Chapter 06. Para Tamu Asing
"Hei, Pak. Duduklah,” ajak si anak laki-laki berambut ikal merah itu. “Kita akan makan malam yang enak. Kita punya koki hebat ini. Dia sedang memasak daging saos pedas. Wah, wanginya luar biasa ya!"
El tidak mengatakan apa-apa. Ia terdiam memandang awas pada mereka bertiga. Sementara si anak perempuan berambut pendek dan pria yang mengenakan celemek bunga-bunga milik Emily, keduanya terdiam sambil memandanginya.
"Terima kasih sudah menolong kami." Kata Pria asing berambut hitam pekat itu, suaranya sedikit bariton. “Namaku... Rom.” Ia menoleh pada anak perempuan di sebelahnya. “Dan ini Sasha.”
Gadis kecil yang berdiri di sebelah pria bernama Rom itu, bergerak menyembunyikan diri di balik tubuh tinggi Rom. Mata cokelatnya menatap El dengan sorot aneh.
“Dan namaku Ben,” ujar si anak laki-laki berambut ikal merah. “Kau ingat kan?”
Oh ya, El mengingatnya. Bocah ini memperkenalkan diri ketika baru saja memasuki rumah Emily, dan memaksanya untuk membantu operasi dadakan pada pria ini. Eh, tunggu, Rom sudah sesegar ini sebagai seseorang yang mendapat tusukan brutal di tubuhnya?
“Aku akan menjelaskan situasi yang membingungkan ini,” kata Ben, menyadari jika situasi terasa canggung. “Tapi setelah makan malam.”
"Oke." El menarik nafas. "Pastikan kalian tidak meracuni makanan." ia tidak mampu berpikir lebih jauh lagi. Aroma masakan membuatnya semakin lapar.
***
Mereka makan dalam diam, dan terasa aneh karena mereka tampak seperti keluarga besar sedang duduk makan bersama. El mengakui jika masakan pria ini kelewat enak, ia bahkan belum menemukan restoran dengan makanan seenak ini. Dagingnya empuk sempurna dan bumbunya meresap dengan baik, saosnya pun pedas dengan tingkat yang wajar.
El makan seperti orang yang tidak makan berhari-hari. Ia mengabaikan pelototan si anak perempuan yang duduk tepat dihadapannya. Dia selesai makan lebih dulu, mengakhirinya dengan meneguk air putihnya.
El segera berdiri yang mengundang setiap pasang mata terarah padanya.
“Aku sudah selesai,” kata El. “Kutunggu di ruang tengah untuk penjelasan kalian.”
***
El duduk di sofa dengan perasaan tidak sabar, dengan Emily yang duduk di sebelahnya sambil mengenggam tangannya, mencoba menenangkan.
Sudah setengah jam mereka duduk di ruang tengah, tapi Ben, bocah berambut ikal merah itu masih berkutat di depan laptopnya. Sementara Rom dan Sasha fokus menonton TV dengan wajah tanpa ekspresi yang sama persis.
Ia menoleh pada Emily, menunjukkan ekpresinya yang tidak sabar dengan rahangnya yang terasa mengeras.
"Jadi..." El membuka suara, nyaring dan terdengar membentak. "Apa yang akan kita lakukan di sini?"
Rom dan Sasha menoleh ke arahnya, seolah baru menyadari keberadaan mereka saat ini.
Ben melirik, tersenyum kecil sambil menutup pelan laptopnya. "Sori, aku nyaris lupa. Aku punya tugas soalnya, dan aku keasikan mengerjakannya."
El melongo. Jawaban bocah itu seolah meremehkan situasi mereka saat ini.
Bagaimana dengan orang yang terbunuh itu? Siapa mereka bertiga ini? Dari mana asal mereka? Dan masih banyak lagi pertanyaan di dalam kepala El.
"Sebelum aku menjawab semua pertanyaanmu," Ben tiba-tiba berkata, seolah membaca pikiran El. "Putuskan apakah Emily boleh berada di sini untuk mengetahui situasimu."
El membeku. Ben benar, ia lupa mengenai hal itu. Tunggu dulu, bocah ini tahu seberapa jauh mengenai situasinya?
"Emily," panggil El dengan suara kering. "Bisakah kau tinggalkan kami sebentar?"
Emily melotot pada El. "Aku tidak mengerti kenapa aku harus pergi." ujarnya. "Aku harus tahu apa yang sedang terjadi. Bukankah kalian berada di tempat tinggalku? Dan aku sudah mengikuti semua instruksi bocah itu untuk menolongmu. Sayangnya aku tidak tahu apa yang sebenarnya yang terjadi. Dan aku sudah menunggu saat-saat ini."
"Emily, kau tidak mengerti. Situasi ini berbahaya bagimu." El nyaris memohon. Ia tidak pernah membayangkan Emily akan mengetahui hal abnormal yang sudah ia rahasiakan selama ini.
"Coba katakan saja, biar aku yang menentukan apakah aku sanggup menerimanya atau tidak." Ujar Emily tegas.
El tidak mampu berkata-kata dengan Emily yang melotot padanya. Ia lupa jika wanita ini tegas dan keras kepala. Ia tidak tahu harus bagaimana untuk membuat Emily pergi.
"Nah, menurutku, dia perlu tahu situasimu. Dan kau juga perlu seseorang seperti wanita ini untuk melindungimu." kata Ben.
"Melindungiku?" ulang El. Bagaimana bisa Emily melindunginya? Ia malah membuat Emily dalam masalah!
Ben mengangkat bahu tidak peduli. "Terserah, aku hanya mengajukan pendapatku."
El menoleh ketika merasakan genggaman Emily.
"El, apakah kau tidak mempercayaiku?" tanya Emily sambil menatap El dengan tatapan tajamnya.
El mengerjap. "Emily, bukan begitu..."
"Sudah berapa lama kita saling kenal? Bukankah kita selalu saling terbuka? Apakah Green tahu tentang rahasiamu?"
"Tidak... Tidak, Green mana tahu tentang hal ini."
"Lalu kenapa kau takut memberitahuku?"
"Takut? Em, aku tidak takut... Hanya saja..."
"Hanya saja...?" Emily menunggu.
"Hanya saja setelah kau tahu hal ini, kau pasti akan pergi dariku, dan kau pasti menggangapku... Seperti... Monster."
Hening.
El menundukkan kepala, tak mampu membalas pandangan Emily. Dia mencintai Emily, tapi ia tidak sanggup mengungkap rahasia besar dalam hidupnya. Dia sudah sampai sejauh ini. Hidup normal hingga saat ini tanpa sesuatu pun mengganggunya. Dia tidak ingin ada yang mengusik kehidupan normalnya. Ia tidak ingin Emily meninggalkannya.
"Tapi aku tahu kau bukan monster."
Kata-kata Emily membuat El mengangkat wajah. Wanita itu tiba-tiba memeluknya.
"Aku tidak akan pergi meninggalkanmu."
Erat, gadis itu memeluknya.
"Oke, kuharap jawabannya adalah ya. Jadi aku akan memulai." Ben yang kini terdengar tidak sabar.
"Tu... tunggu dulu!" seru El kaget. Namun Emily mengeratkan genggamannya pada tangan El, memandang El dengan sorotan yakin yang membuat El tidak bisa menolak.
"Ber... Berjanjilah untuk tidak meninggalkanku." bisik El akhirnya pada Emily. Emily tersenyum kemudian mengangguk.
"Ya, aku berjanji." jawab Emily dengan tegas.
Mereka berdua menoleh pada Ben yang menunggu, sama-sama menganggukan dagu sebagai tanda agar dia bisa memulai.
Ben memutar bola matanya. Tampak jengkel dengan romansa yang ia lihat.
"Jadi aku akan mulai dari..." Bocah rambut ikal merah itu berdiri. "Kalian berdua, Pak." tunjuknya pada El dan Rom. "Kalian berdua adalah jenis yang berbeda di dunia kalian."
Hening sesaat, dengan semua pasang mata memandang Ben.
El tahu jika ia berbeda. Dan ia sudah menguburkan rasa ingin tahunya mengenai dirinya sendiri. Dia ingin hidup normal. Biasa-biasa saja. Menyembunyikan kemampuan abnormalnya. Jadi... apakah ia perlu mendengarkan semua hal ini?
Tapi ia tidak melihat adanya opsi untuk mundur. Ia seolah dipaksa untuk mendengarkan.
Ia menoleh pada pria, yang sudah ia kenali sebagai buronan polisi satu bulan ini, pria yang bernama Arom Eden. Setelah sekian lama, akhirnya ia bertemu dengan orang yang memiliki kemampuan yang berbeda seperti dirinya.
Apakah ia perlu senang setelah mengetahui hal ini?
---*---