Chapter 03. El Shan

1066 Words
Chapter 03. El Shan   El Shan baru saja membungkam satu penjahat yang nyaris berhasil kabur. Ia menjatuhkan pria itu ke permukaan aspal, mengunci kedua tangan pria itu ke balik punggung, menekan tubuh pria itu keras ke bawah dengan sebagian berat tubuhnya. Ia mengabaikan bagaimana si penjahat merintih kesakitan. "Oke, oke, El. Bagus sekali." rekannya segera mengamankan pria itu. El berdiri tegap, menghembuskan nafas, cukup puas dengan hasil kerja malam ini bersama rekannya. Setidaknya mereka sudah menangkap pelaku pembuat onar malam hari yang meresahkan warga sekitar. "Green, kau tidak mau minum sesuatu dulu. Ini akhir pekan." ujarnya tiba-tiba setelah mereka berdua mengantar si pelaku ke kantor polisi. Ia menyengir lebar pada tatapan sengit dari rekannya yang menua tersebut. "Ayolah, Green, Kita perlu menghibur diri."   ***   El Shan berambut pirang, bermata biru laut, rahang yang kokoh dan tajam. Sementara teman minumnya malam ini adalah Green, pria tua yang nyaris pensiun, satu-satunya orang yang paling dekat dengan El di kepolisian. Green memang sudah tua dan terlihat lamban, namun dulunya pria itu adalah anggota kepolisian terbaik di jamannya. Mungkin satu-satunya polisi muda yang menghormati Green saat ini hanyalah El. "Siapa bilang kau ingin menghibur diri, El." geram Green, Menerima wine yang disodorkan oleh El kepadanya. Kini mereka berdua duduk-duduk santai dalam bar yang cukup lengang. "Aku rasa hanya aku satu-satunya yang perlu menghibur diri. Tinggal menunggu waktu sampai surat keputusan pemberhentianku sampai di rumahku." El cekikikan melihat Green yang menggerutu. "Ayolah, Green. Kau bahkan masih bisa menghajar penjahat meskipun sudah  berusia 70 tahun!" "Jangan menjadikanku candaan, Nak. Kau tahu jika aku membencimu, heh? Kau telah merebut semua tempatku." "Yah, aku memang pencuri ulung . Tapi kau bangga kan padaku? Hehe." El menyikut Green dengan menunjukkan cengiran lebar. "Terserah kau," Geram Green tidak peduli, meneguk wine-nya sampai habis. "Halo," sapa El pada salah satu penjaga bar yang ia kenal. Penjaga bar itu baru saja muncul untuk mengambil bagian jam kerjanya, wajahnya kelihatan gelisah. "Syukurlah kau di sini, El. Dan kau juga, Pak." ujar si Penjaga Bar pada mereka berdua, sebelumnya mengangguk hormat pada Green. "Kenapa kau, Phil?" tanya El heran. "Kau seperti baru saja melihat hantu." "Yah, kalian tahu Pak Alkin baru saja keluar kota?" si penjaga bar, Phil, memulai. "Dia meneleponku tadi siang dan mengeluhkan kunci rumahnya yang hilang. Lalu dia memintaku untuk mengecek rumahnya." "Dan...?" El menunggu pria itu melanjutkan. "Aku melihat ada orang yang memasuki rumahnya," bisik Phil dengan wajah serius. "Aku nyaris menelepon polisi. Kalian harus memeriksanya." "Sial, aku baru saja beristirahat!" keluh El. "Kenapa para pembuat onar sangat suka beraksi di akhir pekan sih?" "Dan aku perlu menghibur diri." cetus Green, menandakan dia tidak akan ikut untuk memeriksa rumah itu. "Jangan biarkan aku bekerja sendiri, Green. Argh, sialan!" rengeknya.   ***   El memberhentikan mobil tak jauh dari rumah Pak Alkin. Tidak ada yang aneh dari yang ia lihat sejauh ini. Rumah itu gelap tampak tak berpenghuni. Tapi bisa saja Phil benar-benar melihat seseorang memasuki rumah itu. Pak Alkin memang adalah salah satu orang kaya di area perumahan ini. Para Perampok pasti sudah mencium tanda-tanda kepergian Pak Alkin. Rumah Pak Alkin berada paling ujung di area perumahan Blok C, dimana area itu jauh dari rumah lainnya sehingga tidak memiliki tetangga, dan ini bisa menjadi penyebab rumah Pak Alkin cocok untuk menjadi sasaran empuk para perampok. El memeriksa peluru pistolnya sebelum mengaitkannya di ikat pinggangnya. Dia tidak jadi beranjak ketika muncul pesan masuk di ponselnya. Ia tersenyum membaca pesan itu. Pengirimnya adalah kekasihnya,  Emily. Ia segera membalas pesan itu jika ia akan ke rumah wanita itu malam ini. Tapi, tentu saja setelah mengurus hal ini. Dan terdengar sesuatu dari dalam rumah Mr. Alkin. Suara perkelahian.   ***  Rom bergegas memasuki rumah. Ia melempar sembarang plastik   belanjaannya, menyusuri lorong rumah yang gelap. Semua lampu telah dimatikan. Padahal sebelumnya ia membiarkan beberapa lampu tetap menyala. Ia tidak menemukan Sasha dimana pun. Dan ia mengandalkan kemampuannya. Iris mata hitamnya perlahan berubah memerah, ia mendeteksi panas di sekitarnya. Akhirnya ia menemukan keberadaan Sasha, meringkuk di bawah tangga. Ia bergegas mendekati keberadaan Sasha. Sasha gemetaran di sana, ia tampak terkejut ketika melihat kehadiran Rom. "Tidak apa-apa." Rom menjulurkan tangannya pada Sasha. "Aku sudah di sini." Namun Sasha menggelengkan kepala. Dia berbisik pelan. "O... Orang itu.... Di sini." Dan Rom nyaris tidak punya waktu untuk menyadari apa yang terjadi pada dirinya. Tiba-tiba saja ia sudah tidak menginjakkan kaki di lantai, dan tubuhnya terhempas menghantam dinding di belakangnya. Dia terbaring dalam genangan air. Basah kuyup. Ia mencoba fokus, mencari penyebab serangan tersebut. Namun terlalu banyak air sehingga kemampuannya nyaris tidak berguna. Ia segera bangkit berdiri, mengabaikan rasa nyeri di tulang punggungnya. Terdengar suara detak sepatu melangkah di atas genangan air. Sayangnya sebelum ia awas, lagi-lagi air bergulung naik ke udara, membentuk benda yang dapat mengikat tubuhnya, bagaikan tali, mengangkatnya ke udara dan menghantamkan tubuhnya ke dinding kiri dan kanan, lalu menghempaskannya kembali ke lantai. "Wow." orang itu berdesis. "Dua orang, aku beruntung dari yang kukira." Rom kewalahan, serangan mendadak itu menyakiti tubuhnya. Ia berusaha bangkit, dan pandangannya berhenti pada Sasha yang masih bersembunyi di bawah tangga, balas memandangnya dengan ekspresi ketakutan. Ia harus melakukan sesuatu. Ia mencoba menjentikkan jarinya, namun api yang muncul hanya bertahan beberapa detik. Ia mencoba beberapa kali, berusaha membuat api seperti yang sering ia lakukan. Orang itu mengawasinya kemudian tertawa. "Apa yang kau lakukan?" orang itu mengejek. "Kau tak akan bisa membuat seinci api pun dalam lautan airku." Dan orang itu benar. Rom tak menyangka akan sangat sulit membuat api dengan tubuhnya yang basah. Orang ini telah menyalakan setiap kran dan membuat rumah menjadi banjir. "Oke, saatnya penyelesaian," Orang itu menjentikkan jari, mengangkat tetesan air ke udara, mengumpulkannya, kemudian membentuknya seperti sedang memainkan plastisin. Air itu membentuk benda-benda runcing berkilauan, seperti pisau-pisau yang melayang di udara, dan sebelum Rom sempat bergerak menghindar, Sekelompok pisau air itu telah menembus tubuhnya. Rom jatuh untuk ke sekian kalinya ke lantai yang banjir. Ia mengerjapkan mata memandang langit-langit yang gelap di atasnya. Ia tidak mempercayai jika air dapat membuatnya kesakitan. Bahkan melukainya. "Ya ampun... Lemah sekali dari yang kubayangkan. Mereka menakut-nakutiku soal ini, ternyata tak seberapa. Hanya bocah ingusan lemah," orang itu terkikik mengejek. Namun langkah orang itu terhenti sebelum mencapai posisi Rom. Suara tembakan. Seseorang segera menarik tubuh Rom untuk bersembunyi. Sementara suara tembakan, hantaman air dan geraman terdengar bersahutan di pendengaran Rom yang sudah mulai menuli. "Pak, jangan bergerak." suara anak laki-laki. Oh ya, ia lupa jika ia datang bersama seorang anak laki-laki bernama Ben. "Rom!" Rom mendengar suara Sasha. "Kita harus menahan lukanya." kata Ben. "Dia bisa kehabisan darah. Dan tubuhnya harus segera kering. Aku akan mencoba membebat lukanya, kau keringkan tubuhnya." Rom mendengar anak laki-laki itu memerintahkan Sasha. Namun ia sudah tak mampu menahan kesadarannya. Ia seperti tenggelam ke dalam kegelapan.   ---*---
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD