BAB 5

1115 Words
                Ameliya tertunduk sedih di hadapan Doni yang terus memarahinya tanpa ampun. Zyo, anak pertama Ameliya dan Dimas secara tidka sengaja meletakkan tas sekolahnya di sembarang tempat hingga tanpa sengaja, membuat Doni hampir jatuh. Doni marah besar, sedangkan Zyo terlihat berdiri di belakang Ameliya dengan wajah ketakutan.                 “Seharusnya kamu bilangi sama anak kamu itu, ajarkan bersikap! Biar gak seenaknya aja di rumah ini!” bentak Doni lagi yang sejujurnya membuat Ameliya sakit bukan main mendengarnya. Selama ini, baik dia mau pun Dimas selalu mengajarkan hal-hal baik pada anak-anak mereka, terutama Zyo. Hanya karena Zyo kelaparan dan tidak sengaja meletakkan tasnya di lantai, Doni langsung menganggapnya seolah-olah tidka pernah diajarkan tata keramah dan bersikap dengan baik.                 Di sisi lain pun, Ameliya merasa sikap Doni berubah total semenjak Ameliya melahirkan anak keduanya yang diberi nama Zenia. Zenia yang masih berusia tiga tahun, selalu disanjung-sanjung Doni ke mana pun dia pergi. Bahkan Doni selalu membawanya ke mana pun. Tidak dengan Zyo. Zyo malah selalu ditinggal pergi setelah Zenia hadir di hidupnya. Namun Ameliya bersyukur, Zyo tidak sampai membenci adiknya walau sering kali Doni membela Zenia di situasi apa pun.                 “Maafkan Zyo, Opa,” ucap Zyo yang membuat Doni mendengus kesal, lantas berlalu pergi. Anni yang sejak tadi mengintip di balik pintu menuju dapur, langsung berlari mendekati Ameliya yang memungut tas Zyo. Zyo menangis, Anni langsung memeluknya.                 “Sabar, Mbak, bapak kan memang gitu,” ucap Anni berusaha menenangkan Amliya dan Zyo bersamaan.                 Ameliya tersenyum tipis, mengusap kepala Zyo yang masih menangis, lantas menariknya untuk jatuh ke dalam pelukannya. Ameliya merasa, usia Zyo yang baru delapan tahun rasanya tidak pantas jika terus dimarahi. Ameliya takut Zyo malah berubah membenci sang opa hanya karena terus memarahinya. Padahal selama ini, Zyo sangat menyayangi lelaki yang dulu pernah mneyayanginya sama seperti rasa sayangnya pada Zenia.                 “Zyo lapar?” tanya Ameliya dengan nada suara bergetar.                 Zyo menggeleng, “Zyo udah gak lapar lagi, Mami, kita ke kamar aja ya?” ajak Zyo yang semakin membuat hati Ameliya sakit bukan main.                 Ameliya selalu saja mendapati Zyo mengalah demi situasi tidak semakin parah. Bahkan sering kali Zyo menolak bergabung makan bersama agar Doni tidak pergi dari meja makan. Dia tidak suka melihat suasana yang semula hangat karena obrolan di meja makan, berubah karena kehadirannnya. Dan hal itu sering membuat Ameliya menangis karenanya.                 Ameliya menarik tatapannya ke Anni yang mengusap lengannya pelan. Anni mengangguk pelan yang membuat Ameliya mengerti maksud dari wanita yang sudah bekerja cukup lama dengannya di rumah itu.                 “Nanti saya ambilkan nasinya, Mbak. Saya bawa ke kamar. Mbak da Zyo ke kamar saja,” ucapnya penuh perhatian yang membuat Ameliya mengangguk pelan. Ameliya menggenggam tangan kanan Zyo, mengajaknya naik ke lantai dua lewat tangga, meninggalkan Anni yang menatapnya dari bawah dengan mimik wajah sedih, lantas melangkah menuju dapur.                 Ameliya masuk ke dalam kamar Zyo. Terlihat seorang anak perempuan sedang bermain boneka di atas tempat tidur Zyo, menatap heran ke Zyo yang menangis, lantas mengalihkan tatapan ke Ameliya yang memilih duduk di sampingnya. Ameliya sesaat tersenyum ke Zenia yang perlahan mendekat, memeluknya erat.                 Ameliya selalu merasa, Zenia terlalu mudha tersentuh saat melihat seseorang menangis di dekatnya. Ikatan antara Zenia dan Zyo pun terlihat cukup kuat hingga terkadang membuat Ameliya merasa, Zenia selalu memeluk Zyo saat Zyo dimarahi siapa pun. Ameliya merasa bersyukur punya Zenia yang masih peduli denga Zyo walau keduanya bukan berasal dari ayah yang sama.                 “Opa marah sama Zyo, Mami,” isak Zyo yang membuat Ameliya memeluk Zyo yang lebih memilih berdiri di hadapannya sembari terus menangis. “Zyo tadi gak sengaja, Mami. Zyo tadi cuma sebentar mau ke dapur minta Bik Anni nyiapain makanan, Zyo mau balik lagi ngambil tas terus ke kamar. Tapi opa malah udah datang duluan, terus marah-marah sama Zyo,” adu Zyo yang jelas membuat Ameliya ikut sedih karenanya.                 Ameliya berusaha untuk tidak menangis. Dia tidak ingin kedua anaknya semakin bertambah sedih karenanya. Biar bagaimana pun, tumpuan keduanya adalah dirinya, dan Ameliya tidak ingin menjadi seorang ibu yang lemah dan tidak bisa menjadi pelindung keduanya.                 “Opa gak sengaja, Sayang,” ucap Ameliya sembari menjauhkan kepala Zyo dari dadanya, tersenyum lebar. “Opa hanya kaget, kan tadi opa hampir jatuh karena tas Zyo. Jadi kalau kita kaget, biasanya kita gak sadar sama apa yang kita lakukan, kan? Zyo juga sering gitu. Kalau Zenia kagetin, pasti Zyo selalu bilang jangan gitu Zenia, abang kaget! Mami benar, kan?” tanya Ameliya berusaha mengingatkan Zyo akan kejadian yang sering terjadi. Walau nada suara Zyo tidak pernah tinggi pada Zenia.                 Zyo mengangguk, Ameliya menghapus air mata Zyo yang terus membanjiri kedua pipinya. Sedangkan Zenia, perlahan turun dari tempat tidur Zyo, dan memeluk Zyo. Pemandangan itu jelas membuat Ameliya haru bukan main. Tak henti-hentinya Ameliya bersyukur karena keduanya, begitu saling menyayangi. Semula dia takut jika keduanya malah saling membenci. Zenia merasa diutamakan, dan Zyo merasa diabaikan. Dan permusuhan pun terjadi. Namun kenyataannya malah tidak sama sekali. Zenia dan Zyo saling menyayangi, seolah tidak ada apa pun yang bisa merusak kasih sayang keduanya.                 “Jangan nangis, Abang,” ucap Zenia sembari terus memeluk Zyo.                 “Tuh, adik Zenia malah ikutan sedih karena abangnya sedih,” tambah Ameliya berharap Zyo tidak terus menerus sedih karena kejadian tadi. “Masa Abang Zyo tega banget buat Adik Zenianya sedih. Katanya sayang sama Zenia.”                 Zyo langsung menghapus air matanya, memeluk Zenia yang semakin membuat Ameliya terharu karena keduanya.                 “Jadi, opa gak marah dan benci sama Zyo kan, Mami?” tanya Zyo lagi sembari terus memeluk Zenia yang langsung dijawab Ameliya dengan gelengan kepala.                 “Mami serius?” tanya Zyo lagi yang tampak seperti tidak yakin dengan jawaban Ameliya.                 Ameliya mengangguk pelan, mengusap kepala Zyo penuh kasih sayang, “Iya, Sayang. Op aitu kan sayang banget sama kamu. Kamu itu cucu laki-laki pertama di rumah ini, dan Zenia cucu perempuan pertama opa. Jadi pasti opa sayang sama kamu dan Zenia. Masa opa gak sayang sama cucunya.”                 Suara deringan handphone Ameliya berbunyi. Ameliya meraih handphonenya yang sejak tadi dia tinggalkan di atas tempat tidur Zyo. Ada nama Dimas di sana yang langsung dijawab Ameliya.                 “Ya, Sayang,” jawab Ameliya saat Zyo melihat kea rah perut buncit Ameliya. Dia menyentuhnya pelan, Ameliya tersenyum sembari kembali mengusap kepala Zyo beriringan dengan bicara bersama Dimas di telepon. Ameliya mengakhiri teleponnya beberapa saat kemudian.                 “Mami,” panggi; Zyo lagi.                 “Ya, Sayang?”                 “Kalau seandainya adik Zyo nanti cowok, apa opa gak sayang lagi sama Zyo?”                 Pertanyaan Zyo jelas membuat Ameliya kaget bukan main. Mimik sedih yang ditunjukkan Zyo membuat Ameliya sedih bukan main. Dia tidak menyangka Zyo akan bertanya hal itu padanya. Ameliya merasa, ucapannya sebelumnya salah besar yang membuat Zyo sampai berpikir hal sedalam itu tentang bayi di dalam kandungannya.                 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD