5. bermalam

1373 Words
•• Sudah dua jam lalu mereka sampai di base camp Three King. Han dan Marvel yang janji nyusul pun raib entah kemana. Ponsel Maria mati kehabisan batre. Sedang ponsel Abeen tertinggal di cafe. Akhirnya mereka nggak bisa berbuat apa-apa. Maria merasa aneh saja dengan keadaan sekitar base camp yang cukup creepy. Sepi. Seperti di pedalaman. Tadi saat dalam perjalanan Maria nggak terlalu merhatiin, pikirnya asal bisa lepas dan selamat dari kejaran genk motor itu. Namun sekarang dengan ngelihat pondok yang dibilang Han base camp ini hanya berupa sebuah pondok kecil dari bilik bambu, cukup bikin Maria was-was. Mirip rumah-rumah di pelosok. Tapi bukankah sekarang udah nggak jaman rumah dari bilik bambu? "Emang rumah kampung sih, namanya juga pinggiran. Orangnya butuh duit banget. Ya trus kita patungan deh beli rumah ini," ujar Abeen seolah menjawab segala tanya di benak cewek berambut sebahu itu. "Cukup terawat," komentar Maria saat mengitari dalaman pondok tersebut. "Ya karena kita sering kemari, minimal salah satu dari kita buat beres-beres tuh!" sahut Abeen. Ada dapur walau nggak komplit, satu kompor dan tabung gas kecil. Dan sebuah panci plus centongnya. Mungkin buat bikin mie kalo abang dan the Genk-nya kemari. Beberapa piring, cangkir dan sendok plastik tertata dekat kompor. Lalu ia menggeser ke ruangan sebelahnya, tanpa pintu, ada satu dipan di sana, lengkap dengan bantal guling dan selimut. Sudah. Cuma itu. "Kamar mandi?" tanya Maria sambil menengok ke arah Abeen. "Kamar mandi? Lo kebelet? Kamar mandinya di luar, lewat pintu dapur. Yuk," Maria mengekor di belakang cowok yang hampir sepantaran tingginya itu dengan dirinya. Paling cuma beda 5-7 centi. Tempat itu hanya diterangi bohlam 5 watt. Temaram. Dan kesannya lumayan membuat merinding. "Tuh di situ. Airnya gue liat dulu ya? Takut kosong. Kalo nggak ada airnya artinya gue mesti nimba," kata Abeen. "Hah? Nimba? Maksudnya?" dahinya mengernyit, karena Maria memang nggak paham. "Pake kerekan, neng! Orang kaya mana ngarti soal nimba sama kerekan." Abeen melengos lalu melongok ke lubang sumur yang ditutupi anyaman bambu. "Gue nimba dulu. Kebelet banget nggak?" tanyanya sambil menatap. "Ya, gitu." Abeen nahan rasa gelinya saat liat Maria merapatkan kedua pahanya. "Iya, paham gue." Lantas Abeen dengan cepat menimba air dari sumur pakai kerekan. "Kita belum sempet bikin bak, sementara pake ember aja ya? Nggak apa-apa?" Maria cuma ngangguk. Dia pun masuk ke bilik kamar mandi yang airnya sudah Abeen siapin. Abeen menungguinya di ambang pintu dapur sambil merokok. Di luar gelap, mungkin sudah merangkak ke pagi buta. Hanya suara-suara binatang malam yang terdengar. Seperti jangkrik dan kodok. Mereka saling bersahutan, layaknya irama yang dinamis. Kenangan Abeen melayang saat masih tinggal di kampung bersama neneknya. Abeen kecil dan teman-temannya sering bermain nangkep kodok sepulang dari surau belajar mengaji. Senyumnya menyungging saat ingatannya berkelana. Nggak sadar kalau Maria sudah keluar dari bilik kamar mandi dan tengah menatapnya. "Eh? Udah?" Abeen beranjak. Maria mengangguk. "Sok masuk duluan aja, gue juga pengen ke air," ujarnya. "Gue tungguin aja," "Kenapa? Takut?" Abeen tanpa nunggu jawaban langsung masuk bilik. "Kan tempatnya creepy banget, Been. Wajar lah gue takut," sahut Maria. Dari dalam bilik Abeen terkekeh. Cewek itu lucu. Wajah imut, kalo ngomong kayak preman tapi penakut. Nggak lama Abeen keluar. Dia juga membasuh wajahnya yang sepertinya sudah kucel. Lumayan, sekarang keliatan seger lagi. Rambutnya agak basah gitu. Abeen baru sadar kalo cewek itu dari tadi menatapnya lurus. "Yuk masuk, Ya." Abeen menarik lengan Maria. Maria menurut. Tiba-tiba perutnya bunyi. Maria nunduk malu. Abeen tersenyum, ikut menunduk, melihat wajah Maria. "Laper? Wah, mana udah jauh malem. Sekitaran sini nggak ada warung, Ya." Abeen kembali menegakkan tubuhnya. "Laper banget?" tanyanya. Maria mendongak, lalu meringis. "Nggak juga. Bisa nahan kok. Tadi keasikan ngobrol sama SJ, sama Wondo," celoteh Maria diiringi kekehan. "Tar, semoga masih ada stok mie." Abeen ngeloyor ke dapur, membuka laci di bawah meja kecil di sana. "Been, gue nggak pa-pa. Paling gue tiduran aja deh," lanjutnya ketika sadar Abeen belum kembali dari dapur. "Yaaah, abis Ya." Cowok itu kembali dengan wajah ditekuk, merasa bersalah. Maria tersenyum,"Nggak pa-pa, Been. Kan tadi gue udah bilang gue tidur aja." "Oh, iya. Bener tuh, tidur. Ya udah gih tidur dulu. Mudah-mudahan Abang lo bawa makanan," sahut Abeen. Sebenarnya bisa saja dia ninggalin Maria, tapi itu nggak gentle banget. Kalo ada apa-apa, gimana? Maria diajak pergi, takutnya di perjalanan ketemu anak-anak motor itu lagi. Namun dia pun nggak tega liat Maria kelaparan. "Sini, gue beresin dulu tempat tidurnya," Abeen mengambil sebuah sapu lidi khusus bersihin kasur. Setelah selesai, Abeen mempersilahkan Maria tidur. "Kalo ada apa-apa, gue ada di luar." "Loh? Di luar? Dingin kan Been?" Cowok itu nyengir,"Bukan di luar di teras, Ya. Itu, di kursi. Gue di situ aja." "Tidur sambil duduk? Emang bisa?" kernyit Maria. "Yaelah, bisalah. Emang kalo gue tidur bareng lo, abang lo nggak bakal sikat abis gue? Oh iya lupa, lo nggak pernah naik angkot sih. Kalo suka naik angkot pasti ngerti maksud gue," kikiknya. Maria memberengut. Abeen selalu begitu, maksudnya buat mengingatkan kalau dirinya dan Maria terhalang jurang yang bernama NASIB. Maria bernasib lebih baik darinya dari segi ekonomi. Sedang dirinya, harus pontang-panting demi kuliah dan kehidupan keluarga sehari-hari. Agar Abeen tahu diri, nggak mimpi ketinggian, kalo dia nggak sepadan dengan Maria. "Udah, gih tidur." Abeen duduk di kursi. Dua tangannya disilang di d**a. Kantuk mulai menyerang. Kepalanya mulai tertunduk lalu tengadah. Bibir Maria melengkungkan senyum. Tampak lucu baginya Abeen tertidur dalam posisi seperti itu. "Lucu. Malem, Been..." • Maria merasakan ada pergerakan. Dan terdengar samar suara orang mengobrol. Dia memicingkan matanya. Hah? Marvel? Di mobil? "Bang?!" "Eh, udah bangun lo? Kayak mayat aja lo tidur. Nggak gerak-gerak," cetus Marvel. Orang di sebelah Marvel terkekeh. Han. Nah, Abeen kemana? Cewek itu celingukan. "Apa, lo cari gue? Tenang, gue selamet, sehat wal'afiat." Maria bengong. Apa ini? Dari tadi kepala gue nyenderin Abeen? Whoaaa... Reflek ia narik kepalanya dari sandarannya. "Udah tidur lagi," Abeen menarik kembali kepala Maria agar nyandar ke bahunya lagi. "Modus lo, taik! Jijik gue," sela Han. "Yang depan nggak usah ngiri ya..." sahut Abeen seiring tawa kecilnya. Kekehan ketiganya terdengar. Hanya Maria yang terdiam. Karena bingung, malu dan canggung. "Abang lo udah beli banyak makanan tuh," Abeen menunjuk kantung plastik dengan dagunya yang runcing. Maria selalu teringat Fido Dido atau permen yang meletup-letup di mulut, kalau liat dagu Abeen. Dan berakhir dengan kekehan kecil. Dan satu lagi, Maria suka saat Abeen pake topi pearching. Entahlah, kesan dark dari dirinya itu muncul. Berbeda saat cowok itu tengah 'kemayu'. Apalagi berbalut rok selutut plus stocking jala. Maria rasanya akan berhenti bernapas! "Nih," Karena yang diajak ngobrol cuma bengong, Abeen berinisiatif mengambilkan roti dan s**u kotak rasa mocca. "Eoh? Oya, makasih." "Kenapa sih lo, Ya? Si Abeen ganteng ya?" goda Han, melirik ke belakang "Nggak pa-pa. Efek masih ngantuk," dustanya. "Ya udah tidur lagi. Eh, mending makan dulu deng. Semaleman perut lo bunyi mulu," kembali Abeen menyodorkan roti dan s**u kotak tadi. Terpaksa Maria menerimanya. Lagipula perutnya memang sudah keroncongan. Tamborin dalam perutnya sudah bunyi sejak dia membuka matanya. "Mama gimana, Bang?" tanya Maria baru teringat dan mulai dirambati rasa bersalah. "Nggak apa-apa, gue bilang kita ada kerjaan di cafe. Gue butuh lo buat bantu gue, gitu. Clear!" Untungnya hari Minggu. Jadi Maria nggak usah kebat-kebit mencari alasan ke Pak Dosen. "Trus, kita ini mau kemana? Cafe lagi?" "Iya," "Ih, dodol! Gue belum ganti baju, belum mandi tau! Puter balik gue mau pulang." elak Maria. Marvel terkekeh,"Dih! Lo tuh ya dek, ini juga kan lagi muter. Lewat jalan belakang, jalan kampung. Sekalian nganter Abeen." Oh, nganter Abeen ya? Hah! Nganterin Abeen? Sumpah? Gue jadi tahu kan rumahnya Abeen. Mobil berhenti di mulut salah satu gang. Lalu Abeen turun. "Thanks ya bro? Dianterin segala. Nanti sore gue nyusul," ucapnya. Belum Marvel dan Han menyahut, seorang cewek tiba-tiba berhambur meluk Abeen. Abeen yang mendapat pelukan dadakan gitu, hanya diam. Syok sepertinya. Tapi netranya melirik Maria yang saat itu juga terlihat kaget. Dan gadis itu melengos dengan juteknya. "Jalan Bang. Cepet!" suruh Maria ketus. "Yuk Been ... Have nice day ya?" Han mengedipkan sebelah matanya. Abeen cepat melepaskan pelukan Sari. Dia sungguh terkejut akan perlakuan aneh gadis itu. "Kamu ngapain, Sar?" tanyanya. "Jangan main peluk sembarangan, kita bisa kena fitnah nanti. Dan aku nggak mau," imbuhnya sambil melangkah meninggalkan Sari yang masih bengong. "Been..." Tapi Abeen sudah berlalu dan nggak peduli. •• tbc
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD