BAB 13

1455 Words
               “Kenapa harus bersikap sekasar itu sama menantu kita sendiri, Mas?” tanya Aurum di hadapan Ameliya dan Dimas sesaat setelah dia sampai di rumah.                 Aurum yang mendengar semua cerita dari Dimas di perjalanan dari bandara menuju rumah, membuatnya geram bukan main, hingga tidak bisa menahan emosinya lagi sesampainya di rumah. Semula, Doni menyambutnya hangat, berniat memeluknya namun Aurum langsung menolaknya mentah-mentah. Dan penolakan itu jelas membuat Doni murka hingga beberapa kali melesatkan tatapan tajam ke arah Ameliya yang masih berdiri bersama Dimas, di belakang Aurum. Kedua anaknya sudah dia ungsikan ke pekerja di rumahnya. Wanita setengah baya itu membawa kedua anaknya masuk ke dalam kamar sebelum Aurum melesatkan amarahnya di hadapan Doni yang masih berdiri di depannya.                 “Ameliya itu anak kita juga, dan dan Zyo cucu kita, sama seperti Zenia!” lanjut Aurum yang semakin menambah kegeraman di d**a Doni. Dia tampak tidak bisa terima Aurum yang sudah lama tidak bersamanya, malah langsung memakinya tanpa aba-aba terlebih dulu. Seharusnya, Aurum membalas sambutannya dengan sikap hangatnya seperti biasa, mencium punggung tangan sang suami, lantas memeluknya melepas kerinduan. Namun kini kenyataannya, Aurum malah membentaknya di depan Dimas dan Ameliya. Doni merasa malu bukan main sekaligus marah pada Ameliya, yang dia anggap sudah merusak suasana pertemuannya dengan sang istri.                 “Apa gak bisa lain hari dibicarakan, harus sekarang?” tanya Doni sembari kembali dudukd I sofa depan tv, meraih handphonenya dan berpura-pura cuek dengan pembahasan yang dibawa Aurum saat ini.                 Aurum yang mendapati sikap sang suami, langsung duduk di sofa berbeda di dekat sofanya, menatap tidak percaya ke Doni yang malah tampak tenang di saat dirinya kalap karena emosi. Entah apa yang membuat sang suami yang dulunya hangat dan sangat menyayangi Zyo, kini berubah total. Aurum malah seolah tidak mengenal lagi sang suami semenjak perubahan itu terjadi. Berulang kali dia mengajak Doni berbicara baik-baik, namun Doni malah tidak pernah mengatakan alasannya membenci Zyo sekarang. Doni hanya mengatakan, bahwa sampai kapan pun Zyo tetaplah bukan cucu kandungnya. Dan hal itu selalu berhasil menyakiti hati Ameliya yang mendengarnya langsung.                 “Harus sekarang,” balas Aurum yang tidak ingin lagi menunda pembahasan. “Sudah terlalu lama mas bersikap tidak adil pada Zyo. Padahal dulu, mas sendiri yang meyakinkan aku untuk menerimanya dan menganggapnya sebagai cucu kandung kita sendiri. Apa yang sebenarnya terjadi, Mas? Apa yang udah dibuat Zyo sampai-sampai mas sebenci itu sama anak itu sekarang. Padahal selama ini setau aku, Zyo anak yang baik. Dan malah tidak pernah menyusahkan kita sama sekali!” Aurum berusaha mengingatkan sang suami tentang semua sikap Zyo yang begitu manis di rumah ini, bahkan saat berhadapan dengan Zenia. Dia bahkan begitu telaten menjaga sang adik. Apa lagi saat Zenia sakit, Zyolah yang menjaganya hingga tidak ingin tidur jika tidak di samping Zenia.                 “Sekali aku  bilang aku gak suka, ya gak suka!” bentak Doni yang sempat membuat Ameliya tersentak kaget mendengar nada suaranya yang meninggi. “Sudah berapa kali lagi aku katakan, antar dia ke panti asuhan atau ke rumah Adit saja sana. Dia tidak perlu berada di sini lagi! Sebentar lagi cucu laki-laki kandungku akan lahir, aku tidak ingin dia sampai berbuat jahat sama cucu laki-laki pertamaku itu!”                 “Dia gak akan melakukan itu, Mas!” bentak Aurum yang mulai tidak bisa mengendalikan emosinya.                 Dimas yang menyadari emosi Aurum saat itu, langsung mendekat, berdiri di belakangnya sembari mengusap punggungnya pelan. Mencoba menenangkannya sembari mellihat ke Ameliya yang tertunduk dengan air mata jatuh. Dimas meraih tangan Ameliya, yang membuat Ameliya mengarahkan tatapan ke arahnya sesaat, lantas kembali menundukkan kepala.                 “Siapa yang bisa menjamin?” tanya Doni lagi. “Tidak ada yang bisa menjamin dia akan melakukan hal jahat atau enggak sama cucuku nanti. Dia itu berasal dari lelaki yang b***t, dia bisa saja jadi b***t juga!”                 “Tapi selama ini dia tidak menunjukkan gelagat seperti itu kan, Mas?” tanya Aurum lagi. “Semua itu tergantung cara pengasuhannya. Dan selama ini baik Ameliya mau pun Dimas, mengasuhnya dengan sangat baik. Dan terbukti, Zyo sekarang tumbuh menjadi anak yang sholeh dan sangat baik, Mas. Apa mas gak bisa ngelihat itu?”                 Doni melempar handphonenya ke atas meja, lantas menatap Aurum kesal, bergantian menatap Dimas dan Ameliya, lantas kembali mengarahkan tatapan ke Aurum yang masih menatapnya dengan napas memburu hebat.                 “Kalau kepulanganmu ke rumah ini hanya untuk ngebahas hal yang gak penting ini, lebih baik kembali saja sana. Aku tidak ingin membahasnya lagi!” ucap Doni lantas beranjak berdiri dan kembali menatap Ameliya. “Dan kamu!” bentak Doni yang langsung membuat Ameliya mengarahkan tatapan takut ke Doni. “Urus anakmu itu, sebelum kuseret dia ke luar dari rumah ini. Kalau sampai dia melukai cucu-cucuku kelak, aku gak akan segan-segan menyeretnya ke luar dari rumahku!”                 Doni melangkah pergi meninggalkan ruang tv menuju kamarnya yang tidak terlalu jah dari ruang tv berada, membanting pintu kamar yang membuat semua orang tersentak kaget. Ameliya menangis sembari menjatuhkan tubuhnya ke lantai. Dimas yang melihat hal itu, langsung menangkap tubuh Ameliya. Aurum pun menghampirinya, mencoba menenangkannya walau akhirnya ikut menangis bersama Ameliya. ***                 “Kalian mau pindah?” tanya Aurum saat malam tiba. Aurum yang saat itu sengaja mengajak Ameliya dan Dimas untuk makan malam bersama walau tanpa Doni yang memilih pergi entah ke mana sejak sore, membuatnya kaget tidak percaya dengan rencana keduanya. Ameliya sendiri yang duduk di samping Dimas, hanya bisa menatap Dimas kaget. Dia tidak percaya Dimas akhirnya mengambil keputusan itu. Rencana yang dari dulu sangat ingin Ameliya lakukan, kini akhirnya diambil langsung oleh Dimas tanpa paksaan darinya.                 “Iya, Ma, Dimas sudah mutuskan untuk mengajak Ameliya dan anak-anak tinggal di rumah sendiri dalam waktu dekat,” jawab Dimas tenang.                 “Tapi mau tinggal di mana, Dim?” tanya Aurum khawatir. “Mama gak suka kalau kalian harus menyewa rumah segala. Ingat, istrimu juga lagi hamil. Bahaya kalau tinggal jauh dari orang tua.”                 “Akan lebih bahaya lagi buat Ameliya dan calon anak kami, kalau kami tetap tinggal di sini, Ma,” jawab Dimas yang langsung membuat Aurum terdiam. Dia paham maksud dari ucapan Dimas yang mengarah ke Doni. Aurum sendiri pun sebenarnya tidak ingin mengekang Dimas dan Ameliya untuk memilih tinggal sendiri dibandingkan bersamanya lagi. Hanya saja kondisi Ameliya yang masih mengandung, dan dua anak yang masih lasak-lasaknya, membuat Aurum cemas memikirkannya. Ditambah lagi jadwal kerja Dimas yang tidak tetap, membuat Ameliya pasti lebih sering sendirian di rumah mengurus segalanya dibandingkan bersama Dimas yang bisa siap siaga menjaganya.                 “Dimas sebenarnya sudah mencari rumah, dan rumah itu tidak terlalu jauh dari rumah Adit,” jawab Dimas lagi. “Kebetulan ada rumah yang dijual, dan Dimas sudah memanjarnya kemarin. Memang, Dimas gak ada cerita sama siapa pun, niatnya pun kalau gak jadi pindah, rumah itu ingin Dimas sewa saja buat tambah-tambahan keuangan kami sebelum Ameliya melahirkan. Tapi melihat semua yang terjadi, sepertinya niat Dimas untuk pindah harus dilakukan, Ma. Dimas gak mau ngebebani Ameliya dan juga papa karena harus bertengkar setiap harinya.”                 Ameliya tertunduk sedih. Dimas benar, sikap Doni memang membuatnya terbebani akhir-akhir ini, tidak ada lagi ketenangan baginya barang sebentar saja di rumah. Selalu saja ada pertengkaran setiap saat dan lagi-lagi tentang Zyo. Ameliya sendiri sudah kehabisan akal untuk mendekatkan keduanya. Dan akhirnya memillih untuk membiarkan semua itu terjadi, dan hanya mencoba menenangkan Zyo dengan semua pertanyaannya seputar kebencian Doni padanya. Mencoba terus meyakinkannya bahwa sang kakek tetap sayang padanya walau pun, sikapnya sering marah-marah tidak jelas.                 “Boleh ya, Ma?” pinta Dimas lagi yang langsung membuat Aurum menghela napas panjang. “Semua ini demi kebaikan kedua belah pihak.”                 “Ya sudah, tapi mama mau kamu harus cari pembantu untuk mengurus kalian semua di sana. Atau bawa sana si Mbok Anni saja, dia selama ini yang ngebantuin Ameliya mengurus Zyo dan Zenia.”                 “Gak usah, Ma, biar Mbok Anni di sini saja,” tolak Ameliya. “Kalau Mbok Anni kami bawa, mama gak ada yang bantu nanti. Lagian, kami bis acari pembantu baru nanti. Iya kan, Dim?” tanya Ameliya sembari mencoba tersenyum tipis.                 “Iya,” jawab Dimas singkat.                 “Kalau begitu, kapan kalian akan pindah?” tanya Aurum dengan perasaan sedih bukan main.                 Ameliya mengarahkan tatapannya ke Dimas, dia sendiri tidak tahu jawaban apa yang harus dia berikan ke Aurum saat itu.                 “Besok, Ma,” jawab Dimas yakin yang jelas saja membuat Aurum dan Ameliya kaget bukan main. Namun mendapati keyakinan di wajah Dimas, keduanya hanya bisa terdiam. Aurum hanya mengangguk terpaksa sednagkan Ameliya mencoba menenangkan dirinya yang kini, bingung bukan main. Harus merasa senang karena akan segera pindah ke rumahnya sendiri bersama Dimas dan anak-anak, ataukah sedih karena harus meninggalkan Aurum yang selama ini begitu baik padanya dan kedua anaknya sendirian di rumah. Dia pasti kesepian, dan itulah yang kini terpancar di kedua mata Aurum yang terbendung air, seakan ingin menangis. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD