bc

Another World

book_age16+
105
FOLLOW
1K
READ
murder
dark
possessive
sensitive
drama
bxg
vampire
selfish
like
intro-logo
Blurb

Berlari dan terus berlari, hingga napas yang tersisa hanya mampu dikeluarkan dengan sepenggal-penggal. Sementara pasokan udara di sekelilingnya mulai menipis dan pandangannya kian menghitam. Jane Chatrine terjatuh di atas rumput-rumput kering yang mati.

Ia tidak sadarkan diri, membuat Luke Watson beserta pasukannya berjalan mendekat untuk mengambil tubuhnya yang lemah.

"Seorang b***k tidak diperbolehkan meninggalkan majikannya."

chap-preview
Free preview
1
   Happy reading and Enjoy~  Kedua tangannya terikat kebelakang, sementara matanya ditutup dengan kain hitam. Kedua bibirnya bergetar menahan takut yang menggunung. Pasalnya saat ini ia akan di bawa ke kediaman Ben Laucburgh, seorang pengusaha dunia bawah yang terkenal dengan kekejaman dan kekejiannya.     Anehnya, lelaki itu tidak pernah menampakkan wujudnya, bergerak di dalam kastil. Semua yang mengurus tangan kanannya, apabila pekerjanya didapati mengkhianatinya, maka Ben sendiri yang akan menghabisinya dengan kejam. Ya, seorang pengkhianat akan diberi kemuliaan dengan melihat wajah Ben.    Setiap beberapa bulan sekali akan ada wanita yang di kirim ke kediamannya. Tidak bisa menolak dan tidak boleh membantah, hanya boleh menurut dan patuh. Wanita yang di kirim tidak akan pernah kembali, juga tidak diketahui apakah masih bernyawa atau sudah mati.    Seluruh tubuh gadis itu bergetar hebat, menahan isak tangis sepanjang perjalanan yang akan membawanya ke tempat misteri Ben. Tempat itu tidak ada yang tahu di mana, itu lah gunanya saat ini kedua matanya di tutup kain hitam.    Entah apa yang membuat ayahnya memutuskan untuk terikat dengan lelaki itu. Sehingga tega menjual dirinya ke pembisnis kejam. Ia sudah mencoba untuk menolak dengan keras, akan tetapi pada akhirnya kalimat sakral itu terucap dengan tegas dari bibir lelaki yang ia anggap seperti ayahnya sendiri. "Kau pikir siapa dirimu? Hanya  anak yang kami pungut. Jika bukan karena kami yang membesarkanmu, kau tidak akan hidup hingga saat ini. Sekarang saatnya kau membalas semuanya, ini semua untuk perawatan ibumu."    Ia tau dirinya hanya beruntung karena diberi kesempatan hidup di dalam naungan kasih sayang di  sebuah keluarga yang sukses. Sebelum jatuh miskin dalam sekejap, keluarga itu cukup sukses dan mengasihinya melebihi apapun. Dan kini Jane merasa ia memang harus membalas budi kepada sepasang suami istri yang berbaik hati mau memungut dan memeliharanya hingga saat ini.     Bagaikan durian runtuh, dalam sekejap mereka jatuh miskin sementara ibunya berubah sakit-sakittan dan kini menjadi lumpuh. Perusahaan yang dibangun menanggung kerugian besar. Semua harta yang bisa dijual maka dijual, semua simpanan habis, Carlos kehilangan apapun. Berpindah dari satu teman ke teman yang lain untuk mencari pinjaman, dan pada akhirnya memutuskan untuk meminta bantuan Ben hingga Jane yang menjadi jaminan.     Melunasi semua hutang ayahnya yang tidak sedikit itu bukan masalah besar bagi seorang Ben, dalam waktu sedetik bagaikan menjentikkan jari hutang itu lunas ketika Jane dibawa menuju kastilnya.     Satu pesan ayahnya saat itu ketika dirinya sudah memasuki limosin yang akan membawanya ke tempat Ben.  "Menurut padanya dan jangan membantah, ambil hatinya maka kau bisa memiliki jiwanya. Ketika kau sudah mengambil hatinya maka tidak akan susah lagi bagimu untuk memperbudak jiwa dan raganya, kau akan merajai seluruh harta dan benda yang dimilikinya. Jika hal itu terjadi, jangan pernah lupakan bahwa ayah yang menggiringmu menuju kegembiraanmu, dan jangan lupakan ibu cacatmu yang membutuhkan bantuanmu. Sampai di sini kau sudah paham, Jane? Ingat selalu nasihatku, ini hal terakhir yang bisa kulakukan padamu."    Terburu-buru Jane menganggukkan kepalanya meski dirinya belum paham sepenuhnya apa maksud perkataan dari sang ayah, pikirannya kosong dan ia tidak bisa memikirkan apapun selain keselamatannya di tempat Ben.     Mobil yang dinaikinya berhenti dengan perlahan, ada tangan yang menyentuh kepalanya, membuat Jane sedikit tersentak, ternyata tangan itu hanya menyentuh kain yang menutupi matanya.      Kain yang menutupi kedua matanya itu dibuka, berkedip-kedip untuk membiasakan cahaya yang hadir. Jane melihat gerbang besar yang bewarna hitam. Gerbang itu tertutup dan ketika mobil yang ia tumpangi berhenti tepat di hadapannya, gerbang bercat hitam itu terbuka secara otomatis. Jantungnya berdegub kencang ketika Limosin yang ia naiki mulai memasuki gerbang.      Mobil itu terus melaju, aura di sekelilingnya berubah menjadi hitam. Tubuhnya menggigil seiring dengan mobil yang ia tempati berhenti di depan kastil. Ia menyudut ke pintu mobil sebelah kiri, ketika pintu yang sebelah kanan dibuka dengan salah satu ajudan yang membawanya.     Jane menggeleng takut ketika tubuhnya ditarik paksa keluar dari mobil, dengan malangnya ia diseret  memasuki kastil yang tampak menyeramkan itu.     Ketika ia berhasil masuk seluruhnya ke dalam kastil, Jane langsung membalikkan badannya untuk berlari, tapi pintu besar itu tertutup secara otomatis. Ia beringsut dan terduduk di lantai.    Ia menggenggam erat baju luarnya tepat di bagian d**a, guna mengatur napasnya yang semakin sesak akibat isakan tangisnya. Bibirnya bergetar hingga gesekan antara kedua gigi atas dan bawahnya dapat terdengar di telinganya sendiri. Menyesal? Sudah tidak bisa lagi.   "Tidak ada gunanya menangis, Jane." Suara bariton yang menyapa gendang telinganya itu dominan dan dingin, membuat tubuh Jane seketika kaku. Matanya langsung terpejam, tidak kuat untuk menatap sosok yang kini berjalan mendekat ke arahnya. Sementara itu, bulu kuduk di lengannya meremang saat merasakan langkah kaki yang kian mendekat. Ujung jari kakinya menyentuh pakaian yang pastinya milik Ben.      Saat itu, yang dapat dipikirkannya adalah kematiannya dan masa depan atas kehormatan yang sudah dijaganya selama ini. Terima tanpa ada penyesalan. Itu lah yang bisa dikatakan untuk menguatkan dirinya sendiri. "Buka matamu dan lihat aku."  Kembali namanya disebut dengan nada yang mendalam, kedua tangannya bertaut dengan gelisah, bibirnya bergetar menahan takut yang menjalar ke seluruh tubuhnya. Menguatkan diri untuk tidak takut, Jane memilih membuka matanya. Kepalanya mendongak agar bisa melihat Ben, ketika matanya bertemu dengan mata gelap milik Ben, ia merasa dirinya akan pingsan saat itu juga. Aura mendominasinya begitu kuat. Pria di hadapannya memakai jas hitam, bahunya bidang, kepalanya botak, tatapannya tajam bagaikan elang, rahangnya tegas dan bebas dari bulu-bulu halus. Jane menelan ludah dengan susah payah ketika membayangkan dirinya akan melayani pria yang mungkin seumuran dengan ayah angkatnya ini.  "Kau mungkin sudah tahu siapa aku, kalau kau lupa biarkan aku memperkenalkan diriku kembali. Ben Laucburgh, kau bisa memanggilku dengan Ben. Ikuti aku, kamarmu ada di lantai atas," ucapnya dingin. Ketika Ben berjalan sepuluh langkah dalam hitungan Jane, ia menggerakkan tubuhnya  mengikuti langkah lelaki itu. Hanya memastikan ia berada dalam jarak yang aman.  Ujung matanya memerhatikan jalan yang dilaluinya. Arsitek yang merancang kastil ini benar-benar luar biasa, menempatkan suasana pada zaman dahulu dengan desain yang luar biasa menakjubkan.  Di sepanjang perjalanan menuju kamarnya, ia melihat gelas berukiran kaca. Anehnya, gambar gelas itu  memenuhi hampir seluruh isi lorong. Gelas itu tidak kosong, berisi air bewarna merah pekat yang kental. Air itu lebih terlihat seperti darah.  Darah?  Jane langsung memucat. Apakah ... apakah Ben akan membunuhnya lalu mengambil darahnya?  Ayolah, ia ingin hidup lebih lama. Meskipun saat menginjakkan kaki ke kastil ini harapan hidupnya hanya 20%, tapi mati di umur muda rasanya sungguh tidak adil. Ia ingin merasakan cinta. Cinta? Sungguh ironis sekali satu kata keramat itu. Siapa yang bisa mencintainya tatkala saat ini dirinya terkurung dan tidak bisa kembali ke masa bebas? Angan-angannya terlalu tinggi. Ben berhenti di depan pintu bercat coklat, membalikkan badan sedikit guna melihat Jane yang masih mengikuti langkahnya, lelaki itu membuka pintu.  "Ini kamarmu. Semua yang kau butuhkan ada di dalam kecuali ponsel dan tv, segala jenis benda yang akan membuatmu tau perkembangan dunia luar atau segala jenis benda yang akan membuatmu bisa berkomunikasi dengan orang-orang di luar rumahku akan diharamkan." Ben menatap penampilannya dari atas hingga bawah.  "Kau juga diharamkan mengenakan kaus atau celana panjang maupun pendek, yang harus kau kenakan dalam kesehariannya adalah dress yang telah di sediakan di dalam lemari. Bersikap yang anggun layaknya seorang putri, jangan jadi penakut, tegakkan dagumu saat berjalan," titahnya tegas.  "Tatap mataku dengan berani, Jane," perintahnya dengan nada menuntut. Mau tidak mau ia mendongak.   "Dengan tegas kataku!" katanya lagi dengan mengatupkan kedua giginya.  Bukan semakin percaya diri, ia malah menunduk ketakutan. Helaan napas kasar terdengar, akhirnya pria di hadapannya membiarkan Jane bernapas dengan kalimat yang menenangkan.  "Istirahatlah, perjalanan hari ini pasti sangat panjang dan melelahkan untukmu. Persiapkan dirimu, karena besok banyak kejutan yang menunggu." Setelah mengucapkan itu, Ben melangkah pergi.  Dengan langkah pelan ia memasuki kamar.  Lampu-lampu di kastil ini didesain dengan cahaya yang tidak terlalu terang, membuat sekelilingnya terlihat samar dan misterius.  Ia meneliti setiap sudut kamarnya, memeriksa apakah ada binatang. Karena kastil ini dekat dengan hutan, meskipun sepertinya itu hutan buatan, tapi apa salahnya jika berjaga-jaga, bukan?     Setelah memastikan tidak ada apapun yang bisa melukainya, Jane segera memeriksa kamar mandi. Kamar mandinya lebih gelap, tapi tidak masalah. Ia langsung berendam di bathtub.      Kedua matanya tertutup untuk menikmati acara berendamnya. Mencoba melupakan masalah yang akan dihadapi besok. "Akhh!"     Ia langsung membuka kedua matanya, menatap nanar ke sekeliling kamar mandi. Kosong. Demi Tuhan! Tadi ada yang mencekiknya!     Tapi mungkin itu hanya halusinasinya, ia kembali merilekskan badannya. Hanya sedetik, karena ia merasa ada mata yang memerhatikan setiap gerakannya.  "Mmphh ...." sesuatu yang lembut dan dingin menyentuh bibirnya, Jane dicium.    Kedua matanya tiba-tiba tertutup.  Tangannya mencoba menggapai siapa pun yang saat ini mencium bibirnya, tapi tangannya terasa kaku, tidak dapat digerakkan sedikit pun. Tubuhnya seakan mati, seolah pasrah dengan apa pun yang terjadi padanya. "Mmphh ..." Jane berteriak, tapi teriakkannya teredam oleh bibir yang saat ini menciumnya.      Sebuah tangan yang dingin bagaikan es menyentuh pipinya, membuat tubuhnya berjengit. Tangan besar yang dingin itu membelai pipi Jane dengan belaian seringan bulu.    Ia melemas karena tidak dapat menghentikan atau pun menolak ciuman misterius yang di dapatkannya saat ini.   Dapat dirasakan bibir dingin yang saat ini menciumnya tersenyum kecil di atas bibir Jane, sebelum akhirnya menjauh secara tiba-tiba.     Napas Jane terengah, bulu-bulu halusnya berdiri. Kamar mandi itu benar-benar kosong, tidak ada siapapun di sana. Anehnya Jane tidak lagi merasakan mata yang mengawasinya, digigitnya bibir bawahnya kuat untuk menahan rasa takut yang hadir tanpa di pinta. Jane benar-benar takut, ia yakin itu bukan mimpi, karena hasrat yang mulai hadir imi terasa nyata.    Teburu-buru menyudahi acara berendamnya, ia melangkah keluar dengan sedikit berlari, satu tangannya memegang handuk bagian dadanya. Ini pengalaman paling menakutkan, hantu bisa membunuh dengan lebih kejam melebihi manusia, itulah yang di pikirkannya sejak dulu. Film-film horor masa kanak-kanak masih merambat dalam pikirannya.  Ia ingin pergi dari kastil ini, Ben pasti memelihara makhluk halus yang tak kasat mata, maka dari itu kastil ini terpencil. Dia diawasi lagi. Ada mata yang memperhatikan gerak geriknya.     Jane membuka lemari besar untuk mencari baju yang tersedia di sana, karena saat datang ke kastil ia hanya membawa dirinya, serta baju yang melekat di badannya. Ia dilarang membawa apa pun dari rumahnya, baik novel kesukaannya sekali pun.      Beberapa menit Jane tidak melakukan apa pun, hanya berdiri di depan lemari. Ia menatap isi lemarinya dengan tatapan terpana, lemari itu berisi gaun-gaun berbahan lembut dengan ukiran mewah.     Pilihannya jatuh pada gaun bewarna biru muda. Saat gaun itu meluncur mulus di tubuhnya yang ramping, senyum bahagia hadir di bibirnya. Sejenak ia lupa dengan kejadian aneh di kamar mandi.    Saat ingin menyisir rambutnya, pintu terbuka. Ben berdiri di sana, membuat gerakan Jane saat ingin menyisir terhenti dan tanggannya mengambang di udara. "Ikut aku," perintahnya tegas.  Jane langsung meletakkan sisirnya ke meja, lalu sedikit berlari mengikuti  Ben.    Ben berhenti lalu membalikkan tubuhnya sedikit. "Kau lapar?"  Ia membuka mulut untuk menjawab, tapi Ben langsung memberi titah. "Jika kau lapar sebaiknya kau makan terlebih dahulu, kegiatan ini akan menguras tenagamu."     Kegiatan apa yang membuatnya  lelah? Apa kegiatan yang berhubungan dengan ranjang? Apa malam ini kehormatan yang selama ini dijaganya akan terenggut?  Pikiran-pikiran aneh tanpa dipinta berseliweran di dalam kepalanya.    Terlalu takut untuk bertanya apa kegiatan yang di maksud, ia mengangguk kecil.  "Kalau begitu kau turun saja ke bawah dan pergi ke ruang makan. Bunyikan bel di samping tempat dudukmu, nanti ada orang yang mengantar makanan. Setelah selesai makan temui aku di ruangan ini, mengerti?" Lagi-lagi pria di hadapannya ini memberi perintah dengan kalimat yang tidak ingin di bantah.    Oh Tuhan, ini hari pertama Jane menginjakkan kaki di kastil yang tidak kecil ini. Bagaimana bisa dirinya tau di mana ruang makan? Tidak ingin membantah yang bisa saja membuat Ben marah, ia hanya mengangguk patuh. "Bagus," ucap Ben, lalu melangkah masuk ke pintu besar bercat merah tua di hadapannya.    Saat pintu tertutup, Jane langsung melemaskan tubuhnya yang tegang. Berada beberapa langkah di belakang pembesar dunia bawah mampu membuat dadanya terasa nyeri. Kedua kakinya melemah, tetapi tidak sampai membuatnya jatuh.     Tidak ingin berlama-lama di depan pintu tempat Ben berada, ia segera melangkahkan kaki untuk mencari ruang makan. Sungguh, kastil ini sangat luas dan ia seperti semut yang tersasar di jalan.     Jane ingin berlama-lama dan mengistirahatkan seluruh syaraf-syarafnya yang tegang. Wuff... "Siapa?" Seketika Jane berteriak, ia yakin lehernya ditiup.     Kosong, tidak ada siapapun di ruangan itu. Ia mengusap-usap lehernya yang terasa geli. Bisa saja makhluk tak kasat mata itu bersembunyi di langit-langit kastil, tetapi sama seperti tadi, semuanya kosong.    Perasaan ini sama seperti yang dirasakannya saat berada di dalam kamar mandi tadi, perasaan yang mencekam dengan tubuh yang lebih intensif agar terdiam dan patuh.     Menelan ludah dengan susah payah, Jane melanjutkan langkahnya mencari ruang makan. Baru beberapa langkah, dirasakannya seseorang menjumput sebagian dari rambut belakangnya. Ia menghentikan langkahnya dengan tubuh kaku. Digigitnya bibir bawahnya kuat-kuat, sebelum memutuskan untuk membalikkan badannya secepat kilat agar bisa melihat siapa yang mempermainkannya sedari tadi.     Mendengus kesal, ia kembali melangkah. Baru selangkah, makhluk tak kasat mata itu menarik kerah belakang gaunnya, membuat langkah Jane mundur kebelakang secara otomatis.      Kedua tangannya langsung memegang kerah depan gaunnya, bibirnya terbuka dan menjerit dengan lantang. "Lepaskan, aku tidak takut padamu!"    Ajaib, tarikannya langsung terlepas dan Jane mengambil kesempatan untuk segera menoleh ke belakang, akan tetapi sama seperti sebelum-sebelumnya, ruangan itu kosong. Hanya ada dirinya di sana dengan napas terputus-putus dan wajah yang memerah akibat kehabisan napas.  "Jangan main-main denganku! Aku tidak takut padamu, ayo tunjukkan wujudmu." Ia sedikit berteriak saat mengucapkannya, hawa di sekelilingnya berubah dingin. "A–ada apa ini?" tanyanya pada diri sendiri ketika tubuhnya jatuh ke lantai. "Lihat aku, Jane. Kau penasaran denganku, bukan?" Suara itu berat.  Jane langsung mendongak dan tatapannya bertemu dengan pria tertampan yang pernah dilihatnya.     Rahang pria itu tegas dengan sedikit bulu-bulu halus yang menghiasi, matanya tajam, bola matanya berwarna merah.    Pria itu tersenyum miring, menampilkan gigi taringnya yang runcing, membuat tubuh Jane menegang. Le ... lelaki di hadapannya seorang vampire?  "Ka–kau mau apa?" tanya Jane gugup.    Pria itu menaikkan alisnya sebelah. "Bukankah kau yang memintaku untuk menampakkan wujud asliku? Memintaku melakukan itu sama dengan mengharapkan kematian, dan juga menyerahkan diri menjadi santapan."    Tidak mempedulikan kedua bola mata Jane yang membesar, pria itu berjalan secara perlahan untuk menghampirinya.     Berdiri tepat di hadapannya. Lelaki itu menundukkan wajahnya di lekukan leher Jane, menghembuskan napas dinginnya di sana, membuat tubuh Jane kaku dengan napas tertahan. "Lehermu harum sekali," desahnya sambil menghirup dalam-dalam aroma di sekitar tulang selangka wanita itu.    Tubuh Jane mati rasa, tidak dapat digerakkan ketika pria di hadapannya mulai menjulurkan lidahnya untuk menjilat lehernya. Lalu mulai memainkan lidahnya di sana. Lelaki itu tersenyum kecil sebelum mengeluarkan taring runcingnya.    "Ka ... kau mau apa?" tergagap Jane bertanya. Dirasakannya pria itu tersenyum di atas permukaan kulit lehernya.    "Kau akan tau sendiri setelah merasakannya," ujarnya sebelum menancapkan gigi taringnya. Pekikan tertahan serta jeritan panjang yang nyaring terdengar di langit-langit ruangan.     Jane tidak bisa memberontak, tubuhnya tidak bisa digerakkan.      Darah-darahnya yang berada di permukaan badannya naik mengikuti sedotan dari gigi runcing pria tidak di kenal ini, membuat seluruh persendian dan tulang-tulangnya terasa ngilu dan perih luar biasa.  "Akhh ...."   Pandangan matanya mengabur, kesadarannya menipis. Jika di hitung-hitung berapa banyak pria vampire ini mengambil darahnya, sekantong kah? Dua kantong? Atau bahkan lima kantong?  Berapa pun yang di ambil pria ini tidak masalah, asal jangan membuat kesadarannya menipis seperti ini.    Pandangannya mulai menghitam, sebelum akhirnya ia terjatuh tidak sadarkan diri.  Apakah ia pingsan?   Ya, seharusnya memang begitu, tapi saat kedua matanya terbuka ia masih berada di dalam kamar mandi, bahkan yang lebih parahnya lagi, ia masih berendam di dalam bathtub. Seolah dirinya tertidur dan kejadian itu hanyalah mimpi.    Detak jantungnya bertalu secara tidak beraturan, deru napasnya terputus-putus. Semua terasa nyata dan Jane yakin sekali semuanya bukan mimpi, tapi mengapa ia bisa berada di sini?    Ia menyentuh lehernya, tidak sakit, juga tidak berbekas. Tidak ada apa-apa di sana. Apa semua kejadian aneh yang tampak nyata itu memang mimpi atau hanya ilusi belaka, tapi semua tampak jelas.    Tubuhnya yang melemah dan kekuatannya yang hilang kini kembali pulih, Jane merasa sehat dan normal kembali.     Bunyi ketukan dari luar kamar mandinya terdengar, terburu-buru Jane bangkit dan menyambar handuk yang tersampir di sana. Ia membuka pintu kamar mandinya sedikit untuk melihat siapa yang mengetuk pintunya. Seorang perempuan tua dengan pakaian khas pelayan berdiri di sana sembari tersenyum lembut.   "Kau pasti lapar, Tuan Ben menyuruhku untuk menyiapkan makanan untukmu, dan aku sudah menyiapkannya. Setelah mandi kau bisa langsung mengisi perutmu, makanannya kusediakan di meja." Pelayan tua dengan senyum keibuan itu membungkukkan badannya sedikit. "Maaf telah mengganggumu, aku hanya memastikan bahwa memang ada orang di dalam kamar mandi. Jika kau tidak keberatan bolehkah aku undur diri untuk pergi?"  Jane langsung mengangguk. "Terima kasih, bibi." "Panggil saja aku Maria, untuk kedepannya jika kau perlu sesuatu cukup panggil aku sekali. Di mana pun kau berada aku akan selalu tau dan datang menemuimu."    Kalimat yang sederhana, bukan? Tapi entah mengapa di dalam pikirannya kalimat itu tidak sesederhana ucapannya. Kastil ini menyeramkan.  Mencoba mengabaikan hal-hal yang masih belum dipahaminya, antara mimpi atau kenyataan, ia mengisi perutnya yang sejak tadi menjerit meminta diisi. Aromanya memanjakan indera penciumannya.  Tanpa menunda-nunda lagi, Jane memakannya dengan lahap. Entah mengapa tenaganya seperti terkuras.  Saat suapan terakhirnya hampir selesai dikunyah dan bersiap-siap ingin ditelan, disaat itupula ia melihat beberapa lauk yang berada di hadapannya berubah. Daging kenyal nikmat yang tadi dimakannya berubah menjadi bola mata dengan pupil berwarna merah, serta darah-darah kental dengan bau anyir. Makanan yang hampir saja ingin ditelannya tertahan, mendadak perutnya bergejolak. Ia tidak mampu lagi menahananya dan memutuskan berlari ke dalam kamar mandi untuk memuntahkannya di wastafel.  Anehnya setelah memuntahkannya, tidak ada apapun di sana. Tidak ada darah, tidak ada bola mata. Hanya ada lauk pauk yang sejak awal dilihatnya.  Jane menghela napas, mencuci wajahnya berulang kali. Sejak masuk ke kastil ini ia banyak berhalusinasi. Ia terdiam beberapa saat, mematut dirinya di cermin.  Selera makannya hilang, Jane kembali ke kamarnya. Menatap malas ke arah makanan yang terhidang di meja. Ia berjalan gontai ke arah ranjang, merebahkan dirinya di sana.  Ia memejamkan kedua matanya. Ini hari pertamanya, tapi kejadian-kejadian aneh terus berdatangan. Tidak heran banyak gadis-gadis yang tidak bisa pulang, atau setidaknya kabur. Pasti makhluk halus yang melenyapkan para gadis itu.  Perutnya masih lapar, tapi Jane mengabaikannya. Ia ingin mengistirahatkan pikirannya yang kacau. Perlahan kesadarannya menipis, Jane jatuh tertidur. Dari ujung kamar,  sepasang mata bewarna merah yang memperhatikannya.  Bersambung ...

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

My Secret Little Wife

read
98.6K
bc

Tentang Cinta Kita

read
190.6K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
206.1K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

Siap, Mas Bos!

read
13.5K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.6K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
15.5K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook