BAB 12

1134 Words
                Di sebuah rumah sakit jiwa. Seorang wanita hadir dan berjalan di Lorong rumah sakitbersama seorang suster. Pakaiannya rapi, dengan blazer cokelat dipadukan kemeja putih di dalamnya. Celana panjang yang pas dengan kaki jenjangnya, membuatnya semakin terlihat langsing. Ditambah lagi dengan sepatu tinggi sembilan senti meternya yang semakin membuatnya berhasil mengalahkan suster yang berjalan di sampingnya.                 Ekspresi wajahnya tampak cemas. Kaca mata hitam yang semula dia kenakan, dia lepaskan saat suster di sampingnya mengarahkannya ke sebuah kamar. Sesaat dia terhenti di depan pintu kamar yang masih tertutup, menatap suster di hadapannya yang mulai memasukkan kunci, lantas memutar kunci di lubangnya hingga terdengar bunyi dari sana.                 Suster itu membuka pintu lebar-lebar. Pemandangan menyakitkan langsung menusuk kedua matanya. Seorang wanita terbaring menghadap ke langit-langit kamar di atas tempat tidur wajahnya tetrutupi rambut, kedua tangan dan kakinya terikat tali yang sengaja diikatkan ke besi tempat tidur di setiap sisi. Perlahan dia melangkah masuk, menatap geram ke suster sosok wanita itu yang tidak juga merespon kehadirannya.                 “Kenapa kalian sampai setega ini, sampai mengikatnya seperti itu!” bentaknya geram bukan main. Suster di sampingnya, mundur beberapa langkah karena kaget, lantas dengan sikap ketakutan, dia mencoba memberanikan diri menjawab pertanyaan wanita cantik berambut sepunggung di sampingnya.                 “Di-dia sering mengamuk setiap kali ka-kami masuk membawakan makanan untuknya, Mbak, jadi kami memutuskan untuk mengikatnya.”                 “Tapi dia tidak akan membunuh kalian kalau kalian melepaskannya!” bentaknya lagi seolah lupa tentang kejadian masa lalu sang pasien di hadapannya.                 “Ta-tapi dia sempat melukai salah satu suster di rumah sakit ini, Mbak,” jawab suster itu lagi yang spontan saja melunakan emosi di wajah wanita di sampingnya. “Dan sudah seminggu suster itu belum juga masuk karena terluka.”                 Wanita itu menghela napas, “Apa yang coba dia lakukan?” tanyanya lagi dan kali ini dengan nada suara merendah, tidak seperti sebelumnya.                 “Dia menyayat garpu ke wajah suster itu, beruntungnya lukanya tidak terlalu dalam, tapi suster itu sampai detik ini masih dalam tanganan pihak medis.”                 Wanita itu terdiam, menatap pasien di hadapannya yang masih belum bergerak. Kenekatan pasien itu membuatnya teringat kembali kasus yang menimpanya hingga membuatnya, terkurung di rumah sakit jiwa. Sebelumnya dia sempat berada di penjara, mendekam di sana hampir setengah tahun, namun berhasil bebas akibat gangguan mental yang dia alami. Tapi melihat semua yang kini dia alami, tidak bisa dikatakan kebebasan baginya. Dia malah harus terkurung di dalam ruangan yang tidak terlalu lebar, dan hanya ada tempat tidur di sana, bahkan jendela pun terllau tinggi dan kecil untuk bisa dia lihat ke luar. Ruangan khusus yang diperuntukkan hanya untuk pasien-pasien penanangan khusus sepertinya.                 “Bisa tinggalkan aku sendirian di sini,” pintanya lagi yang sempat membuat suster di dekatnya khawatir.                 “Tapi Mbak, Rachel, akan sangat berbahaya bagi anda kalau harus saya tinggalkan sendiran di sini. Dia bisa melakukan apa pun sama anda, Mbak.”                 Rachel melesatkan tatapan ke suster di sampingnya dengan tatapan tajam, “Dia kakak saya, saya bisa menanganinya lebih baik dari kalian semua!” bentaknya yang lagi-lagi membuat suster itu mundur beberapa langkah, menganggu cepat lantas tanpa membantah kembali, langsung meninggalkan Rachel ke luar, dan menutup pintu dari luar.                 Suster itu tidak langsung pergi. Dia tetap duduk di kursi panjang di samping ruangan pasien itu. Dia takut, jika sesuatu terjadi pada Rachel. Dia tidak ingin disalahkan sama pihak rumah sakit akibat kelalaiannya. Walau pun dia sudah mengunci kembali ruangan itu, tetap saja, baginya nyawa Rachel dalam bahaya bersama pasien gila di dalam.                 Sementara itu, Rachel mendekati pasien yang dijauhkan oleh semua orang. Tidak diberi ke luar walau hanya sesaat menikmati udara bebas. Diikat seperti hewan peliharaan, dan bahkan lebih sering diberi obat bius agar tidak terus menerus berteriak atau menghancurkan ruangan di dalam.                 Dia menyibakkan rambut wanita itu hingga menampakkan seluruh wajahnya yang masih terlihat cantik. Kedua matanya tertutup. Tampak begitu pulas. Namun Rachel tahu, dia pulas bukan karena rasa kantuk secara alamiah, melainkan akibat efek obat tidur yang diberikan pihak rumah sakit, walau memang sudah sesuai takaran. Rachel kembali mendengar bahwa siang ini dia kembali mengamuk, dan hal itulah yang membuat team medis memutuskan untuk memberikannya kembali obat itu. Dan kini dia tampak tenang, seperti sang kakak yang dia kenal dulu. Anehnya, dia berubah drastic semenjak kenyataan itu harus dia terima dalam hidupnya.                 “Kenapa jadi begini, Alea,” ucapnya dengan nada suara bergetar menahan tangis.                 Kakak satu-satunya yang dia kira baik-baik saja di tempatnya berada, kini malah harus terbaring tak berdaya di rumah sakit jiwa. Semula, Rachel sempat mendengar bahwa sang kakak berada di balik jeruji besi. Rasa malu dan takut jika reputasinya turun jika semua klien mengetahui nasib salah satu keluarganya, membuat Rachel enggan menemuinya. Dia sudah melepaskan diri dari jeratan tali keluarga semenjak sang ibu menjual Alea untuk pertama kali dengan salah satu pelanggannya. Dan Rachel yang tidak ingin bernasib sial, memilih untuk mengikuti sang ayah yang berbeda dari ayah Alea.                 Awalnya Rachel ingin membawanya ikut sebelum lebih dalam terjerumus masuk ke dunia hitam itu. Namun penolakan yang dilakukan sang ayah dengan ancaman pencoretan nama dari kartu keluarga jika dia membawa Alea, membuat Rachel tidak bisa berbuat apa-apa. Bahkan untuk sekedar mengirimkan uang saja ke Alea, Rachel tidak bisa. Semua celah untuk berkomunikasi dengan Alea, ditutup sang ayah. Walau diam-diam, Rachel sering mencari tahunya melalui salah seorang mata-mata yang sengaja dipekerjaan Rachel di kota tempat Alea tinggal. Dan melaluinyalah Rachel sering mengirimkan uang dengan alasan, bonus untuk lelaki itu.                 Dan kini, setelah sekian tahun berlalu, Rachel akhirnya bisa memutuskan jalannya sendiri. Dia tidak ingin lagi diatur sang ayah yang semula, menjadi alasannya untuk menjauh dari semua kehidupan masa kecilnya. Walau sang ayah sempat melarangnya pergi, namuN Rachel yang kini sudah bisa berdiri di kedua kakinya sendiri dengan penghasilan fantastis di Malaysia, membuatnya menolak permintaan sang ayah untuk tetap tinggal. Rachel berangkat, tanpa izin dari sang ayah.                 “Cepat sembuh, Al, dan ikut denganku,” ucap Rachel lagi dengan air mata menetes jatuh melintasi pipinya. “Aku gak akan meninggalkan kamu lagi. Mulai detik ini, kamu harus berada dipengawasanku sepenuhnya. Kalau kamu tetap ingin di sini, aku yang akan pindah ke sini dan menangani cabang dari perusahaanku di sini. Kamu harus cepat sembuh, dan kita akan balas semua orang yang sudah menyakitimu.” Rachel mengusap kepala Alea penuh kasih sayang. Dan tentang Raymond, aku harap kamu tidak memikirkannya lagi sampai kapan pun, Al. Dia sudah emmilih pergi dari hidupmu.”                 Rachel menatap lurus ke Alea dengan tatapan penuh dendam. Cerita yang dia dapatkan dari mata-matanya, membuatnya geram bukan main. Semua yang terjadi rasanya tidak adil untuk Alea yang hanya ingin mendapatkan cintanya. Dia benci mendengar beberapa nama yang berhasil merebut kebahagian sang kakak. Dan dia berjanji, tidak akan melepaskan satu nama pun, dari genggamannya kini. Terutama wanita yang berhasil merebut cinta sejati sang kakak yang kini, pasti masih menikmati kebahagiaan itu di atas penderitaan Alea di dalam rumah sakit jiwa.  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD