BAB 11

1647 Words
                Dimas hadir, memeluk Ameliya yang tampak lelah dengan semua keadaan yang ada. Pikirannya terus saja tertuju ke Doni yang tadi malam marah-marah saat Dimas menghubunginya sekedar memberi kabar bahwa dia tidak bisa datang ke rumah Adit karena kemalaman. Masih terdengar jelas, Doni memarahi Dimas yang sudah memberikan izin Ameliya untuk menginap. Dan hal itu membuat Ameliya merasa bersalah karena sudah meminta izin tetap tinggal tadi malam.                 Dimas sendiri sebenarnya tidak merasa menyesal sudah memberikan Ameliya izin menginap. Biar bagaimana pun, Ameliya butuh sedikit waktu untuk menjauh dari sang ayah yang terlalu mengekangnya di rumah. Lagi pula, Ameliya hanya menginap di rumah abangnya saja, bukan di tempat lain yang kesannya berbahaya. Dan Dimas tidak mempermasalahkan itu. Baginya, asal Ameliya bahagia, dia pasti akan melakukan apa pun padanya. Termasuk memberikannya izin ke luar dari rumah.                 Ameliya melepaskan pelukan Dimas, menatap Dimas yang terlihat tersenyum tulus padanya. Kaca mata yang dia kenakan, dia lepas lantas masukkan ke dalam saku celana kerjanya. Dimas merangkul Ameliya dan mengajaknya untuk duduk di atas tempat tidur. Tidak ada kedua anaknya di sana, keduanya tampak asyik bermain di dekat kolam renang bersama Audy, Nisa dan juga Yura.                 “Papa marah?” tanya Ameliya yang malah dijawab Dimas dengan helaan napas. “Karena aku kan?”                 Dimas kali ini menggeleng cepat. Baginya, semua itu bukan karena Ameliya penyebabnya. Ameliya malah tidak salah apa-apa. Dia hanya melakukan apa yang ingin sesekali dia lakukan, tidak lebih. Dan itu hal yang wajar. Hanya Doni yang terlalu berlebihan menanggapi kehamilan Ameliya kali ini. Hingga terkadang membuatnya lupa, kalau ibu hamil juga butuh waktu untuk dirinya sendiri, sekedar untuk bahagia agar tidak tertekan.                 “Jangan pikirkan yang aneh-aneh, semua baik-baik aja,” ucap Dimas mencoba menenangkan sang istri yang masih tampak merasa bersalah.                 “Kita pulang sekarang aja ya, kamu hari ini sudah selesai kerja, kan?” tanya Ameliya yang langsung dijawab Dimas dengan anggukan kepala. “aku gak mau papa semakin marah kalau sampai kita kelamaan pulang. Lagi pula, lusa mama sudah balik. Aku mau berberes rumah dulu.”                 “Buat apa, kan ada pembantu di rumah,” ucap Dimas yang tampak tidak setuju dengan rencana Ameliya. “Kamu itu lagi hamil, gak boleh banyak-banyak ngelakuin kerjaan yang buat kamu capek, Sayang. Kau itu seharusnya perbanyak istirahat.”                 Ameliya menggeleng pelan. Dia tahu, bahwa Doni tidak akan suka kalau dia hanya duduk manis di rumah tanpa melakukan apa-apa. Walau pun Doni memanjakannya layaknya ratu yang tidak boleh melakukan pekerjaaan apa pun semenjak kehamilannya, namun tetap saja Doni akan kesal jika melihatnya duduk diam saja tanpa pergerakan. Ameliya sebenarnya memang selalu serba salah. Entah apa yang harus dia lakukan agar Doni tidak marah padanya. Ameliya benar-benar bingung                                                                                                                                                        saat  berhadapan dengan Doni.                 “Kamu udah makan siang?” tanya Dimas yang langsung dijawab Ameliya dengan gelengan kepala. Dimas tersenyum tipis. Dia tahu, Ameliya pasti tidak selera makan karena masalah yang dia hadapi. Ameliya selalu saja seperti itu, menyiksa diri tanpa dia sadari hingga melupakan segala hal yang terjadi pada dirinya sendiri.                 “Sekarang kamu siap-siap, kita makan di luar aja ya. Ini udah sore, seharusnya kamu makan, bukan malah ngurung diri di kamar kayak gini, Sayang,” ucap Dimas sembari mengusap kepala AMeliya penuh kasih sayang, lantas berpindah mengusap perut Ameliya. “Kasihan si Dede, kalau kamunya kayak gni terus. biar gimana pun, dia bisa ngerasain apa yang ibunya rasakan kan?”                 Ameliya tertunduk sedih, “Maaf,” ucap Ameliya dengan nada suara lirih.                 “Ya udah gak apa-apa, aku ke bawah dulu ya, lihat anak-anak. Kamu siap-siap sekarnag. Akuk tunggu di bawah.”                 Ameliya mengangguk. Dimas melangkah pergi meninggalkan Ameliya yang masih duduk di tepi tempat tidur sembari mengusap perutnya. Ada rasa syukur di dalam hatinya mendapatkan suami seperti Dimas yang sangat memahami perasaannya. Dia tidak tahu akan jadi apa dirinya, jika bukan Dimas orangnya.                 Dimas menuruni tangga sembari membuka kancing pergelangan tangannya. Langkahnya terhenti di anak tangga paling bawah saat mendengar suara Adit menyapanya. Adit tampak santai duduk di ruang tv, sendirian, dengan koran di kedua tangannya. Tidak terlihat siapa pun di sana, hanya suara teriakan dari anak-anak yang asyik bermain bersama Nisa, Aden dan juga Audy di halaman belakang. Sedangkan Yura dan Nina masih belum pulang dari belanja bulanan.                 Dimas memutuskan untuk duduk di hadpan Adit. Adit melipat koran, dan meletakkannya di atas meja. Menatap Dimas yang tampak sedih memikirkan keadaan Ameliya yang semakin hari terasa semakin tertekan karena ulah sang ayah. Adit tahu apa yang sedang di pikirkan Dimas. Dia pun tidak bisa menyalahkan Dimas yang tidak bisa tegas untuk pindah rumah dari sana. Permintaan Doni yang ingin mereka menetap di sana, membuat Dimas tidak bisa berbuat apa-apa. Ditambah lagi dia sendiri pun tidak ingin Ameliya sendirian mengurus ketiga anaknya kelak. Meski pun aka nada pembatu yan siap dua puluh empat jam membantunya menyiapkan segalanya.                 “Ameliya sedih dari tadi,” ucap Adit yang berhasil menarik arah pandang Dimas yang semula tertunduk, kini terarah padanya. “Aku juga sebenarnya gak tau harus gimana nenangin dia. Nisa juga sudah mencoba berbagai cara untuk membuatnya lebih tenang. Tapi percuma, Ameliya terus mengurung diri di kamar dan gak mau berbicara pada siapa pun kecuali kedua anak kalian.”                 Dimas menghela napas pelan, “Papa marah lagi tadi malam,” ucap Dimas yang tidak ingin menyembunyikan apa pun dari Adit. Rasanya, dia ingin berbagi, dan satu-satunya tempatnya bisa bebrkeluh kesah selain pada Nisa adalah Adit. “Seperti biasa, papa malah marah karena Ameliya aku izinkan menginap di luar rumah. Padahal dia menginap di sini, bukan di tempat lain.” Dimas menghela napas panjang. “aku takut kondisi seperti ini malah membuat Ameliya tertekan dan malah berpengaruh ke janin yang dia kandung. Sebentar lagi diam au melahirkan, rasanya terlalu beresiko kalau sampai dia terus memikirkan hal seperti ini.”                 Adit terdiam. Apa yang dikatakan Dimas ada benarnya. Semua akan semakin sulit bagi Ameliya jika terus menerus dirundung masalah yang sama menyangkut Doni yang tidak pernah berubah. Ditambah lagi sikap Doni yang selalu membeda-bedakan anak-anak Dimas dan Ameliya. Padahal dulu di awal menikah apa lagi saat keputusan Dimas untuk menerima Zyo yang jelas-jelas bukan anaknya, Doni malah menyambutnya dengan antusias. Tapi malah sekarang berbeda, Doni bersikap seolah tidak bisa menerima segalanya. Dan bahkan sering memarahi Zyo walau kesalahan yang dia lakukan, tidak disengaja.                 “Zyo juga kasihan, anak sekecil itu terus menerus dibentak bisa membuat sarafnya terganggu nanti ke depannya. Dia bisa jadi anak yang kasar atau malah sensitive. Kasihan, dia sering nangis setiap kali mendengar suara keras.” Adit mencoba mengingatkan Dimas yang membuat Dimas mengangguk pelan. Apa yang dikatakan Adit memang ada benarnya. Dimas sering mendapati Zyo kaget saat mendengar suara gemuruh, benda terjatuh atau suara panggilan seseorang yang sedikit bernada tinggi. Tak jarang Ameliya memeluknya erat saat ketakutan hadir di dirinya. Hal itu membuat Dimas tak tega. Baginya, Zyo sama dengan Zenia, tidak ada perbedaan di antara keduanya walau Zyo bukanlah darah dagingnya. Namun rasa sayang yang dia rasakan untuk Zyo, tetap sama besar seeprti rasa sayangnya terhadap Zenia.                 “Kalian gak berniat pindah rumah?” tanya Adit yang membuat Dimas mengarahkan kembali tatapannya ke Adit.                 Jauh di dasar hatinya yang paling dalam, sejujurnya Dimas sangat ingin pindah dari rumah kedua orang tuanya. Bersama ameliya membentuk keluarganya sendiri, dan hidup mandiri tanpa bayang-bayang Doni mau pu Aurum. Namun berat rasanya meninggalkan Aurum di sana. Berulang kali Aurum memelas meminta Dimas untuk tidak pindah, memohon pada Ameliya untuk meyakinkan Dimas agar tida pergi meninggalkannya di rumah bersama Doni. Sikap Aurum yang berbeda dengan Donilah yang membuat Dimas tak tega meninggalkannya. Dia begitu menyayangi Zyo. Bahkan lebih sering memberikan hadiah pada Zyo dibandingkan Zenia. Walau pun Dimas tetap meyakini, bahwa kasih sayang Aurum tidak ada bedanya di antara keduanya.                 “Sejujurnya aku ingin, Dit, tapi mama tidak mengizinkan hal itu,” ucap Dimas sendu. “Mama ingin kami tetap tinggal di rumah itu, bersamanya. Dia suka jika rumah ramai, apa lagi ada suara Zyo dan Zenia. Mama juga sebenarnya tahu alasan kami mau pindah itu karena apa, cuma sudah berulang kali papa dinasihati olehnya, tapi tetap saja papa tidak berubah. Selalu saja menekan Ameliya sesuai keinginannnya.”                 “Tapi mungkin itu satu-satunya cara agar Om Doni sadar kalau dia tidak seharusnya bersikap seperti itu, Dim,” ucap Adit lagi. Dia tidak ingin melihat sang adik terus menderita karena ulah Doni yang terus saja memarahinya tanpa ampun. Sejak kecil, bersamanya, Ameliya tidak pernah dimarahi apa lagi dibentak seperti itu. Karena itulah Adit tidak bisa menerimanya saat Ameliya harus menanggung bentakan Doni yang tidak pernah dia lakukan sejak kecil. Ameliya sangat dia jaga sepenuh hati. Jangankan membentaknya, berkata tidak saja pada setiap permintaan Ameliya saja, Adit tidak pernah melakukannya. Karena itulah Adit tidak bisa menerima setiap perlakukan Doni padanya. Adit tidak pernah menyesali keputusannya menerima Dimas sebagai suami Ameliya. Namun dia menyesali tidak bisa melakukan apa pun untuk sekedar menyelamatkan Ameliya dari sikap kasar dan kata-kata tak mengenakkan yang ke luar dari mulut Doni. Andai saja Doni seumuran dengannya, mungin saja Adit akan mengajaknya bertarung saja. Adu kekuatan rasanya lebih baik dari pada adu ucapan.                 “Aku minta maaf, Dit. Aku tahu kamu khawatir sama kondisi Ameliya. Aku tahu sebagai abang. Kamu ingin Ameliya tenang di rumah. Aku mengerti itu. Tapi aku bukan tidak ingin membawa Ameliya pindah dari sana, aku juga ingin membawanya ke luar dari rumah itu dan membuatnya bahagia seperti istri lainnya. Tapi aku gak bisa,” ucap Dimas. “Tapi aku janji, Dit, aku akan jaga dia dan selalu bersikap adil pada ketiga anak kami kelak. Entah itu pada Zyo, mau pun Zenia dan calon bayi di dalam Rahim Aemliya. Aku akan ngejaga dan ngebela mereka selalu dari papa. Itu janjiku.”                 Adit menghela napas pelan. Dia percaya akan ucapan Dimas saat itu yang begitu meyakinkan. Dia percaya, Dimas akan mewujudkan janjinya. Adit tersenyum tipis, mengangguk pelan yang membuat Dimas lega bukan main menerimanya. Dia tidak akan mengingkari janjinya sampai kapan pun, jika hal itu menyangkut Ameliya dan ketiga anaknya kelak. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD