••
Abeen celingukan, mencari-cari seseorang yang berubah jadi mahal waktunya walau cuma ketemu di cafe atau di kampus. Hampir semingguan Maria nggak bisa ditemuinya.
"Emh, liat Maria?"
"Maria ngampus nggak?"
"Ada Maria?"
Pertanyaan itulah yang dilontarkan cowok bermata sipit dan berdagu tirus itu pada setiap anak sekelasan Maria. Dia nggak berani bertanya sama Marvel. Tepatnya malu. Dan ia bukannya nggak punya nomor Maria, melainkan rasa segan yang menyeruak begitu saja tanpa permisi. Belum apa-apa Abeen udah merasa insecure, merasa nggak pantes tiba-tiba nelpon atau nge-chat gadis itu walaupun sekadar nanya kabar.
Han sebagai sahabat yang baik tahu hal itu, buru-buru menenangkannya. Agak geli juga liat kelakuan sahabatnya sejak bangku SMA itu yang kebat-kebit sendiri. Terlihat kacau kalau jatuh cinta!
Ah, dasar pendek!
"Kenapa? Masih gegara masalah yang waktu itu? Kalian belum ngomong? Lo belum klarifikasi? Buset!" Han menganga.
"Emang gue siapanya dia, Han?" Sbeen terdengar putus asa.
"Gue kira lo udah ngomong sama Maria. Ahh, lo nggak gercep sih. Noh, liat! Ditikung kan lo?"
Abeen ikuti arah pandang Han. Abeen menatap gadis yang melewatinya begitu saja tanpa menyapanya seperti biasa. Dan perlu dicatat, Maria berjalan, bercanda dengan seorang Jae! Dan hal itu membuat hatinya mendadak panas. Cowok itu sejak dulu memang nggak pernah menyerah. Masih saja ngintilin Maria. Dan Abeen nggak mau tinggal diem.
"Ya! Maria!" panggil Abeen.
Langkah Maria terhenti. Perlahan membalik tubuhnya, dahinya mengernyit.
"Ya?"
Abeen menyeringai. Cuma Ya?
Abeen mendengkus kesal tapi ditahannya.
"Gue mau ambil jaket gue yang waktu itu," kata Abeen, datar dan berdeham setelahnya.
Maria menatapnya,"Oh. Ada di rumah. Nanti gue titipin ke Marvel."
Sudah. Maria kembali berbalik dan menggandeng Jae yang menoleh ke arah Abeen sambil mengedipkan sebelah matanya.
"Cis!"
"Lo sih, lagian siapa sih tuh cewek kemaren? Pacar lo? Bilang katanya lo suka sama Maria, eh nyatanya play boy juga lo. Dasar kadal," cebik Han.
"Apaan sih Han? Emang kapan gue bilang suka sama Maria? Kapan? Kedengaran doi bisa kacau!" dengkusnya.
"Nenek! Emang kenapa kalo dia denger? Bagus kan? Trus, sikap lo yang nggak sinkron kayak gini, apaan? Emang lo nggak bilang ke gue, tapi gue ngerti bahasa tubuh lo Been. Kita kenal lama kali," sungut Han kesal.
Abeen diam. Lalu,
"Dia Sari. Tetangga. Udah lama dia suka gue. Tapi lo tahu gue kan?"
"Iyeeee, makanya Marianya kejar sono! Jadi laki kok chiken amat!" Han mendorong-dorong Abeen.
"Gue kejar nih?"
Han berdecak sambil menggeleng,"Nggak usah, biar dia jadian sama si Jae aja. Ya kejar, dodol! Lengket amat sih otak lo!"
Abeen benar saja berlari mengejar Maria. Han geleng-geleng, nggak paham kebegoan sahabatnya yang satu itu.
"Ya! Maria! Tunggu!"
Saat Abeen berbelok menuju kelas Maria, didapatinya gadis itu melambai ke arah Jae.
Maria berbalik dan hendak masuk kelas. Tapi Abeen terlanjur menarik lengan gadis itu menjauh dari kelasnya. Maria mau nggak mau mengikutinya walau dengan perasaan dongkol.
Dan kini mereka sudah duduk di kantin. Untunglah kantin nggak terlalu ramai hari ini.
"Apaan deh?" Maria memainkan es jeruknya pake sedotan.
"Are you jelly?"
"Eoh? Jelly? Jelly Potter? Jelly Crush?"
Abeen menarik sudut bibirnya.
"Dia bukan siapa-siapa. Cuma tetangga yang kebetulan ada hati sama gue," ujar Abeen membuka jalan interaksi. Pede bener, seolah seluruh cewek di dunia suka sama makhluk bernama Abeen.
"Trus?"
"Dia cuma temen kecil gue. Nggak lebih. Dia meluk gue karena khawatir, nyokap juga khawatir gue nggak pulang semalem."
Abeen nunggu reaksi Maria sambil melipat-lipat tisu kayak origami jadi pesawat.
"Trus?"
"Ya, gue--"
"Maria! Lo nggak masuk kelas? Dih! Sejak kapan lo suka madhol?" ternyata temen sekelasannya yang nyamperin.
"Maria soalnya ada perlu sama gue. Yuk Ya," tangan Maria ditariknya.
"Eh? Es jeruk gue?"
"Ntar gue beliin lagi."
Abeen terus menggenggam tangan Maria sampai mereka naik angkot. Dia nggak suka ada gangguan di saat pengen ngomong serius dan butuh privasi.
"Lah, kita mau kemana?" tanya Maria.
"Ke tempat yang enak," bisik Abeen.
Maria mengernyit, heran saja sama jawaban cowok yang duduk di sebelahnya. Kedengarannya ambigu.
Namun, Abeen akhirnya tertawa kecil saat tahu raut Maria yang bingung.
"Kita ke cafe, udah ditunggu Marvel."
"Marvel? Bukannya dia lagi ketemuan sama Om Petra ya?"
"Tahu."
Kalo tahu kenapa ngajak ke cafe?
•
Ternyata Abeen mengajak ke rumahnya. Maria sempat merasa surprise. Gimana nggak, dia merasa pucuk dicinta kesempatan pun tiba.
"Sori ya, rumahnya berantakan. Maklum, ceweknya cuma satu. Nyokap gue doang," Abeen terkekeh.
Maria cuma senyum. Duduk di kursi seperti kursi makan gitu.
"Gue nggak punya sofa kayak di rumah lo. Ini merangkap ruang tamu sama ruang makan. Two in one gitu, biar nggak ribet."
Abeen bakal banyak omong kalo dia salting atau nervous. Dia melangkah ke dapur, membuat minuman ala kadarnya buat sang gadis yang baru pertama kali menginjakkan kaki di rumahnya.
"Assalamu'alaikum,"
"Wa'alaikumussalam," sahut Abeen dan Maria.
"Eh, ada tamu. Siapa Been?"
"Nyak, baru pulang?"
"Iye, nih anak ditanya balik nanya. Apa dah? Temennya Zabidin?" Nyak Romlah menatap gadis di depannya.
"I-iya, Bu. Saya Maria," Maria meraih tangan Nyak Romlah lalu salim.
"Temen kuliah, neng?"
"Iya Bu. Maaf, pertama kesini tapi nggak bawa apa-apa," ujar Maria.
"Nggak pa-pa. Sama Nyak mah santai. Panggil Nyak aja,"
Maria membalas senyum Nyak Romlah. Nyak Romlah mengambil makanan dari balik lemari dekat dapur.
"Ini, ada rengginang. Cobain deh, orang kaya mah pan makanannya burger, hot dog, kan ye?" cetus Nyak Romlah.
"Nyak bisa aja. Sama kok Nyak, sama-sama makan nasi. Sama-sama darahnya merah. Yang beda cuma nasib. Tapi kalo sebatas nasib kan bisa dirubah, asal ada kemauan buat maju dan berubah. Iya kan Nyak?" sahut Maria.
"Wah, Nyak demen nih yang kayak gini. Pinter neng. Jarang-jarang ada temennya si Abeen ke sini. Dia nggak mau bawa temennya kesini. Malu katanya," Nyak Romlah terkikik.
"Padahal apa yang di maluin ya Nyak? Dihadapan Tuhan kan semua sama. Kecuali kalo berbuat dosa,"
"Temen lo pinter ngambil hati Nyak, Been."
Abeen dan Maria cuma senyum-senyum. Setelah itu datang Fido sambil uluk salam. Lalu salim pada ketiganya.
"Kakak temennya Abang?"
Maria mengangguk,"Iya. Kamu Fido ya?"
"Iya Kak."
Abeen pernah cerita tentang adiknya itu sama Maria saat di perjalanan menuju base camp tempo hari.
"Bang, ini dari Mbak--"
"Iya, simpan aja di dapur."
Maria memandang Abeen sekilas. Mbak yang dimaksud Fido pasti cewek yang waktu itu meluk Abeen, begitu pikir Maria.
"Buat aku aja ya Bang? Lumayan, makan siang gratis." celoteh Fido.
"Hm,"
Nyak Romlah memandang keduanya. Beliau tersenyum. Karena merasa ada bias cemburu di mata gadis itu.
"Neng, rumahnya dimana?" tanya Nyak Romlah
"Emh, itu di komplek sebelah Nyak."
"Oh, di ntuh? Apa nggak kenapa-napa neng Maria main dimari?"
" Ya nggak dong Nyak. Kenapa-napa gimana maksudnya?"
"Nyak mah kebiasaan, temen Abeen diinterogasi aja semua. Maafin Nyak ya, Ya?"
"Nggak pa-pa Been,"
"Tuh, neng Maria aja nggak keberatan ditanya-tanya Been. Nyak tuh nggak mau nanti ada salah paham sama keluarganya neng Maria. Kayak waktu--"
"Nyaaakk..."
"Ck, iye, iye... Nyak tinggal dulu ye? Masih harus narik jemuran,"
"Oh iya Nyak,"
Maria masih senyum-senyum saat Nyak Romlah berlalu.
"Kenapa? Unyu ya nyokap gue?" tanya Abeen.
"Banget. Lo deket sama Nyak ya Been? Emang adek lo cuma Fido doang?"
"Ada, Dido. Tapi dia meninggal karena sempat step dan nggak ketolong."
"Oh maaf, lo cerita cuma soal Fido."
"Sori. Kalo nyeritain Dido,, gue suka nyesel, nyesek juga. Suka kebawa emosi. Jadi mending nggak pernah gue ungkit," katanya.
Maria coba pahami walau masih ada rasa penasaran. Soal Dido tepatnya. Karena rasanya Maria pernah dengar nama anak itu. Dido.
••
tbc