Anggasta Shaquille Arash

1125 Words
Mansion Arash Ruang istirahat dengan perabotan lengkap itu tampak sunyi. Padahal jelas sekali, jika di dalam sana ada dua orang dengan satu duduk santai sambil menatap tanpa ekspresi, sedangkan satunya menghadap sebuah lengan dengan sebuah luka menganga. Yang satu adalah Tuan muda—Anggasta, ia saat ini sedang menerima pengobatan dari sang penjaga terpacaya dengan sebuah benang dan jarum, tepatnya ia sedang dijahit oleh sang penjaga yang memiliki keterampilan dalam mengobati dan merawat luka. Ia sudah melepas Kinagashi yang ternodai darah saat duel melawan ayahnya di halaman sana. Sehingga kini tubuh kokoh itu sudah tidak ada lagi penghalang, memperlihatkan bagaimana lengan kekar yang sedang dijahit oleh sang penjaga, serta tato naga memenuhi punggungnya yang lebar dan kupu-kupu di bahu. Sedangkan si penjaga, surai pendeknya tampak menutupi sebagian kening juga mata yang menatap luka di depannya dengan tatapan biasa, sama sekali tidak meringis saat kulit sang Tuan yang menganga akhirnya tertutup rapih dengan benang jahit. Ia memastikan luka bersih dengan kasa yang menutupinya agar tidak terkena debu, setelahnya membereskan kain kasa bernoda merah yang dijadikan satu olehnya di sebuah tempat pembuangan. “Sudah?” tanya sang Tuan—Anggasta datar. “Sudah Tuan.” Jawaban dengan nada sama datarnya itu membuat Anggasta mengangguk, membiarkan saat si penjaga berdiri dan meninggalkannya sambil membawa perlatan medis kembali ke tempat semula. Kini, ia kembali memandangi depan sana, sebelum berdiri dari duduknya dan menghadap ke belakang, tepatnya ke arah si pengawal yang kini berjalan sambil membawa kemeja dengan warna gelap. Ia refleks kembali membalik tubuh sambil merentangkan tangan dan membiarkan si pengawal memakaikannya, mulai dari kedua lengan hingga akhirnya ia membalik lagi tubuhnya dengan d**a bidang berhiaskan banyak luka terpampang di depan si pengawal. Si pengawal melanjutkan memakaikan kemeja sang Tuan tanpa ekspresi, sama sekali tidak memandang berlebih bagaimana d**a bidang itu menunjukkan perjalanan hidup, mulai dari tebasan dan bekas peluru yang diterima sang Tuan. Ia sudah biasa, bahkan ia yang mengobati saat sang Tuan tidak ingin disentuh orang lain. Maka itu, sejak berumur 12 tahun, ia sudah menjahit dan mengobati luka khusus sang Tuan setelah menempuh pendidikan khusus dokter bedah secara rahasia. Satu per satu kancing dipasangnya kembali, sedangkan sang Tuan menatap si pengawal dengan tatapan datar, meski sesekali onyx itu melirik dengan ekspresi tertentu. Tok! Tok! Tok! Sebuah ketukan tidak membuat si penjaga menghentikan kegiatan mengancing, karena setelahnya ketika sang Tuan menyahuti dengan lantang, pintu itu terbuka dan menampilkan seorang pria berpakaian rapih. “Masuk!” Creak! “Tuan Anggasta!” “Hn.” Anggasta hanya bergumam, kemudian kembali menatap si pengawal yang kini beres mengancingi meminta izin undur diri. “Saya permisi- “Kamu tetap di sini,” sela Gasta cepat, sambil berjalan meninggalkan si pengawal yang mengangguk dan berdiri di tempat tanpa bergerak. Brugh! Angga duduk di tepi ranjang dengan kaki saling bertopang, kemudian kembali menoleh ke arah si pria dan mengangguk, seakan memerintah untuk si pria melanjutkan kalimat yang disampaikan kepadanya. “Lanjutkan Asisten Kin,” perintahnya tegas. Lalu si pria yang dipanggil asisten Kin ini mengangguk mengerti, segera melanjutkan apa urusannya hingga sampai mendatangi sang Tuan. “Penghianat Kizuma berusaha kabur setelah mengambil keuntungan, Tuan Gasta. Mereka berkata akan mengembalikan beberapa kotak senjata, asal Tuan mendatanginya di terminal peti kemas, sendirian.” Seringai bermain sinis di bibir tipis seorang Anggasta, pewaris dari perusahaan yang terkenal dengan persenjataan baik untuk mafia atas maupun di kalangan bawah tanah. Namun sebenarnya bukan itu pekerjaan seorang Anggasta, ia adalah pewaris dari perusahaan bidang kontruksi untuk menutupi usaha persenjataannya. Harta keluarga Arash melimpah, tentu saja, apalagi putra Arash ini memiliki tunangan dari keluarga terpandang Rownee di bidang eskpor-impor batu bara. Bertempat tinggal di prefektur Hokkaido, lebih tepatnya distrik Kamikawa dan menjadi klan yang memegang daerah sekitar termasuk Nakagawa. Daerah kekuasaan Arash berbatasan dengan klan Gamauchi di area distrik Shiraoi bagian barat, sedangkan Agler sendiri menguasai Usu distrik, Subetsu.   Menginjak usia 25, Anggasta yang telah menyelesaikan pendidikan di umur 19 semakin menjadi pria yang dihormati oleh banyak kalangan. Ya, Anggasta kini menjadi pria muda penuh karisma dan semakin tajam ketika menatap, meski pada saat usia 13 tahun sama saja tajamnya. Siapa yang tidak menginginkan seorang Anggasta, termasuk tunangannya yang menyokong dan memberi dukungan penuh untuk keluarga Arash. Namun, apakah Anggasta mencintai sang tunangan? Jawabanya adalah ia mencintai, meski masih menjelajahi, tapi yang jelas Anggasta sudah memiliki ikatan dan ia memiliki tanggung jawab akan hubungan kedua keluarga ini. Anggasta memiliki banyak wanita di sekitarnya, bahkan seorang putri Yakuza lainnya ada yang masuk pula dalam jerat pesonanya.   Lalu saat ini telinganya gatal, ketika mendengar berita tentang tikus basah berusaha kabur dari genggamannya. Berani sekali si b******n kecil itu, umpatnya dalam hati. Ya, meskipun ia mengumpat dalam hati, nyatanya wajahnya masih sama datar dan menatap sang asisten dengan kepala mengangguk. “Kalau begitu biarkan mereka mendapatkannya- “Tapi Kaicho!- “Sssstt…. Aku belum menyelesaikannya.” Anggasta kembali menyela ucapan sang asisten yang khawatir akan keselamatannya. Apakah asistennya ini lupa, kalau ia pernah mengalahkan banyak lawan sendirian, meski setelahnya dibantu oleh penjaganya yang selalu setia dari kejauhan sebagai sniper. “Kau meremehkan aku?” lanjut Anggasta mengintimidasi. Sang asisten menggeleng segera, menegakkan punggungnya dan menatap sang Bos dengan saliva ditelan kasar. Bodoh! Seharusnya aku tidak khawatir, batin sang asisten—Kin tepaynya Kinjaya. “Tidak Bos!” “Hn.” Anggasta kembali bergumam, kemudian menatap penjaganya yang tetap menatap menampilkan raut wajah datar dengan seringai. Ia berdiri perlahan dari duduknya, berjalan menghampiri si pangawal yang tampak melirikkan coklatnya ke arah lain meski sekilas, sebelum akhirnya kembali lurus menatap sang Tuan yang kini berdiri di hadapannya. Tap! Tatapan Anggasta lurus menilik si pengawal, kemudian kembali berjalan mengelilingi si pengawal dan berdiri di belakangnya sambil merangkul leher sang pengawal. Anggasta juga menyandar, menyamankan diri tanpa peduli saat tubuh pengawal yang disandarinya terdorong meski sedetik, karena detik berikutnya tidak ada pergerekan lagi. “Katakan, di mana terminal peti kemas itu?” tanya Anggasta ketika ia sudah menyandar sepenuhnya kepada si pengawal. “Terminal North, pebatasan dengan Distrik 21 di Utara, Bos!” “Hum….” Anggasta kembali bergumam sambil mengangguk, sedangkan Kinjaya yang melihat sikap manja sang Bos dengan si pengawal mengernyit dalam hati. Apakah sang Bos berubah menjadi penyuka sesama, karena tampak nyaman menyendar dengan si pengawal bertubuh tegap dan memiliki potongan rambut pendek itu? Ya…, meskipun wajahnya manis, tapi tetap saja ia menyukai perempuan dibandingkan si pengawal memakai jas rapih itu. “Kalau begitu aku akan mendatanginya sendiri. Kamu beritahu si b*****h kecil itu, untuk menemuiku sesuai janji dan jika sampai telat maka kepalanya akan kupenggal, katakan itu dengan jelas. apa kamu mengerti, Kin!?” imbuh Anggasta ketika ia sudah memikirkan rencana untuk si tikus. Kinjaya mengangguk, mengabaikan rasa merinding di dalam hati ketika mendengar ancaman tak main-main dari sang Bos. “Baik!” “Hn, kamu boleh pergi,” lanjut Angga mengusir. Blam! Bersambung 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD