Chapter 04. Kebakaran
Pistol terlepas dari tangan El Shan, dan ia berhasil menghindar sebelum gulungan air yang bagaikan cambuk mencoba menghantamnya.
Apa-apaan...?!
El tidak bisa melihat dengan jelas siapa pria bermantel cokelat itu karena kondisi rumah yang minim penerangan. Dan rumah ini kacau. Banjir dan berantakan. Pak Alkin tentu tidak akan menyangka rumahnya akan mendapat malapetaka seperti ini. Apakah ini perampokan?
Namun yang lebih penting... Bagaimana bisa pria itu mengendalikan air?!
El sudah tidak bersenjata. Sejak tadi ia hanya mencoba menghindar dari serangan-serangan yang mencoba melukainya. El masih berusaha berpikir, apakah ia pergi saja keluar dari rumah untuk pergi ke mobilnya dan melapor, namun jika ia keluar, Yang ia tahu ada yang terluka dan ada dua anak-anak di dalam rumah ini.
El lengah dan ia merasa perih mendapati cambukan air di punggungnya. Ini tidak main-main, sama sekali bukan mimpi science fiction. Orang ini benar-benar dapat mengendalikan air dan menjadikannya senjata. Mengerikan. Sangat mengerikan. Dia pasti sedang bermimpi buruk.
Dan cambukan datang tepat di depannya. Ia segera menghalangi wajah dengan lengan, seketika air itu pecah melewatinya tanpa melukainya sama sekali.
"Apa yang...?" orang itu terdengar terkejut.
Namun El sudah dapat mempelajari dengan baik. Mungkin dia tidak sehebat orang di depannya ini, namun mereka berdua adalah jenis yang sama.
Mungkin hanya perlu sedikit berimajinasi. Pikir El, dan ia benar-benar lelah jika harus menghindar terus-menerus. Bagaimana jika ia meniru apa yang dilakukan orang ini?
"Jangan lengah, Pak," peringatnya, dan ia mencoba fokus. Ia mencoba berimajinasi, mendorong dirinya untuk memanggil bulir-bulir air agar menuruti keinginannya. Ujung jarinya menyentuh air yang tiba-tiba bergulung naik, membentuk benda yang sesuai dengan imajinasinya.
Seketika El terkejut dan terkagum-kagum melihat gumpalan air yang mengambang di udara telah membentuk sebuah pedang yang sangat mirip dengan senjata dalam game favoritnya.
"Tidak mungkin!" seru orang itu yang melihat pedang air buatan El.
Sayang sekali orang itu tidak tahu jika El terkenal dengan sebutan fast learner di kepolisian.
Ia segera mengambil pegangan pedang air buatannya, terasa dingin dan basah, namun terasa padat. Ia bisa merasakan jika air dalam bentuk pedang terus-menerus bergerak dengan cepat.
Melihat si orang asing kembali mencoba menyerangnya, ia bergerak lebih dulu, dengan melemparkan pedangnya tepat ke tubuh si orang asing.
Pedang air buatan El menembus tubuh pria itu dan pecah ketika menghantam lantai, kembali menjadi cairan yang tidak padat. Dan pria asing itu jatuh ke lantai.
El berkedip kaget. Dan ia mendadak merasakan tubuhnya limbung, jatuh pula. Serasa darahnya terperas habis. Mengingatkannya ketika ia nyaris kehabisan energi menghadang medan latihan di kepolisian yang berat.
Anehnya, pria itu sudah tidak bergerak lagi. Tetap diam terbaring di lantai yang banjir. Penerangan hanya berasal dari sinar bulan yang menembus jendela. Ada cairan gelap menggenang di sekitar tubuh orang itu.
El menegang. Ia berusaha bangkit meski terseok. Ia tidak mengerti apa yang barusan ia lakukan. Beberapa waktu yang lalu dia merasa bersemangat. Ada orang yang sama dengannya di dunia ini. Dan dalam hitungan menit ia mempelajari cara orang itu mengendalikan kekuatannya.
Ia mendekat dengan hati-hati. Orang itu membeku di lantai. Dan El melihat bagaimana wajah orang itu yang membeku dengan mata membelalak dan mulut terbuka, menunjukkan keterkejutan yang sangat dan menyakitkan. Terdapat bercak serta robekan di pakaiannya yang tebal berlapis, seolah ada benda tajam yang besar telah menusuk tubuhnya dengan brutal.
El tergagap. Ia tidak menyangka hal ini akan terjadi separah ini. Ia mendadak merasa pusing dan mual. Ia ketakutan. Tubuh dan tangannya bergetar.
"Pak," seseorang memanggilnya namun ia tidak mendengar.
Anak laki-laki yang berada di sebelahnya segera mengecek pergelangan tangan dari tubuh pria itu yang sudah tidak bergerak. Sebuah jam tangan di salah satu pergelangan tangan mayat pria itu berkedip menampilkan warna merah. Ada hitungan waktu di layar jam tangannya, dan anak laki-laki itu terlihat kaget.
"Pak! Kita harus segera pergi!"
El masih kelimpungan. Ia mendadak bodoh karena tidak bisa memahami kata-kata dari anak laki-laki di depannya ini.
"Pak! Sadarlah!" anak laki-laki itu mengguncang bahunya. "Dengar kata-kataku! Dia akan meledak!”
"Ap... Apa?" El berusaha merespon.
"Bangunlah, Pak! Kita harus segera pergi! Mayat itu akan meledak sebentar lagi!"
"Meledak?" El tergagap kebingungan.
"Bantu aku! Kita harus menyelamatkan yang lain."
***
Rumah itu meledak dalam kegelapan malam, hanya beberapa detik setelah El menjalankan mobilnya. Ia nyaris melewati batas jalanan dan menabrak pohon ketika mendengar dentuman keras di belakang mobil.
Anak laki-laki itu benar. Mungkin dia sudah terpanggang dalam api kalau saja dia tidak mendengar perintah si anak laki-laki. Ia melajukan mobil, mengabaikan tangannya yang gemetar. Ia berkeringat banyak tanpa sebab.
"Ke.. Kemana kita?" akhirnya ia bertanya dengan suara parau setelah cukup lama melewati berbagai belokan jalan, menuju jalan besar.
Anak laki-laki itu duduk di sebelahnya, sedikit menunduk seolah memastikan CCTV jalan raya tidak akan menangkap sosoknya. Sementara di kursi belakang, seorang gadis kecil juga duduk dengan posisi sedikit menunduk, di sebelahnya terbaring seorang pria yang terluka. Darah dengan jelas membasahi pakaian pria itu. El bisa mendengar suara nafas pria itu yang begitu pelan.
"A... Aku akan ke rumah sakit." katanya.
"Jangan." ujar anak laki-laki itu. "Kita akan tertangkap jika ke rumah sakit."
"Apa maksudmu?" El tidak mengerti. "Pria itu akan mati jika tidak segera diobati!" ia merasa kaget dengan seruannya sendiri. Bagaimana pun dia sudah melihat kematian seseorang. Tidak untuk kedua kalinya.
"Antar kami ke tempat yang aman. Kita bisa menyelamatkannya, tenang saja." anak laki-laki itu menatap El dengan warna mata biru hijaunya. Dan El merasa tak mampu menolak, atau dia terlalu lelah untuk bernegosiasi.
Tempat aman? Dimana? Anak laki-laki ini sudah gila! Ia benar-benar sulit berpikir jernih saat ini.
Ponselnya bergetar. Suara panggilan masuk. Wajah kekasihnya muncul di layar. Dan ia segera melajukan mobil dengan lebih cepat.
***
El merasa bersalah dan bodoh secara bersamaan. Namun ia tidak punya pilihan lain. Ia mencoba membuka suara, memberi tahu Emily tentang keadaannya. Namun suaranya tercekat, bibirnya seperti membeku.
"Ada apa ini?" Emily membuka pintu dan El membeku di depannya, dengan seorang pria di punggungnya yang nyaris mati.
"Ya ampun, apa dia terluka? Masuklah!" Emily tidak bertanya lebih banyak, mengajak El masuk bersama bocah-bocah asing di belakang.
"Kita butuh meja luas." ujar si anak laki-laki. "Oh, meja makan!" serunya segera. "Di mana meja makanmu?"
"Di... Di sana." Emily segera mengantar mereka memasuki dapur.
"Baringkan dia di sini." perintah si bocah.
El menurut dengan patuh. Dengan hati-hati ia membaringkan pria di punggungnya ke meja.
"Oke, siapa namamu?" tanya bocah itu pada Emily.
"Emily...?" jawab Emily setengah bingung.
"Dan namaku Ben. Halo. Aku minta tolong untuk membawa cewek itu keluar dari sini." perintah bocah bernama Ben itu sambil menunjuk Sasha yang ketakutan di belakang mereka.
Emily masih kebingungan, ia bertemu tatap dengan El, dan El memberikan anggukan kepadanya.
"Oke," Emily segera mundur. "Ayo, Nak." ia mencoba mengajak bocah perempuan yang wajahnya sepucat orang mati itu untuk keluar. Sesaat bocah perempuan itu tidak mau pergi. Namun Emily berhasil menariknya pergi.
El berdiri di ruang makan itu seperti orang bodoh, mengawasi Ben yang bergerak mengeluarkan koper kecil dari dalam tas ranselnya. Bocah laki-laki itu membuka koper kecil itu yang ternyata isinya adalah seperangkat alat medis. Ben mengambil gunting kemudian menggunting pakaian Rom.
"O...kay... Hanya perlu beberapa jahitan." ujar Ben, memandang luka-luka sayatan pada tubuh Rom. Ia menoleh pada El yang masih mematung di tempatnya. "Nah, bantu aku menjahit lukanya ya!”
***
El baru saja mencuci tangannya yang masih gemetar. Ia telah berhasil membantu Ben menjahit setiap luka di tubuh pria asing itu. Ia memandang wajahnya yang pucat berkeringat di cermin. Dan ingatannya muncul kembali. Ia ingat bagaimana pria bermantel itu ambruk ke lantai yang banjir, kemudian darah mengalir di sekitar tubuhnya.
Aku telah membunuh orang.
Dia tersentak kaget ketika pintu kamar mandi membuka. Emily berdiri di ambang pintu, memandangnya dengan khawatir. El menarik nafas, gemetaran. Ia tidak mengerti mengapa ia begitu mudah terkejut.
"Kau baik-baik saja?" tanya Emily.
El mengangguk. "Ya," jawabannya terdengar ragu.
"Green baru saja menelepon. Dia mencarimu. Ada kejadian di pinggir kota. Katanya sebuah rumah telah terbakar."
Jantung El berdenyut menyakitkan. Dia tidak yakin akan pergi ke sana. Mereka pasti akan menemukan mayat itu. Dan dia adalah tersangka utama. Dia seorang pembunuh.
"Aku..." El mendadak berpegangan pada dinding.
"El, kau baik-baik saja?" suara Emily terdengar sayup-sayup menjauh. Pandangan El buram. Dan ia seperti ditarik ke dalam kegelapan.
---*---