Audy menatap lurus ke Rasya yang tampak sibuk mengurusin salah satu rumah yang dia bangun. Usaha Rasya di bidang perumahan yang baru dia geluti beberapa tahun belakangan ini, membuat Audy cukup bangga melihatnya begitu giat dalam bekerja. Ini sudah lima rumah yang dia jual belikan. Dan Audy sendiri tahu, hampir semua uang dari hasil kerja keras itu dia tabung ke tabungan tersendiri, yang dia niatkan untuk rumah tangganya kelak.
Sejujurnya Audy tidak pernah meragukan Rasya yang berniat menikahinya. Namun Audy masih tidak mengerti, apa yang sebenarnya ada di benak Rasya saat ini. Audy sadar, trauma yang dialami Rasya sejak kecil setelah melihat sang ibu dan ayah bercerai dengan cara yang tidak baik-baik, membuatnya takut melangkah ke depan untuk masa depannya sendiri. Pukulan demi pukulan yang dilakukan dalam rumah tangga kedua orang tuanya, entah itu dari sang ayah ke sang ibu, atau pun sebaliknya, membuatnya benar-benar ketakutan. Semua orang tahunya hanya sang ibu yang menderita, namun sebenarnya Audy sendiri tahu, bahwa sang ibu juga tidak sebaik kelihatannya. Dan hal itulah yang membuat Audy takut sejak dulu jika harus memaksanya. Namun Audy sendiri tidak ingin membohongi dirinya sendiri, yang ingin menjalani hidup seperti Nisa dan juga Ameliya, yang sudah menikah dan sudah memiliki kebahagiaannya sendiri di dalam rumah tangganya.
Rasya mendekat, proses terakhir yang dia lakukan dengan saling berjabat tangan dengan sang pembeli, membuat semua proses panjang sejak beberapa bulan lalu selesai sudah. Rasya yang mendekati Audy, langsung mendapatkan senyuman tulus dari Audy yang masih berdiri di depan mobil sembari meyandarkan pantatnya di bagian depan. Audy yang semula melipat tangannya di perut, langsung menurunkan tangannya dan mengulurkan tangan meminta berkas yang dipegang Rasya untuk bergantian memegang. Rasya memberikannya.
“Sudah selesai?” tanya Audy yang langsung dijawab Rasya dengan anggukan. “Jadi, aman semua?”
“Aman terkendali,” jawab Rasya yang langsung membuat Audy tertawa mendengarnya. “Kita makan siang dulu yuk, aku benar-benar laper banget dari tadi,” ajak Rasya yang dibalas Audy dengan anggukan kepala.
Keduanya masuk ke dalam mobil. Hanya dalam waktu hitungan detik, mobil yang ditumpangi keduanya, melaju menuju gerbang komplek.
***
Ameliya membuka pintu mobil sembari menggendong Zenia. Sedangkan Zyo, memegang tangan kanannya dan berdiri di sampingnya. Ameliya mengarahkan tatapannya ke Aurum yang saat itu menangis sembari memeluk Dimas erat. Dia tampak berat melepaskan kepergian sang putra yang selama ini selalu bersamanya. Aurum terlihat tak rela Dimas pergi darinya, apa lagi hanya Dimas beserta keluarga kecilnya yang menjadi penghiburnya setiap harinya. Terutama kedua anak Ameliya yang begitu berhasil membuat hari-harinya bersemangat.
Ameliya sebenarnya pun tak tega jika harus memisahkan ibu dan anak itu, walau masih berada di satu kota. Dimas yang begitu dekat dengan Aurum dari dulu dari pada dengan sang ayah, membuat Ameliya tertunduk sedih, saat merasakan air matanya ingin jatuh melintasi kedua pipinya. Zyo yang masih berdiri di samping Ameliya, melirik ke arahnya. Zyo yang melihat sang mami bersedih, langsung melepaskan perlahan genggamannya dan berlari mendekati Aurum yang masih memeluk Dimas. Sedangkan Doni tak terlihat di sana. Dia masih berada di dalam, bertahan dengan sikapnya di dalam kamar, tanpa mau menemui siapa pun termasuk Ameliya yang dianggapnya, berhasil membujuk Dimas untuk pergi dari rumahnya.
“Oma…,” panggil Zyo sembari menarik ujung pakaian Aurum yang langsung membuat Dimas dan Aurum melepaskan pelukan. “Jangan sedih, Oma. Kalau Oma sedih, Mami juga akan sedih di sana,” ucap Zyo sembari mengarahkan telunjuknya ke Ameliya yang masih menundukkan kepala.
Aurum yang mendapati Ameliya tertunduk menangis, langsung mendekatinya, memeluknya erat sekaligus memeluk Zenia yang masih ada di gendongan Ameliya. Dimas sendiri langsung mengangkat tubuh Zyo dan memeluk putra sulungnya itu. Anni ke luar dari dalam rumah, mengangkat tas milik Ameliya sekaligus menarik koper berwarna abu-abu milik Dimas yang langsung menarik tatapan Dimas ke arahnya. Dimas tersenyum, meminta Anni memasukkan tasnya ke dalam mobil, yang langsung dituruti Anni setelah menganggukkan kepala pelan.
Aurum melepaskan pelukannya, “Jaga diri kalian baik-baik di sana ya, Sayang,” ucap Aurum. “Mama akan selalu datang berkunjung selama kamu hamil besar seperti ini, Mel. Mama gak mau kamu nyelesaikan semuanya sendirian.” Aurum menarik tatapannya sesaat ke Anni yang baru saja membuka pintu bagasi dan memasukkan tas ke dalam. “Bawa saja Anni bersama kalian, mama masih bisa ngelakuin semuanya sendiri di rumah tanpa pembantu, Sayang. Kamu lebih membutuhkannya.”
Ameliya tersenyum tulus, menggelengkan kepala yang langsung membuat Aurum menunjukkan ekspresi kecewa di wajahnya. Dia benar-benar kecewa sejak tadi malam, saat Ameliya menolak sarannya untuk membawa Anni tinggal sementara waktu bersamanya. Aurum merasa, Ameliya lebih membutuhkannya dari pada dirinya di rumah. Kesulitannya dalam kondisi hamil, serta mengurus rumah tangga dengan kedua anak, pasti membuat Ameliya kelimpungan jika harus sendirian di rumah. Dan menyadari kondisi itulah, Aurum selalu membujuk Doni untuk menahan keduanya pindah tadi malam sebelum terlelap. Namun tetap saja, Doni tidak pernah mau menedngarnya. Doni malah mengabaikannya dan memutuskan untuk tidur tanpa mendengar ucapan sang istri hingga selesai. Dan hal itu membuat Aurum sadar, bahwa sang suami tidak akan pernah melakukan apa yang dia inginkan saat ini.
“Bang Adit sudah nyiapkan satu orang pekerja untuk di rumah, Ma,” ucap Ameliya yang langsung teringat pada janji Adit yang akan mencarikannya satu pembantu di rumah. Adit juga sudah mengutus dua orang bodyguard untuk menjaga rumah Ameliya, walau pun sebenarnya Ameliya sama sekali tidak membutuhkannya. “Mama tenang saja, semua sudah diurus Bang Adit untuk kami di rumah baru. Mama gak perlu khawatir ya?”
“Kamu yakin, Sayang?” tanya Aurum yang masih tampak cemas yang langsung dijawab Ameliya dengan anggukan kepala.
“Lagian, rumah kami masih satu komplek sama rumah abang, jadi gak perlu khawatir, Ma, semua sudah direncanakan dengan matang oleh Dimas dan Bang Adit,” jawab Ameliya lagi yang masih berusaha untuk menenangkan Aurum yang terus saja menunjukkan ekspresi cemas di wajahnya.
Dimas melangkah mendekat, mengajak Ameliya untuk masuk ke dalam mobil yang membuat suasana semakin haru terasa. Aurum berulang kali mengusap kepala Zyo yang masih di gendongan Dimas, sedangkan Ameliya yang sudah berada di dalam tepatnya di samping kursi kemudi, langsung membuka jendelanya dan menatap Aurum yang semakin menangis di samping Anni yang ikut sedih melepaskan Ameliya dan keluarga kecilnya.
Dimas berpamitan kembali, lantas masuk ke dalam mobil. Tidka menungggu waktu lama, Dimas langsung membawa mobilnya beserta keluarga kecilnya pergi dari rumah Aurum. Aurum menundukkan kepala, berusaha menguatkan dirinya saat Anni melirik ke jendela rumah. Anni kaget bukan main saat melihat Doni mengintip dari jendela.
“Bu, Bapak ada di jendela,” bisik Anni yang langsung membuat Aurum menghela napas panjang, lantas berbalik memasuki rumah setelah meminta Anni menutup gerbang rumah kembali.
“Sedih?” tanya Aurum saat baru saja melangkahkan kakinya masuk ke dalam rumah.
Doni terperanjat kaget mendengarnya, lantas berniat pergi meninggalkannya.
“Kenapa seegois ini, Mas?” tanya Aurum yang langsung menghentikan langkah kedua kakinya pergi. Aurum melangkah mendekati sang suami dan berdiri di hadapannya dengan ekspresi kesal bercampur kecewa bukan main. Dia tidak menyangka, Doni bisa sekeras itu dengan anak dan menantunya.
“Aku gak ngerti lagi lihat kamu, Mas,” ucap Aurum dengan nada suara sedikit ada penekanan. Menandakan dia kecewa bukan main. “Dulu, kamu yang begitu senangnya saat Dimas dan Ameliya menikah, kamu adalah orang pertama yang menyetujui pernikahan mereka, bahkan kamu yang memintaku untuk tidak mengungkit lagi kisah kelam Ameliya sebelum pernikahan berlangsung. Kamu yang memintaku untuk menerima Ameliya dengan melupakan segalanya yang terjadi. Tapi kenapa sekarang malah kamu yang bersikap seperti ini sama Ameliya dan Zyo, Mas?” tanya Aurum dengan air mata kembali menetes akibat rasa kesal dan kecewa yang dia rasakan. “Kenapa kamu bersikap seolah-olah membenci Zyo.”
“Karena dia bukan cucu kandungku!” bentak Doni.
“Tapi hal itu sudah kita ketahui sejak awal, kenapa baru sekarang dipermasalahkan?!!” balas Aurum yang tampak tidak bisa menerima alasan Doni membenci Zyo. “Apa salah Zyo, Mas. Dan apa salah Ameliya. Ameliya sendiri tidak mau mengalami semua itu, dan Zyo juga tidak tau apa-apa tentang masa lalu ibunya. Kenapa kamu malah secara tidak langsung membeberkan semua rahasia itu, Mas. Apa salah Zyo sama kamu?”
“Cukup ngebahas hal ini, Aurum!” bentak Doni lagi.
“Kita harus ngebahasnya, Mas. Sekarang juga!” bentak Aurum yang sudah benar-benar muak dengan semua sikap Doni, hingga mengakibatkan sang anak dan menantunya pergi dari rumah. “Sudah cukup, Mas. Sudah cukup kamu bersikap tidak adil pada Zyo. Sudah cukup!”
Doni membuang tatapannya ke arah lain. Anni yang baru saja masuk, langsung menundukkan kepala sembari berjalan melewati keduanya, pergi menuju dapur dengan perasaan takut melihat pertengkaran suami istri yang begitu hebatnya kali ini. Tidak pernah dia melihat pertengkaran yang sebesar ini di rumah antara Aurum dan Doni. Anni benar-benar bingung harus melakukan apa.
“Apa yang kamu mau sekarang sebenarnya, Mas? Apa?!” lanjut Aurum lai.
Doni tampak menahan emosinya. Rahangnya bergetar hebat yang membuat Aurum sadar, bahwa kali ini Doni benar-benar akan meluapkan kemarahannya. Dan hal itulah yang diinginkan Aurum. Dia ingin tahu, apa yang sebenarnya disimpan Doni di dalam hatinya tentang Ameliya dan Zyo.
“Apa kamu ….” Aurum menghentikan ucapannya sesaat, menggigit bibirnya. Dia tampak ragu melanjutkan kalimatnya. Doni yang mendengarnya tidak juga melanjutkan kalimatnya, langsung menatap sang istri. Kali ini, anehnya tatapannya tidak seperti sebelumnnya. Emosi seakan lenyap dari dirinya. Doni malah menggelengkan kepala pelan yang membuat Aurum sadar, bahwa Doni mengetahui kelanjutkan dari kalimatnya.
“Bukan itu yang aku inginkan, Rum, bukan itu,” ucap Doni yang langsung membuat Aurum menangis sembari menundukkan kepala.
“Jadi apa yang sebenarnya kamu inginkan, Mas, aku benar-benar bingung. Aku juga kasihan melihat Ameliya dan Zyo yang setiap hari, harus bersedih mendapatkan sikap kamu yang kasar dan tak adil untuk mereka.”
Doni menundukkan kepala. Dia kini tampak bingung harus menjawab apa tentang semua pertanyaan Aurum sejak tadi. Dia tidak membenci Ameliya, dia bahkan tidak ingin Dimas dan Ameliya bercerai. Dia sadar, Dimas dan Ameliya saling mencintai dan dia tak berniat memisahkan keduanya. Dan Zyo, dia pun sebenarnya tidak berniat melukai anak kecil yang begitu baik itu. Namun melihatnya saja, Doni merasa kebencian hadir di dalam hatinya. Seolah dia merasa, Zyo akan merebut semua hal yang sepantasnya dia berikan pada cucu kandungnya.
“Mas, Zyo tidak akan pernah melukai kedua adiknya kelak,” ucap Aurum dengan nada suara merendah. “Zyo anak yang baik dan akan menjadi anak yang sangat baik jika kita merawatnya dengan kasih sayang sejak dia kecil. Tapi dia bisa jadi anak yang nakal dan tak peduli pada kedua adiknya, jika semasa kecilnya dia terus mendapatkan sikap seperti ini dari kamu, Mas. Kamu apa tega melihat masa depannya berubah buram karena kamu?”
Doni menarik napas panjang, lantas mengembuskannya kasar, “Aku lelah, aku butuh waktu untuk sendiri. Seharian ini, jangan ganggu aku.” Doni melangkahkan kedua kakinya meninggalkan Aurum yang menangis menatapnya pergi ke kamar. Dia berharap, Doni bisa berubah setelah melihatnya menolak tebakan Aurum yang sebelumnya mengira dia ingin Dimas dan Ameliya bercerai. Dia yakin, Doni masih menyayangi Zyo dan Ameliya jauh di dasar hatinya yang terdalam. Doni memang keras, namun Auru tahu bahwa jauh di dasar hati sang suami, dia adalah lelaki yang lembut dan penyayang. Aurum yakin dia akan berubah sering waktu.