“Selamat, Pak Adit, istri anda hamil. Dan saat ini usia kehamilannya sudah memasuki usia enam minggu.” Ucapan Dokter Lydia, salah satu rekan kerja Dimas di rumah sakit miliknya membuat Adit dan Nisa tersenyum haru. Adit yang tak kuasa menahan keharuannya, langsung bersujud syukur, lantas memeluk Nisa yang masih duduk di kursi tepat di depan meja sang dokter. Air mata menetes membasahi kedua pipinya. Berulang kali bibirnya mengucapkan hamdalah, terus menerus meyakinkan dirinya dengan bertanya pada Lydia tentang hasil pemeriksaan yang dilakukan.
Semua, Nisa masih tidak yakin bahwa di dalam rahimnya kini hadir calon bayi kecilnya yang sudah sejak lama dia dambakan. Hampir delapan tahun pasca keguguran yang dia alami waktu itu, Nisa dan Adit menanti. Jatuh bangun terjadi di dalam hidup Nisa, bahkan hampir saja Nisa depresi karena merasa tidak sempurna menjadi istri Adit.
Adit yang memahami perasaan Nisa, tak henti-hentinya meyakinkannya bahwa anak bukanlah yang utama di dalam pernikahannya. Adit bahkan sudah tidak menginginkannya lagi. Bahkan, Adit berniat menikmati hari-harinya hingga tua berdua dengan Nisa. Namun tidak dengan Nisa yang terus saja memikirkan keinginan terbesarnya itu. Hingga hampir saja Nisa meminta Adit untuk menikah lagi, hanya agar bisa mendapatkan seorang anak yang tangisannya, sangat di rindukan Nisa di rumah besar tempatnya bernaung.
Bersama Nisa, Adit ke luar dari ruangan Lydia dengan dikawal Leo, bodyguard yang selalu setia padanya sejak dulu. Adit memang tidak mengajaknya untuk ikut, tapi Leo merasa tidak puas jika tidak mengawal bosnya yang baik padanya itu. Adit dan Nisa yang sudah mengizinkannya memboyong istri dan satu anaknya untuk tinggal di rumah belakang, rumah yang dibangun Adit khusus untuk semua pekerja di rumahnya kecuali pembantu yang memang sudah disediakan kamar di rumah utama, membuat Leo dan beberapa bodyguard lainnya yang tinggal di luar kota, memboyong semua keluarganya.
Langkah Adit dan Nisa terhenti saat melihat Dimas baru saja ke luar dari ruang UGD. Adit memanggilnya, Dimas pun menoleh. Dimas tersenyum lebar sembari melangkah mendekat, dengan melepas kaca mata yang dia kenakan.
“Kalian udah di sini? Aku kirain entar siangan baru datang,” ujar Dimas yang tidak menyangka bisa melihat Adit dan Nisa di pagi hari. Padahal Dimas sengaja mengatur jadwal agar siang tidak ada satu pasien pun yang ingin menemuinya agar bisa menemani Adit dan Nisa memeriksakan kandungan.
“Adit gak sabaran, Dim, jadi ganti jadwal deh,” sindir Nisa yang membuat Adit tertawa.
Lorong rumah sakit tampak lenggang. Hanya ada beberapa pengunjung rumah sakit yang duduk di kursi tunggu di depan meja informasi yang terletak di dekat pintu masuk rumah sakit. Beberapa team medis tampak lalu lalang pagi ini. Namun kondisi itu masih terbilang cukup sunyi bagi Dimas yang selama ini, selalu menghadapi situasi penuh sesak dengan segala situasi yang terajdi.
“Iya, aku cuma mau mastikan, benar gak hasil testpack itu. Takutnya udah berharap lebih, malah ternyata hasilnya salah,” ucap Adit yang seakan trauma dengan kejadian beberapa tahun silam. Nisa yang terus mencoba menggunakan testpack setelah enam bulan mengalami keguguran, sempat mendapatkan hasil yang mengejutkan. Ada garis biru di test pack yang dia gunakan. Namun anehnya saat di periksa ke rumah sakit, Nisa dan Adit malah harus menelan pil pahit kalau ternyata, Nisa sama sekali tidak hamil. Dan kejadian itu terjadi berulang kali, hingga membuat Adit takut jika hasil testpack kali ini, sama seperti dulu.
“Tapi buktinya, hamil, kan?” tanya Dimas yang langsung dijawab Nisa dengan anggukan kepala. “Alhamdulillah kalau gitu, yang penting dijaga, Nis, rajin control ke dokter juga.”
“Iya, Dim, makasih ya karena udah ngenalin aku sama Dokter Lydia. Dia dokter yang baik,” puji Nisa sembari mengingat semua kebaikan Lydia padanya. Dengan penuh kesabaran, Lydia membimbing Nisa perihal kehamilan. Apa-apa saja yang harus dia lakukan demi mendapatkan buah hati, dan makanan serta vitamin apa saja yang harus dia gunakan.
“Dia dokter terbaik di sini, Nis, aku malah senang kalau kamu dibantu langsung sama beliau. Ameliya juga sama beliau kok, kalian bisa check up bareng nanti,” ucap Dimas yang langsung membuat Adit tersenyum sembari mengangguk setuju. Sedangkan Nisa tersenyum lebar mendengarnya. “Eh iya, kalian ada niat ke mana?” tanya Dimas lagi sembari melirik ke jam tangannya.
“Aku mau ke hotel sih, hari ini aku dan Audy ada rapat untuk pembukaan cabang baru di Jogja, jadi kami mau ngebahas itu,” jawab Adit. “Kalau Nisa, gak tau nih dia mau milih ke mana, ikut suaminya apa ke rumah aja nungguin Aden dan Nina pulang sekolah.”
“Em … Ameliya di mana? Atau aku ke rumah kalian aja, nemanin Ameliya,” usul Nisa yang sebenarnya bosan jika harus sendiri di rumah. Percuma saja, Adit tidak akan memperbolehkannya buat melakukan kegiatan di rumah. Dengan alasan harus bed rest, Adit pasti akan terus mengawasinya lewat semua bodyguard di rumah yang senantiasa memantaunya.
“Itu dia maksud aku, Nis,” ucap Dimas dengan raut wajah sedih. “Semenjak kehamilan kedua ini, Ameliya sedikit lebih sensitive. Aku gak tau sih sebenarnya siapa yang salah antara Ameliya yang terlalu sensitive semenjak hamil, atau papi yang terlalu sayang sama calon anak kami. Tapi keduanya akhir-akhir ini selalu bertengkar. Apa lagi saat ini, mami lagi gak di rumah.”
“Tante Aurum masih di Padang?” tanya Nisa yang langsung dijawab Dimas dengan anggukan kepala. “Sampai kapan?” tanya Nisa lagi yang teringat, bahwa Aurum sudah hampir dua minggu pergi mengunjungi keluarganya yang masih menetap di sana.
“Seharusnya sih kemarin udah pulang, tapi tiba-tiba nenek aku jatuh sakit, sempat dirawat juga di rumah sakit, makanya mami gak jadi pulang,” jawab Dimas. “Kamu bisa kan temanin Ameliya dulu? Atau aku ajak aja Ameliya ke rumah, Nis. Jam segini dia pasti bosen kalau harus berdua dengan papi. Biar pun ada Mbok Anni di rumah, tapi tau sendiri, kan, papi mana ngizinkan dia ke dapur. Terlalu overprotective memang papi itu!”
Adit tertawa mendengarnya, begitu juga dengan Nisa disusul lirikannya ke sang suami. Nisa yakin, Adit jga sama seperti Doni yang terlalu berlebihan dalam memperhatikannya. Walau sebenarnya di satu sisi Nisa tidak menyalahkan Adit sepenuhnya nanti, saat dia melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan Doni pada Ameliya, mengingat sudah delapan tahun dia menanti sang calon bayi di Rahim Nisa.
“Kalau gitu, kita jemput aja, kita ajak ke rumah, gimana?” tanya Adit yang langsung disetujui Nisa.
“Entar aku telepon Ameliya buat siap-siap,” tambah Dimas yang tampak lega mendengarnnya.
“Kalau gitu, kami balik dulu ya.” Adit mengajak Nisa berlalu dari hadapan Dimas. Dimas sendiri langsung meraih handphonenya dari dalam saku celananya, dan mencoba menghubungi Ameliya yang tidak butuh waktu lama, langsung dijawab Ameliya di tempatnya berada saat ini.