BAB 7

1120 Words
                Ameliya terisak di hadapan Nisa. Keduanya duduk di pinggir kolam renang di samping rumah Adit, tanpa Zenia dan Zyo yang saat itu, sedang tidur siang di kamar ditemani Nina yang kebetuan sudah pulang dari sekolah. Adit sendiri langsung pergi setelah mengantarkan keduanya sampai di rumah. Ada pekerjaan di hotel yang membuatnya harus segera ke sana. Ditambah lagi kini, Adit bukan hanya memiliki satu hotel untuk dia Kelola, tapi juga ada dua hotel yang dia buka di kota Jakarta. Cabang hotelnya pun mulai berkibar di beberapa kota lainnya, seperti di Bali dan juga Jogja. Adit juga sudah membuka rumah makan berbentuk café yang dikelola langsung oleh Aden. Aden yang masih SMA, dipercaya Adit untuk mengelolanya sejak setahun yang lalu. Dan Adit benar-benar percaya pada adik kandung Nisa yang satu itu. Sedangkan untuk Nina yang juga adik kandung Nisa, Adit pun sudah menabung untuknya, agar Nina bisa membuka usaha apa pun yang dia inginkan nanti, saat dia sudah siap untuk mengelolanya sendiri.                 Nisa menatap Ameliya tak tega, membelai rambutnya penuh kasih sayang lantas mencoba menenangkannya. Dia tidak ingin kandungan Ameliya yang sudah besar, malah terganggu dengan tangisan kesedihannya.                 “Aku benar-benar bingung ngejawab pertanyaan Zyo, Kak. Dia benar, kalau seandainya anak yang aku kandung ini laki-laki, posisinya akan terancam di rumah,” tambah Ameliya lagi di sela-sela tangisannya. “Aku takut, bentakan dan sikap tidak adil papi, malah membuat Zyo tertekan dan akhirnya membenci kedua adiknya.”                 “Tapi selama ini ketakutan kamu gak terbukti terjadi, kan?” tanya Nisa yang langsung membuat Ameliya menundukkan kepala sembari membenarkan pernyataan Nisa di dalam hatinya. “Aku yakin, Zyo juga akan bersikap sama seperti ke Zenia ke adiknya nanti. Dia tidak akan membencinya, Mel, jangan cemaskan hal itu.” Nisa mengusap kembali kepala Ameliya, tersenyum lebar agar Ameliya bisa lebih tenang dan tidak lagi sedih karena masalahnya.                 Sejujurnya, Nisa pun ikut sedih karenanya. Andai saja dia bisa melakukan sesuatu untuk menyelamatkan Ameliya, dia pasti akan lakukan. Namun Adit selalu saja melarangnya bertindak apa pun jika itu menyangkut Ameliya. Dan perintah itu tidak bisa ditolak Nisa.                 Ameliya meraih gelas air mineralnya yang sebelumnya dibawakan Sumi, pembantu Nisa di rumah yang sudah berpuluh-puluh tahun bekerja di rumahnya. Ameliya meneguknya beberapa kali, lantas meletakkannya kembali. Dia sedikit lebih lega, dan hal itu membuat Nisa lega bukan main.                 “Apa aku salah kalau aku minta ke Dimas untuk pindah, Kak?” tanya Ameliya yang sebenarnya sudah punya ide ini dari jauh-jauh hari, bahkan setelah menikah. Ameliya bukan tidak ingin tinggal bersama keluarga Dimas, dia malah senang jika tinggal bersama keduanya, terlebih Aurum yang sangat menyayanginya. Namun Ameliya hanya tidak ingin ada masalah yang terjadi. Sedekat-dekatnya sama keluarga Dimas, pasti akan ada saja masalah yang hadir yang membuat hubunga akrab itu, bisa rengggang di kemudian hari. Itulah yang ingin dihindari Ameliya. Namun hingga saat ini, dia tidak berani mengungkapkannya karena takut Dimas kecewa padanya.                 “Apa kamu sudah pernah ngebahas hal ini sama Dimas?” tanya Nisa yang langsunng dijawab Ameliya dengan gelengan kepala. “Kenapa? Malah aku rasa itu jalan terbaik buat masalah kalian berdua.”                 “Ada banyak hal yang aku takutkan bakalan terjadi kalau aku minta hal itu ke Dimas, Kak,” jawab Ameliya sembari menunduk sesaat, lantas kembali mengarahkan tatapannya ke Nisa. “Aku takut Dimas kecewa dan berpikiran kalau aku tidak betah tinggal bersama keluarganya. Dan aku takut hubunganku dengan papi malah semakin renggang. Papi bisa saja menganggapku tidak menyukainya. Ada banyak yang aku pikirkan kalau aku ambil keputusan itu.”                 “Tapi kalian sudah punya keluarga sendiri, dunia sendiri, rasanya tidak masalah kalau kalian memutuskan pindah dari sana,” jawab Nisa yang tampak yakin bahwa keputusan untuk pindah itu adalah keputusan yang tepat. “lagian kamu tidak ingin ada pertengkaran dan masalah kan? Dan solusi terbaik adalah pindah,” tambah Nisa lagi.                 “Entahlah, Kak, aku masih takut ngebahas hal itu ke Dimas,” jawab Ameliya. “Dimas pasti mau, tapi kedua orang tuanya pasti menolak. Apa lagi saat ini aku sedang hamil besar begini. Aku juga ngerasa pasti mami sedih kalau tau kami pindah,” tambah Ameliya yang kembali teringat ke Aurum yang selalu senang bersama Ameliya di rumah.                 Nisa menyapukan pandangannya ke sekeliling halaman samping itu.  Kolam renang di sampingnya, taman kecil di dekat kolam renang dan beberapa kursi untuk tempat duduk selalu menjadi tempat ternyaman Nisa dan Adit sekedar menikmati sore hari berdua. Cuaca hari ini yang cukup teduh pun, semakin membuat Nisa dan Ameliya betah berlama-lama cerita di bawah langit biru. Tidak harus duduk di dalam teras agar terhindar dari sengatan matahari.                 Nisa kembali mengarahkan tatapan ke Ameliya yang memainkan handphonenya, mengecek pesan Dimas yang baru saja hadir di benda pintar itu sekedar bertanya keberadaannya dan anak-anak saat ini. Nisa menatapnya tak tega. Dia tidak menyangka, ulah Alea, wanita yang kini  berada di rumah sakit jiwa malah begitu mempengaruhi kehidupan pernikahan Ameliya dan Dimas. Ameliya yang sudah sepantasnya bisa hidup bahagia, malah harus menerima imbas dari kejahatan orang lain.                 “Apa perlu aku yang ngomong sama Dimas, Mel?” tanya Nisa yang langsung menarik tatapan Amelliya ke Nisa. Tidak ada jawaban darinya, bahkan gelengan atau anggukan kepala pun tidak ada. Nisa seakan mendapati keraguan di diri Ameliya, seolah Ameliya menginginkannya, namun di sisi lain menolaknya.                 “Aku bisa bahas hal ini sama Dimas secara santai, agar dia tidak merasa kamu yang memintanya. Dia tidak akan tahu kalau semua ini atas keinginan kamu,” tambah Nisa lagi yang semakin membuat Ameliya bingung bukan main.                 “Apa Dimas mau ngedengarin kamu, Kak?” tanya Ameliya lagi yang kali ini langsung dijawab Nisa dengan mengangkat kedua bahunya.                 “Mudah-mudahan,” jawab Nisa santai. “Kita gak bakalan tau endingnya sebelum mencobanya, kan?”                 Ameliya menarik napas dalam, lantas mengembuskannya perlahan. Dia masih menimang-nimang saran Nisa yang memang sangat dia butuhkan sebenarnya. Namun, selagi Ameliya berpikir, suara handphone Nisa berbunyi. Nisa meraih handphonenya yang terletak di samping gelasnya, membaca satu nama yang ternyata Audy. Nisa tersenyum, lantas menekan tombol penjawab teleponnya di dalam layar.                 “Ya, Dy, ada apa?” tanya Nisa. Sesaat hening, Ameliya yang mendengar nama Audy disebut Nisa, langsung melupakan pikiran tentang Dimas dan keinginannya untuk pindah. Ameliya tampak menanti kalimat terusan Nisa yang sedang berbicara dengan Audy.                 “Boleh saja, tapi coba tanya Adit dulu ya. Siapa tau Adit punya saran lagi. Lagian ini rumahnya Adit, Dy, biar pun aku istrinya, tapi aku gak berani ngambil keputusan tanpa persetujuan dia.”                 Nisa menatap Ameliya sembari terus berbicara. Sampai akhirnya, pembicaraan pun selesai, Ameliya menggenggam tangan Nisa seolah bertanya ada apa sebenarnya. Nisa menghela napas.                 “Yura bebas, dan Audy meminta izin untuk tinggal di sini lagi bareng sama Yura,” jawab Nisa yang langsunng membuat Ameliya sedikit merasa khawatir, mengingat Yura pernah hampir mencelakai Audy dan seluruh keluarganya dulu.   
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD