Chapter 05. Kelimpungan
El terbangun dan merasakan seluruh tubuhnya ngilu. Nafasnya terasa tercekat. Kepalanya pening dan pandangannya bergoyang ketika ia membuka mata. Silau.
"Hei, kau sudah bangun?"
El tersentak. Ia mencoba membuka matanya, walau dengan pandangan bergoyang, ia melihat Green menarik kursi ke sebelah ranjangnya. Pria tua itu memberikan senyuman simpati.
"Emily memberitahuku kau tak sengaja makan-makanan yang membuatmu alergi. Selama bertahun-tahun aku tidak pernah tahu soal penyakitmu ini." Green setengah tertawa.
"Ap... Apa?" El berusaha memahami kata-kata Green.
"Tenang saja, kau sudah mendapat cutimu. Kau juga tidak perlu khawatir dengan rumah Pak Alkin. Meski Emily sudah memberitahuku kau tidak menemukan apa-apa di sana, tapi aku tetap ingin mendengar langsung darimu."
"Emily? Apa yang dia katakan?" tanya El segera.
"Hmm, kau pulang sambil mengomel tentang kerjaan yang menyebalkan. Kau yakin tidak menemukan apa pun di rumah Pak Alkin?"
El terdiam. "Memangnya apa yang terjadi?" ia berusaha bersikap normal. Jantungnya semakin berpacu. Ia mengira Green sudah akan memborgolnya sekarang.
"Ada mayat yang terbakar di dalam rumah itu."
"Ap... Apa?"
“Berdasarkan CCTV, kebakaran terjadi setengah jam setelah kau pergi dari rumah itu. Kau yakin tidak melihat apa pun yang aneh di sana?"
"Entahlah." kata El. "Menurutmu bagaimana aku bisa masuk ke dalam sana untuk memeriksa?"
"Hmm, Kau benar."
"Dan gelap. Semuanya gelap."
"Ya, Nak. Terima kasih sudah menjawabku. Sekarang aku harus pergi. Manfaatkan waktu istirahatmu sebelum kembali bekerja."
"Oke, terima kasih."
"Jadi kau alergi keju, hah?"
"Ya," El tidak berbohong. Dia benar-benar alergi pada keju.
"Emily histeris sekali karena dia lupa memberitahumu jika dia sedang berkreasi memasak dengan bahan keju. Aku mengerti kenapa kau selalu mengeluh tentang usaha memasaknya." Green tertawa kecil. "Oke sampai ketemu nanti."
"Terima kasih sudah menjengukku."
Dan Green pamit pergi.
El kembali berbaring. Ia menghela nafas, memejamkan mata kembali. Semua hal itu adalah mimpi, pikirnya. Tidak mungkin ia melakukan hal aneh, mengendalikan air. Konyol sekali.
El memutuskan bangkit dari ranjang setelah merasakan kondisinya membaik. Ia perlahan melangkah mendekati pintu. Ia bisa mendengar kegaduhan suara TV di bawahnya ketika ia keluar dari kamar. Ia segera menuruni tangga, mendekati sumber suara di ruang tengah.
TV menyala dengan bisingnya, seseorang sedang memainkan game. Tapi Emily tidak suka bermain game. El berdiri di ambang pintu ruang tengah, melihat seorang bocah laki-laki asing berambut merah sedang memainkan video game. Dan di sebelah bocah laki-laki itu, duduk seorang anak perempuan berambut pendek di atas bahu.
El mengerjapkan matanya dengan gugup. Kedua bocah itu benar-benar mirip dengan yang ada dalam mimpinya.
Kemudian ia membulatkan matanya setelah tersadar. Itu semua bukan mimpi. Ia memegangi kepalanya yang berdenyut sakit. Ia sama sekali tidak bermimpi. Ia telah membunuh orang!
"El?" Emily tiba-tiba muncul. Wanita itu segera melempar sembarang kantong belanjaannya, kemudian menghampiri El yang bersandar di sisi pintu dengan tubuh gemetar. Wanita itu mengajak El untuk duduk di kursi.
"Apakah kau sudah baikan? Aku sangat ingin bertanya situasi ini." ujar Emily.
El balas memandang Emily dengan bingung.
"Pria itu," Emily berbisik, tampak gugup. "Bukankah dia adalah buronan dari Idocrase?"
El membelalak. Buronan apa?
"Dan kedua anak itu, aku tidak tahu siapa mereka selain nama pendek mereka saja." Emily menarik nafas. "Dan demi menyelamatkanmu, aku menuruti ide bocah bernama Ben itu. Ia memaksaku untuk berbohong pada Green tentang kau sakit. Dan dia juga menggunakan komputerku. Entahlah, dia bilang untuk menyelamatkanmu. Lalu sebenarnya ada apa?"
El terhenyak di kursi. "Em." panggilnya lirih. "Aku telah membunuh orang."
Ekspresi wajah Emily berubah kaget. "Ap... Apa?"
"Aku telah membunuh seseorang." El menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangannya. "Dia mati begitu saja."
"Oh astaga, El." Emily segera memeluk El. "Kau pasti tidak sengaja! Kau mungkin sedang mencoba melindungi mereka di sana!"
"Lalu kenapa aku melindungi seorang buronan, Em? Mungkin saja orang yang terbunuh itu adalah polisi."
"Jangan konyol." seseorang muncul menyela.
El dan Emily menoleh kaget.
Anak laki-laki berambut ikal merah itu telah mengalihkan perhatiannya kepada El dan Emily. Pasang mata biru hijaunya memandang tajam.
"Orang itu adalah Eye tracker." kata bocah itu.
"Eye tracker?" ulang Emily tidak mengerti. Tidak hanya Emily, El juga baru pertama kali mendengar sebutan itu.
"Aku akan menjelaskan semuanya tapi setelah kita semua berkumpul." Anak laki-laki itu memalingkan wajahnya, kembali fokus pada game-nya.
"Em, kita harus segera lapor polisi." bisik El.
"Kau yakin? Dia baru saja menyelamatkanmu dari Green, El. Apakah sebaiknya kita tunggu penjelasannya?"
"Tapi, Em...” El berusaha menjelaskan.
"El. Kau harus beristirahat. Ben memberitahuku kau sedang dalam depresi berat. Kau butuh waktu untuk kembali pulih."
Dan Emily benar. El merasa ada yang aneh dengan tubuh dan otaknya. Ia masih merasa lemah, perasaan bersalah menyelimutinya, kekuatan yang ada dalam dirinya membuatnya ngeri. Ia ingin memberitahu Emily. Tapi bagaimana jika Emily meninggalkannya setelah mengetahui tentang kekuatan mengerikan yang ada dalam dirinya? Dia tidak ingin Emily pergi darinya. Dia sangat mencintai Emily dari apa pun.
"Ayo, kuantar kembali ke kamar. Aku akan membawa sarapan dan obat untukmu."
El hanya bisa menurut.
***
El terbagun oleh aroma rempahan daging yang wanginya menusuk hidungnya. Perutnya bergemuruh lapar. Ia bangkit dan merasa kepalanya tak seberat sebelumnya. Semuanya terasa lebih ringan.
Ia mengawasi sekitarnya, ia masih terbaring di atas ranjang Emily. Di kamar Emily.
Ia menoleh ke jendela. Tidak ada sinar matahari yang masuk, tanda hari telah gelap. Hal ini menjelaskan jika dia kelaparan karena ia telah melewatkan jam makan siang. Ia merasa segar namun kelaparan.
Ia segera bangkit, lalu melangkah keluar kamar, menuju sumber aroma yang membuatnya kelaparan. Dapur.
Rumah Emily yang biasanya tenang, dan kadang-kadang hanya terdengar musik klasik di setiap sudut, hari ini terasa gaduh.
Semua orang berkumpul di dapur.
Emily sedang merapikan meja dibantu oleh Bocah perempuan berambut pendek, dan bocah laki-laki satunya malah duduk santai di atas kursi meja makan, memainkan gadget di genggamnya. Ada pria lainnya, seseorang bertubuh tinggi yang berdiri di depan kompor, mengenakan celemek bunga-bunga milik Emily.
El menyadari jika wajah pria satu ini tidak asing. Ia pernah melihatnya di suatu tempat.
"Apa kau butuh bantuan?" Emily segera menghampiri pria itu. Pria itu menggeleng. "Tapi aku perlu membantumu, kau tahu..."
"Oh hei, Pak Polisi." Akhirnya keberadaan El terekspos. Anak laki-laki itu yang pertama kali menemukan keberadaan El. Segera saja, semua pasang mata menoleh padanya.
“El, kau sudah merasa lebih baik?” Emily segera mendekati El.
“Emily, ada apa ini?” tanya El tidak mengerti.
“Eum... kita akan makan malam, El,” jawab Emily dengan polosnya.
“Em, kau serius? Dengan orang-orang ini?”
---*---