan kami. Ratih menoleh cepat dan dengan takut menunduk lalu pergi cepat. Aku melihat Clara berdiri tak jauh dariku. Clara menghampiriku. “Jaga posisimu! Bagaimana mungkin kamu berbicara dengan pelayan! Nanti mereka memandangmu rendah.” Kata Clara ketus.
“Baik Mi. maaf.” Kataku kemudian. Clara berlalu dengan berdengus kesal.
Aku menghela napas panjang, aku melihat dari sana Ratih tersenyum lemah dan aku hanya mengangguk pelan. Aku memilih menghabiskan waktuku di dalam kamar. Aku membuka jendela dan membiarkan angin sejuk menerpa kulitku. Aku menghela napas panjang. Ini hari pertama aku sudah berstatus sebagai istri. Tangan kananku terangkat, mataku menatap lekat cincin yang tersemat diantara jemariku. Senyum tipis menghiasi wajahku. Hari pertama baru saja dimulai tetapi hatiku sudah mulai tercabik-cabik. Aku tidak yakin bisa memenangkan hati Leo dan ibunya.