BAB 15

3140 Words
                Nisa yang baru saja ke luar dari kamar, tersenyum lebar saat mendapati Adit baru saja kembali dari hotel untuk makan siang bersamanya. Sesuai janji, Adit kini menemaninya makan siang. Sepulangnya Ameliya dari rumahnya, Nisa memang merasa kesepian bukan main. Semula masih ada Audy bersamanya, namun kini Audy pun pergi menemani Rasya untuk pekerjaannya. Sedangkan Yura sendiri pamit pergi entah ke mana. Menurut kabar dari Audy, Yura mulai sibuk mencari-ari tempat kuliah untuknya. Namun Nisa sendiri yang tidak ingin ikut campur dengan semua dunia Yura, memutuskan tidak bertanya lebih jauh lagi saat mendengarnya. Sedangkan Aden dan Nina seperti biasa, belum pulang dari sekolahnya. Aden ada Latihan basket, sedangkan Nina ada Latihan cheerleaders.                 Adit yang memang sudah lapar bukan main, langsung mengajak Nisa untuk masuk ke ruang makan dan duduk di kursi masing-masing. Nisa tersenyum tersenyum melihat Adit kini bersamanya. Rasanya tanpa Adit siang ini, mungkin dia akan memilih untuk makan di kamar sendirian dari pada harus makan sendirian di ruang makan. Meski pun ada Arum, Sumi dan beberapa pembantu lainnya. Tapi tetap saja ada perbedaan yang terasa begitu jelas yang membuat Nisa tidak nyaman jika harus makan tanpa keluarganya yang asli.                 “Kamu yang masa semua ini?” tanya Adit yang sudah menerima piring berisikan nasi, ayam panggang dan sayur lalapan berupa daun kemangi dan selada untuk makan siangnya. Nisa menganggukkan kepala sembari menuangkan sesendok nasi di atas piringnya, lantas kembali duduk di kursinya. Sumi datang, menuangkan air mineral ke gelas kedua majikannya, lantas kembali meninggalkan Nisa dan Adit berdua menikmati makan siang yang memang, dibuat langsung oleh Nisa.                 “Kan sudah aku bilang, jangan ngelakuin apa pun, Nis. Istirahat saja,” kata Adit sekedar mengingatkan semua pesannya dulu. “Kan kamu dengar sendiri apa kata dokter kemarin, kan? Kamu harus banyak istirahat, gak boleh terlalu capek atau banyak ngelakuin pekerjaan rumah tangga seperti ini.” Adit terus saja mengomel yang hanya dibalas Nisa dengan senyuman lebar.                 Nisa begiu juga mendengar Adit mengomel padanya. Selain menyukai sikap romantic Adit, Nisa pun selalu suka mendengarnya memberikan nasihat dengan tanpa titik sama sekali di setiap kalimat yang dia ucapkan. Bahkan Nisa selalu membiarkan Adit mengatakan apa pun dan sama sekali tidak memotong pembicaraannya agar bisa menikmati setiap kalimatnya. Dan kali ini, di siang ini, Adit melakukannya kembali yang membuat Nisa tertawa kecil. Adit yang mendengar tawa kecilnya, langsung menghentikan mulutnya bergoyang menghaluskan nasi dan secubit ayam yang sudah lolos ke dalam mulutnya, menatap Nisa dengan kerutan di keningnya.                 “Kenapa kamu malah tertawa?” tanya Adit bingung bukan main.                 “Aku sudah pernah bilang kan, kalau aku suka mendengarkan omelan kamu yang tanpa titik itu,” ucap Nisa sembari menyendok sambal kecap dan meletakkannya ke sisi pinggir piringnya sendiri. “Aku tertawa bukan karena tidak menghargai semua yang kamu katakan, Dit, aku hanya menyukainya. Jangan tersinggung ya?” pinta Nisa yang tampak menyesal dengan tawa kecil yang dia lakukan.                 Adit tersenyum tulus, menggenggam tangan kiri Nisa yang masih saja terlihat takut jika dirinya marah, “Aku tidak pernah tersinggung dengan semua yang kamu lakukan, Nisa. Aku malah senang kalau kamu tertawa. Tapi kamu harus ingat semua pesanku itu, jangan terlalu menganggap remeh sama kehamilan kedua kamu kali ini,” ucap Adit lagi. “Kamu sudah pernah keguguran, aku takut Rahim kamu menjadi lemah karena keguguran yang kamu alami dulu, Nis. Sudah cukup lama kita menantikan kabar ini, jadi tolong dijaga baik-baik ya?”                 Nisa menganggukkan kepala. Adit kembali melepaskan genggamannya dan melanjutkan santapannya. Nisa pun demikian, kembali menyantap makan siangnya, namun secara tiba-tiba, Nisa menghentikan gerakan giginya dan kembali mengarahkan tatapan ke Adit yang masih menikmati makanannya.                 “Dit,” panggil Nisa yang kembali mendapatkan tatapan dari Adit. “Hari ini Ameliya dan Dimas jadi pindah ke rumah baru, kan?” tanya Nisa lagi yang kembali mengingat ucapan Ameliya tadi malam, saat menghubunginya via telepon.                               “Iya, jadi,” jawab Adit. “Setelah makan siang, aku niatnya mau ke sana ngelihat mereka. Tadi Dimas menghubungiku, dan mereka sudah berangkat. Beruntungnya mereka gak perlu mindah-mindahin barang-barang berat dari rumah Dimas ke rumah barunya, hanya beberaoa tas pakaian saja,” lanjut Adit lagi. “Kasihan Ameliya kalau sampai harus mengangkat barang-barang berat dalam kondisi hamil besar seperti itu.”                 “Iya, kamu benar, Dit,” jawab Nisa sembari memikirkan cara lain untuk bisa membantu Ameliya di rumah barunya. “Kamu sudah coba cari pembantu untuk Ameliya, Dit?” tanya Nisa yang baru saja teringat janji Adit untuk mencarikan pekerja di rumah Ameliya untuk sekedar membantunya.                 “Maaf, Mbak.” Terdengar suara Sumi hadir di tengah-tengah keduanya. Nisa dan Adit spontan mengalihkan tatapan ke arahnya yang kini, sudah berdiri di depan pintu masuk dapur. “Maaf saya tidak sengaja mendengar pembicaraan Mbak dan Mas Adit barusan tentang pencarian pembantu untuk Mbak Ameliya. Kalau tidak keberatan, boleh saya yang di sana untuk sementara waktu, sampai pembantu baru untuk Mbak Ameliya ada?”                 Adit terdiam, sedangkan Nisa sebenarnya setuju dengan ide Sumi untuk Ameliya itu. Sumi sudah cukup lama bekerja bersama Ameliya dan Adit, dialah yang mengetahui semua seluk beluk keluarga Adit. Bahkan kedekatan Ameliya dengan Sumi sudah seperti ibu dan anak selama ini. Nisa yakin, Ameliya akan nyaman bersama Sumi di rumah barunya.                 Nisa mengarahkan tatapannya ke Adit yang masih terdiam memikirkan ide dari Sumi saat itu. Sebenarnya dia tidak keberatan jika untuk sementara waktu, Sumi membantu Ameliya sampai pembantu baru didapatkan Adit untuknya. Namun Sumi yang begitu cekatan dan paham tentang rumahnya, membuat Adit memikirkan Nisa saat ini. Meski pun masih ada pembantu yang lain terutama Arum yang saat ini, bekerja di rumahnya selagi ada Audy di sini, namun rasanya tanpa Sumi di rumah, Adit cukup merasa khawatir pada Nisa.                 “Dit, gak apa-apa ya kalau Mbok Sumi tinggal sama Ameliya, rasanya ameliya lebih butuh Mbok Sumi saat ini di rumah dibandingkan kita,” ucap Nisa berharap Adit akan mau mendengar apa yang dia katakan. “Lagian kita masih ada yang lain yang bisa membantu kita. Cuma sementara kok, sampai kita dapatkan pembantu baru untuk bisa bekerja di rumah Ameliya.”                 Adit menatap Nisa yang begitu yakin meelpaskan Sumi sementara waktu. Anggukan kepala Nisa membuat Adit mulai yakin dengan keputusan itu. Adit mengarahkan tatapan ke Sumi yang masih berdiri di dekat pintu. Perlahan Adit mengangguk pelan yang membuat Nisa senang bukan main. Sumi pun terlihat senang. Sumi mengucapkan terima kasih lantas berjanji akan menjaga Ameliya sebaik-baiknya, pamit kembali ke kamarnya untuk bersiap-siap. Sedangkan Nisa hanya mengucapkan terima kasih pada Adit yang mau mengabulkan permintaannya. ***                 Audy menyelesaikan makan siangnya, menatap Rasya yang masih belum menyelesaikan memakan nasi goreng cabai hijau kesukaannya. Sesaat Audy menyapukan pandangan ke setiap sudut tempat makan yang kini menjadi tempatnya bersama Adit menikmati waktu makan siang. Cukup banyak pengunjung yang datang hari ini, hampir semua meja penuh dengan pengunjung yang tampak begitu menikmati santapan di atas meja masing-masing.                 Audy sebenarnya menyukai tempat makannya yang selalu dia kunjungi bersama Rasya minimal sebulan sekali. Selain Rasya menyukai nasi goreng cabai hijau yang menjadi pesanan terwajib baginya, Audy juga menyukai nuansa menenangkan yang diusung tempat makan bertema café anak mud aitu. Memakai konsep indoor, café bercat cokelat mud aitu selalu saja menjadi tempat terbaik bagi para muda mudi dengan dompet minim. Letaknya yang begitu dekat dengan perkantoran dan universitas negeri tempat Ameliya dan Dimas pernah berkuliah di sana, membuat café itu tak pernah sepi. Selalu saja ada pengunjung yang datang, walau hanya sekedar menikmati secangkir teh atau pun kopi di sore hari.                 Audy menghela napas pelan, lanats tersenyum saat Rasya menyelesaikan suapan terakhirnya. Audy memanggil seorang pelayan café, dan memintanya untuk mengangkat piring kotornya bersama Rasya. Dengan senyuman ramah, pelayan wanita itu mengabulkan permintaan Audy dan langsung mengangkatnya, membawanya ke dapur meninggalkan Audy dan Rasya dengan pesanan minuman masing-masing.                 “Masih mau pesan makanan lain?” tanya Rasya yang langsung dijawab Audy dengan gelengan kepala lantas tertawa kecil.                 “Mentang-mentang baru dapat uang, langsung royal ya sama aku,” ledek Audy yang langsgung membuat Rasya tertawa.                 “Bukan gitu, aku Cuma mau ada cemilan sehabis makan aja. Soalnya ada yang mau aku bicarakan.”                 Audy menggelengkan kepala, “Aku udah kenyang banget, Sya. Cukup,” jawab Audy yang membuat Rasya tertawa menedngarnya. “Kamu memangnya mau bicara apa? Kayaknya serius banget.”                 Rasya menarik napas panjang, mengembuskannya perlahan mencoba menenangkan dirinya sendiri. Dari caranya memulai obrolan, Audy semakin yakin bahwa apa yang ingin dibicarakannya saat ini, topiknya benar-benar serius yang membuat Audy cukup tegang menanti apa pun yang ingin dia bicarakan. Rasya menatap Audy dengan tatapan serius.                 “Audy, mari kita menikah,” ucap Rasya yang jelas saja membuat Audy kaget bukan main.                 Di satu sisi, Audy merasa senang bukan main. Dia tidak menyangka ucapan permintaan itu akhirnya ke luar dari mulut Rasya. Ucapan yang selama ini dia nantikan, akhirnya terdengar juga. Bendungan terlihat di kedua mata Audy. Rasa haru hadir begitu nyata di dalam dirinya. Namun di sisi lain, dia merasa takut kalau Rasya terpaksa melakukannya kali ini, karena desakan Adit saat itu.                 Audy menundukkan kepala, mencoba menetralkan perasaannya yang kacau balau memikirkan dua hal itu di dalam kepalanya. Mencoba tetap tenang, walau terlihat jelas air matanya jatuh sangkin tidak bisa dia tahan laggi. Rasya mendekat, menggeser kursinya untuk bisa lebih dekat dengan Audy, lantas menghapus air mata Audy. Rasya meraih tangan Audy dan menggenggamnya erat.                 “Menikahlah denganku, Dhy,” pinta Rasya lagi. “Aku tau, sudah cukup lama aku menggantung-gantungi hubungan kita tanpa kejelasan. Tapi kali ini, aku benar-benar yakin untuk menikahimu. Aku benar-benar sudah siap.”                 Audy menarik tatapannya ke Rasya yang masih menatapnya serius, “Apa semua ini karena ucap Adit kemarin?” tanya Audy. “Kamu terpaksa melakukannya?”                 Rasya menggelengkan kepala, tersenyum tulus, “Enggak, Dy, aku benar-benar siap kali ini,” jawab Rasya lagi yang benar-benar tampak yakin kali ini. “Sebenarnya, diam-diam aku sudah siapkan satu rumah untuk kamu. ya … di perumahan yang aku bangun itu. Biar pun kamu bilang dulu kalau aku gak perlu beli rumah lagi untuk kita setelah menikah, tapi biar gimana pun, aku tetap lelaki yang nantinya jadi seorang suami. Aku yang harus tanggung jawab sama kamu, bukan malah sebaliknya.”                 Audy menghapus air matanya yang kembali menetes melintasi pipi, “Kamu beneran kan? Ini gak Cuma sekedar ajakan tanpa kepastian lagi kan?” tanya Audy yang masih saja belum yakin dengan ucapan Rasya.                 Rasya tertawa mendengarnya, menggelengkan kepala, “Gak percayaan banget sih sama aku,” ucap Rasya sembari mengacak-ngacak rambut Audy. “Tapi aku minta maaf, aku gak bisa undang kedua orang tuaku. Satu sisi aku gak tau ayahku di mana. Satu sisi lagi aku gak mau ibuku hadir di acara pernikahan kita.”                 Audy tampak sedih. Bayangan tentang hadirnya kedua orang tua Rasya, kini buyar seketika, tak ada doa tulus dari kedua orang tua Rasya untuk acara pernikahannya. Semula, Audy berharap aka nada doa dari kedua orang tua Rasya menggantikan orang tuanya yang tak mungkin datang, bahkan Audy sendiri pun tidak tahu siapa sebenarnya ayahnya hingga saat ini. Namun semua harapannya hancur sudah. Audy tidak bisa merasakan hal itu di dalam pernikahannya.                 “Gak apa-apa, kan?” tanya Rasya yang langsung menarik senyuman di bibir Audy disusul gelengan cepat.                 “Gak apa-apa, yang penting kamu ada,” canda Audy yang langsung membuat Rasya tertawa mendengarnya. “Jadi kapan rencananya pernikahan kita berlangsung?”                 “Aku mau secepatnya,” jawab Rasya. “Kita sudah bertunangan, dan aku mau pernikahan kita dilakukan bulan depan. Kamu setuju?” tanya Rasya yang langsung dijawab Audy dengan anggukan cepat. Dia benar-benar sangat menginginkan hal itu terjadi dalam hidupnya. Dia tidak mau lagi terus menerus berstatus sebagai tunangan Rasya. Sudah cukup lama dia menyandang status itu, dan rasanya dia tidak ingin lagi.                 RAsya sendiri langsung memeluknya erat. Kebahagiaan yang terpancar di wajah Audy, benar-benar dia harapkan bisa dilihatnya hari ini. Dia sadar, Audy hanya menantikan hal itu darinya selama ini. Wanita yang kini bersamanya begitu setia menemaninya dalam suka dan duka. Dia tidak ingin kehilangan Audy hanya karena ketakutannya yang tak beralasan. Dia yakin, bersama Audy, hidupnya akan lebih tertata. Tidak seperti kisah kedua orang tuanya yang hancur karena keegoisan masing-masing.                 Suara deringan handphone Audy berbunyi. Audy melepaskan pelukannya dan melihat handphonenya yang sedari tadi ada di atas meja, tepat di samping gelas minumannya. Ada nama Adit di sana yang langsung membuat Audy menjawab teleponnya, lantas menekan tombol loudspeaker.                 “Ya, Dit,” sapa Audy.                 “Lagi di mana?” tanya Adit dari seberang.                 “Lagi makan sama Rasya di café dekat kampus Ameliya yang biasa, kenapa?” tanya Audy santai sembari meraih gelasnya dan menyeruput lemon tea yang sudah hampir habis, lantas meletakkannya lagi di atas meja.                 “Hari ini Ameliya pindah, dia sudah di jalan. Kamu bisa pulang sama Rasya?” tanya Adit. “Kita bantu-bantu dia di rumahnya yang baru. Kasihan.”                 “Oiya aku lupa, oke-oke, aku ke sana sekarang,” jawab Audy lantas menyudahi panggilan telepon Adit. “Kita pulang sekarang, gak apa-apa, kan?” tanya Audy dengan wajah penuh harap Rasya akan mengabulkan permintaannya.                 “Oke, aku bayar dulu ya. Kamu langsung ke mobil aja, coba telepon mereka ada di mana, udah makan siang atau belum, biar kita sekalian belikan makanan nanti,” ucap Rasya yang langsung dijawab Audy dengan anggukan kepala.                 Rasya melangkah pergi menuju meja kasir, sedangkan Audy, memakaikan tali tasnya di bahu kirinya, lantas melangkah ke luar dari café sembari membawa kunci mobil dan handphone di kedua tangannya. ***                 Ameliya menurunkan kedua kakinya dari dalam mobil. Rumah minimalis impiannya, kini sudah ada di depan matanya. Zenia masih saja di gendongannya, dan kali ini dia tampak tertidur pulas. Sedangkan Zyo menggenggam tangan Dimas dan berjalan menuju ke dalam rumah bersama sang papi. Dia tampak senang dengan langkahnya yang riang sembari bernyanyi-nyanyi bersama Dimas.                 Ameliya bersyukur dalam hatinya. Dia tidak menyangka semua ini kini terjadi dalam hidupnya. Tidak ada lagi permasalahan yang timbul akibat sikap Doni yang selalu saja bersikap tidak adil pada Zyo. Kini, Ameliya bisa sebebas hatinya mengatur keluarga kecilnya, terutama kedua anaknya dan calon anak ketiganya yang sebentar lagi terlahir ke dunia.                 Perlahan Ameliya melangkahkan kedua kakinya menuju pintu rumah. Namun baru saja tiga langkah dia melakukannnya, suara seseorang memanggilnya. Ameliya berbalik dan mendapati Adit dan Nisa hadir dengan mobilnya. Nisa tersenyum lebar, sedangkan Adit langsung mengambil alih Zenia dengan menggendongnya saat melihat Ameliya sedikit kesulitan menggendong Zenia dengan perutnya yang sudah besar.                 “Kalian datang?” tanya Ameliya senang bukan main.                 Nisa langsung merangkulnya, “Pasti. Dimas mana?” tanya Nisa yang sama sekali tidak melihat Dimas di sekelilingnya.                 “Ada di dalam sama Zyo, ayo masuk,” ajak Ameliya.                 “Mertua kamu gak datang, Dek?” tanya Adit yang seketika menarik ekspresi sedih di wajah Ameliya. Perlahan Ameliya menggelengkan kepala yang membuat Adit menyesal sudah bertanya hal itu padanya. Namun belum sempat Adit melanjutkan kalimatnya untuk mengalihkan pembicaraan, terlihat sebuah taksi berhenti di depan pagar rumah baru Ameliya. Seseorang ke luar dari dalam yang ternyata adalah Aurum. Ameliya senang bukan main melihat Aurum hadir. Aurum langsung memeluknya dan bergantian menyapa Nisa dengan memeluknya sesaat.                 “Kok bisa mama datang?” tanya Ameliya yang benar-benar heran mendapati Aurum datang dengan kedua mata bengkak. “Mama baru menangis?” tanya Ameliya lagi.                 Aurum menggelengkan kepala, “Enggak, tadi mama habis kelilipan makanya mata mama begini,” jawab Aurum berbohong. “Eh gimana, kita mulai sekarang beres-beres rumah barunya?” tanya Aurum sembari melangkah ke dalam rumah meninggalkan Ameliya agar tidak terus ditanyakan pertanyaan yang membuatnya bingung harus menjawab apa.                 Ameliya yang sudah paham sikap dari mertuanya itu selama ini, langsung menghela napas pelan, melirik ke Nisa yang mengusap punggungnya lantas tersenyum tipis. Kembali mengajak keduanya masuk ke dalam untuk melihat-lihat rumah barunya bersama Dimas. Adit dan Nisa langsung menurutinya dengan melangkah mengikuktinya masuk ke dalam rumah impian Ameliya selama ini, walau tidak sebesar rumahnya bersama Adit dulu. ***                 Rachel yang semula duduk sembari mengetuk-ngetuk jemarinya di atas meja, terhenti saat pintu tempat tahanan ke luar untuk menemui tamu terbuka. Dia di sana, lelaki yang dia sangat kenal namun tak pernah mengenalnya. Jordi, dia ke luar dengan baju tahanan dan tubuhnya yang sedikit lebih kurus dari sebelumnya. Rambutnya kini sedikit gondrong, dengan kumis yang cukup mengganggu pandangan Rachel.                 Jordi duduk di hadapannya dengan tatapan bingung. Dia sama sekali tidak mengenal perempuan di hadapannya. Dia tampak asing, namun ada guratan di wajahnya yang seolah membuatnya mengingat seseorang. Namun masih sulit untuk diungkapkaj Jordi siapa orang yang dimaksudnya kini.                 “Loe siapa?” tanya Jordi tanpa basa-basi. “Aku gak pernah mau nerima tamu yang tidak aku kenal.”                 “Kenapa?” tanya Rachel sembari melipat kedua tangannya diatas meja. “Loe berharap yang datang Audy?” tanya Rachel yang jelas saja membuat Jordi kaget bukan main, saat nama Audy disebutkan wanita yang sama sekali tidak dia kenal itu. Wanita yang kira-kira masih berusia dua puluhan tahun itu tampak cantik dan menawan. Namun mendengar nama Audy dia sebutkan, membuat Jordi tak lagi fokus dengan wajahnya yang enak dipandang, melainkan dengan nama Audy yang sangnat dia rindukan.                 “Leo siapanya Audy sampai mengenalnya?” tanya Jordi lagi.                 “Gue bukan siapa-siapanya Audy sih,” jawab Rachel tetap dengan gayanya yang santai. “Gue cuma orang yang sebenarnya ingin balas dendam sama semua orang di hidup Rachel. Terutama yang langsung bersinggungan dengan kakak gue!”                 Ada nada dendam di suaranya yang membuat Jordi mengerutkan kening. Dia masih tidak paham maksud dari arah ucapan perempuan itu saat ini. Dia merasa cukup takut jika perempuan itu sampai melakukan hal keji pada Audy. Biar pun sebenarnya dia ingin membalaskan dendam pada Adit yang berhasil menjebloskannya ke penjara, namun untuk Audy dia tidak akan tidak melakukan hal jahat padanya. Meski pun saat ini pada Audy pun dia kecewa bukan main. Saat mengingat wajah dan tatapan jijik Audy saat melihatnya dijebloskan ke dalam penjara.                 “Apa maksud loe?” tanya Jordi. “Siapa sebenarnya kakak loe itu?” tanya Jordi lagi yang membuat Rachel tersenyum.                 “Loe yakin, melihat gue … loe gak ingat seseorang?” tanya Rachel yang kembali membuat Jordi mencoba mengingat seseorang dalam hidupnya yang mirip dengan perempuan di hadapannya kini. Dia benar-benar tidak bisa mengingat siapa itu. Yang pasti, raut wajahnya seakan tak asing untuknya kini. Rachel tertawa melihat kebingungan hadir di wajah Jordi, menghentikan tawanya seeketika, lantas mengulurkan tangannya berniat berjabat tangan dengannya yang langsung dibalas Jordi dengan menjabat tangannya.                 “Kalau loe gak kenal gue, gue yang akan memperkenalkan diri gue sekaligus mengingatkan loe sama seseorang dalam hidup loe, yang dengan mudahnya loe lupain demi wanita itu,” ucap Rachel dengan nada suara persis seperti nada seorang penjahat. “Gue Rachel, Rachel Anandita … Adik dari Alea Anandita. Apa sekarang loe sudah berhasil dan bisa mengingatnya?” tanya Rachel tanpa melepaskan jabatan tangannya dengan Jordi.                 Jordi kaget bukan main. Dia tidak menyangka bahwa perempuan di hadapannya, adalah adik kandung dari Alea yang dulu pernah disebutkan Alea saat bersamanya. Rachel tersenyum sinis saat Jordi menatapnya masih tak percaya dengan apa yang kini dia temui di siang hari seperti ini. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD