Bag. 6

1192 Words
Angga berlari menuruni tangga. Lelaki itu melirik jam tangannya sebelum akhirnya bernapas lega. Setelah mendapat telepon dari Papanya untuk segera turun dan pulang, Angga bergegas keluar dari restoran. Lelaki yang sibuk membawa laptop dan berkas-berkas di tangannya itu berdecak kala sang papa tak terlihat. Pastinya pria itu sudah pergi duluan. Melambaikan tangan pada sopir yang ternyata masih berada di depan restoran, Angga segera berjalan menghampiri lelaki itu yanh juga tengah berjalan ke arahnya. "Papa sudah pulang?" Tanya Angga dingin. Pria itu mengangguk pelan. "Beliau sedang pergi ke kantor cabang, Pak Angga. Beliau baru saja mendapat telepon penting. Mobil kantor juga sudah menjemput tadi." Angga mengangguk-anggukan kepalanya. Lelaki itu lalu memberikan segala macam berkas di tangannya pada sang sopir. "Tolong antarkan ke hotel, Pak. Angga butuh istirahat sebentar. Papa memberi pesan sebelum berangkat?" Tanya Angga. Pria itu menggeleng. "Tidak. Beliau langsung pergi." Angga menghela napas bersyukur. Setidaknya Papanya tidak memintanya ke kantor cabang. Karena jujur saja Angga enggan datang ke sana. Selain karena di sana tempatnya cukup jauh dari hotel dan tempat lain, Angga juga sedang tidak ingin bertemu dengan Pamannya. Ya, cabang Jogja memang dipegang oleh Pamannya. Sedangkan kantor pusat dipegang oleh Papanya yang dibantu oleh Angga. Bukan, Angga bukan tidak mau bersilaturahmi. Hanya saja dirinya enggan mendengar ucapan Pamannya yang selalu menagih perihal dirinya yang menikah. Karena pria itu pasti akan meminta jabatan yang Papanya pegang jika pria itu tahu dirinya belum menikah dan belum menemukan seseorang yang cocok. Sebenarnya Angga bisa saja menghindar, tapi tidak setiap hari dirinya memiliki hoki yang bagus. Bagaimana kalau ternyata hari ini dirinya malah terjebak dengan pertanyaan itu dan Papanya akan kelimpungan? Pamannya cukup ambisius untuk mendapatkan posisi Papanya. Selain karena ingin mendapat pengakuan dari keluarga besar lebih banyak, pria itu juga ingin membuktikan bahwa Angga bukanlah apa-apa dibanding dirinya. Padahal kalau Angga boleh mengungkapkan keinginannya, tentu saja Angga malah ingin memberikan posisi itu pada Pamannya. Agar pria itu tahu seberapa susahnya Papa Farhan mengelola semua dalam waktu sekejap. Mungkin jika hanya mengurus kantor cabang, waktu tidak akan terpakai sebanyak yang kita kira. Tapi saat jabatan naik, tentu saja pekerjaan semakin banyak. Seperti kalimat yang mengatakan, semakin besar hasil yang kamu inginkan, maka semakin besar perjuangan yang harus kamu keluarkan. Angga sih cukup tahu saja. Terserah Pamannya apakah tetap ingin memegang semuanya dengan satu tangan. Atau memilih memegang sesuatu yang sudah dikuasai. "Apa hotel kita dekat dengan makanan cepat saji?" Tanya Angga saat ia sudah duduk nyaman di jok belakang mobil. "Emm, sepertinya dekat, Pak. Tapi bukankah ada restoran di bawah hotel, Pak?" "Ya, memang ada. Tapi aku ingin makan-makanan cepat saji saja. Tolong berhenti dulu di tempat makan yang pedas. Kalau bisa bakso." "Baik, Pak." Angga menyandarkan kepalanya ke sandaran jok. Lelaki itu melemaskan lehernya yang terasa kaku. Bekerja hanya untuk datang dan menjelaskan saja sudah terasa selelah ini. Apalagi bekerja sesibuk Papanya? Angga tidak bisa berpikir kalau nanti dirinya akan menjadi seperti Papanya. Sudah pasti b****k semua tulang dan sendinya. Drrt. Drrt. Drrt. Angga berdecak lirih. Lelaki itu merogoh saku celananya dan mengeluarkan ponsel yang terus bergetar dari sana. Ia menatap sebentar pada nama yang tertera. Itu nomor adik bungsunya. "Ada apa, Ling?" Tanya Angga. Lingga Rajendra. Lelaki yang umurnya berbeda 9 tahun dari Angga itu tampak sedang berbicara dengan seseorang di sebrang sana. Kebiasaan adik kecilnya. Selalu bicara dengan orang lain jika sedang menelepon. "Ling?" "Ck! Jangan manggil kaya gitu!" Jawab Lingga dari seberang sana. Angga terkekeh kecil. Ya, kalau ia sebut nama belakang adik lelakinya itu, sudah pasti seperti memanggil namanya. Bisa-bisa ia disangka tak waras karena memanggil namanya sendiri. "Oke, oke. Ada apa?" Tanya Angga pada akhirnya. "Kak Marsha titip beli kucing." "Hah?!" Angga spontan memekik heboh. Lelaki itu menatap ponselnya dengan seksama. Ini benar-benar nomor adiknya, kan? Dan apa tadi? Menitip apa? "Nitip apa?" Tanya Angga memastikan kembali. "Titip beli kucing," ujar Lingga kembali. "Heh! Gila, ya?! Di mana-mana nitip tuh oleh-oleh! Bukan hewan! Sableng!" Gerutu Angga kesal. "Ya, gak tau. Kak Marsha maunya itu," ujar Lingga acuh. Angga mendengkus sebal. "Mana sih orangnya? Sini, Abang mau ngomong sama dianya," ujar Angga sebal. Di sana Angga bisa mendengar Lingga yang terkekeh dan memanggil Marsha dengan suara kencang. Untung saja Angga sempat menjauhkan ponselnya dari telinga. Kalau tidak, sudah pasti suara toa adiknya itu terdengar dengan sangat keras. Sangat merusak gendang telinga! Angga adalah 4 bersaudara. Sebenarnya 5. Tapi adik kecilnya meninggal ketika masih bayi. Ia adalah anak pertama. Angga Wiraga. Umur 23 tahun, yang mana memiliki keahlian dalam menghitung, membaca cepat, menghalu dan menentukan solusi dalam setiap masalah. Yang kedua ada Marsha Ainisya Wiraga. Gadis 20 tahun yang sedang menjalani hari-hari di bangku pperkuliahan. Marsha adalah duplikat dari Angga. Marsha itu terlalu sering bercanda sampai rasanya sulit menentukan mana yang serius dan bercanda jika bicara dengan gadis itu. Marsha memiliki keahlian dalam bidang menggambar dan mendesain. Maka dari itu gadis yang kini sedang meraih ponsel Lingga itu berkuliah dalam jurusan arsitek. Lalu yang ketiga ada Rasya Cresiya Rajendra. Umur 17 tahun. Gadis ini termasuk anak yang pendiam di beberapa waktu. Namun bisa sangat aktif ketika mendengar barang yang Angga bawa. Entah barang bermutu ataupun tidak. Rasya juga sangat suka mengkoleksi berbagai macam hiasan yang Angga buat. Padahal bentuknya terkadang absurd. Rasya juga satu-satunya adik yang memiliki tingkat kemanjaan luar biasa--hanya pada Angga. Mungkin karena gadis itu lebih dekat dengan Angga sejak kecil. Keahlian Rasya hampir sama dengan Angga. Cepat menghitung, cepat memahami masalah tapi tidak suka menghapal. Lalu yang terakhir ada Lingga Rajendra. Si bungsu yang kini berumur 14 tahun. Anak picik yang suka sekali dengan lagu. Pandai bermain alat musik dan memiliki ketampanan yang bisa menjadi bibit-bibit good looking. Angga juga kadang merasa khawatir kalau lelaki itu beranjak dewasa. Lingga memiliki keahlian dalam bermain musik, menghitung dan menentukan topik bicara. Perlu diketahui bahwa kadar rata-rata kewarasan adiknya yang satu ini patut dipertanyakan. Karena selalu masuk ke dalam perangkap Angga dan candaan Marsha. "Halo, Bang? Ini Marsha." "Heh! Gila ya lo?! Kalau gua ke Jogja itu minta oleh-oleh baju! Pia, kue, apa kek! Ini malah kucing. Lo jadi induk kucing, hah?!" Sungut Angga kesal. "Ya elah. Kucing doang, Bang. Bukan bulan," jawab Marsha enteng dari seberang sana. Angga mengelus dadanya. Berusaha bersabar dengan ucapan tidak masuk akal adiknya. "Oh ya, btw, gua juga udah minta sama Papa. Dan kata Papa gak papa. Minta aja sama Abang. Jadi, jangan sampe gak dibeliin. Bye!" "Heh--" Tut. Tut. Tut. "Emang kagak waras!" Gerutu Angga seraya melemparkan ponselnya ke jok di sebelahnya. Lelaki itu memijat kening. Memang selalu ada-ada saja ya adiknya itu?! Apa tidak bisa membuatnya tenang dan bebas bergitu? Angga hanya ingin dirinya tenang dan menjalani liburan ini tanpa kepusingan yang melanda. Angga segera mengelus dadanya dan beristighfar. Sabar.. kalau gak sabar, Papanya ngamuk macam macan. Tenang, cuman kucing saja, kan? Tapi gimana ngurusnya?! Gimana cara bawanya?! Gila ya? Angga yang ganteng ini harus membawa kucing selama berpergian? Bagaimana nanti kalau ia ingin berkeliling ke Malioboro?! Kucingnya harus ia taruh di mana? Bagaimana kalau kucing itu ternyata kabur? Haduh! Angga bisa gila kalau liburannya seperti sekarang! "Pak, tolong cari toko kucing terdekat ya." "Jadi, kita ke tempat makan dulu atau toko kucing, Pak Angga?" "Tempat makan dululah, Pak! Perut nomor satu!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD