Part 3
“Kamu kurang detail mencari kesukaan saya”
“saya ga bisa makan pedas”lanjut Lucas.
Oh tidak, Jiwa bukan malu hanya saja dia amat sangat heran, bagaimana mungkin seseorang tidak suka pedas, padahal Jiwa sehari tidak makan sambal saja sudah seperti cacing kepanasan.
“Sedikitpun?”
“Ya”
Wah, Jiwa benar benar frustasi bagaimana mungkin ada orang yang tidak suka pedas sedikitpun. Oke, sepertinya mereka berdua memang tidak ditakdirkan bersama, kesukaan Lucas pun adalah sesuatu yang Jiwa benci.
“Oke, kak Lucas mohon diterima, aku udah bawa ini dengan sepenuh hati, setidaknya kakak harus hargain pemberian aku”
Jiwa memaksa Lucas menerima makanan yang dia bawa, mengucapkan terimakasih lalu pergi.
“Gimana?”
Ana sudah benar benar penasaran sedangkan yang ditanya masih terheran heran dan sedikit kesal.
“Kamu ya An, kasih info yang lengkap kek”
“Hah…emang salah?”
“Bukan salah cuman kurang lengkap, Kak Lucas ga suka pedes dan aku bawain cumi sambel ijo”
Ana terdiam lalu detik berikutnya dia tertawa terbahak, tidak menyangkan Jiwa memberinya makanan pedas.
“Okeoke aku salah, aku ga nyangkan kamu bawain dia cumi sambel ijo, kirain cumi goring kek, atau cumi bakar kek, maap deh. Trus ditolak?”
“Aku paksa dia terima, yakali udah aku bawain dia nolak”
“Wah wah”
Dilain tempat Lucas masih memandangi makanan yang memenuhi mejanya, banyak sekali makanan yang dia terima hari ini, bahkan jam belum menunjukkan malam hari. Dilihatnya salah satu kotak makan yang sedari tadi menarik perhatiannya.
“Oke, kak Lucas mohon diterima, aku udah bawa ini dengan sepenuh hati, setidaknya kakak harus hargain pemberian aku”
Bahkan kata kata gadis itu masih dia ingat dengan jelas.
Dia berbeda
Bandingkan dengan gadis lain yang begitu lembut member Lucas makanan bahkan ada yang menangis ditolak Lucas karena memberi makanan pedas juga, dengan penampilan maksimal dan kata kata manis. Sedangkan Jiwa dengan tampilan sederhana dan jangan lupa karet pembungkus nasi yang masih bertengger di pergelangan tangannya, kata kata yang memaksa dan Jiwa memiliki senyum yang sama.
Ya, Lucas masih ingat senyuman yang begitu dia rindukan. Senyum seseorang yang tidak asing dulu namun kini mulai dia lupakan.
“Luc, ayo api unggun, udah jam nih”
Lucas melihat jam dipergelangan tangannya, melihat jam sudah menunjukkan pukul enam sore.
Jiwa dan mahasiswa lain begitu menikmati acara kemping ini, ditambah malam api unggun yang begitu meriah. Malam semakin larut dan kini saatnya mereka untuk tidur dan esok pagi pagi sekali mereka akan kembali kekampus.
“Ji, semalem kamu kemana?”
“Oh, aku cari sinyal, kenapa An?”
“Enggak sih, tumben sendiri biasanya bangunin aku”
“Bangunin apaan kamu tidur udah kayak kebo”
Jiwa masih setia dengan panggilan telepon dari mamanya. Setelah ospen yang begitu melelahkan ditambah kemping sebagai penutupan, banyak menguras tenaga Jiwa. Diseberang sana mamanya hanya mendengar keluh kesah anak perempuannya.
“Cakep?”
“Cakep banget ma, mahasiswa popular tuh”
“Tipenya bukan kamu deh Ji, kamu ga secantik itu buat popular di kampus ha ha ha”
Mamanya adalah salah satu ibu yang tidak pernah memuji anaknya, bagaimana mungkin Jiwa yang lahir dari rahim mamanya tidak pernah dia puji sedikitpun.
“Ma, aku ini anak mama atau mama nemuin aku di tong sampah?”
“Heh, kalo ngomong sembarangan”
“Tapi biasanya sih Ji, kalo cowok kaya gitu pasti pernah punya masa lalu yang buruk”
Jiwa terdiam, mamanya walaupun bawel dan menyebalkan tapi juga orang dengan tingkap peka tertinggi.
“Mama sih ga ngelarang, tapi kamu udah harus siap dengan masa lalu dia yang bisa dibilang kamu belum pernah ngerasain. Bagus kalo akhirnya kamu jadi bahu yang bisa menopang masalah dia juga, mama takutnya kamu malah menambah beban dia karena kamu belum merasakan hal yang dulu dia rasakan”
Jiwa hanya terdiam, tidak merespon apapun mengenai pernyataan mamanya.
“Ji!! Jangan tidur, ini yang mau curhat kamu loh kok malah mama yang bawel”
“Iya iya ma, Jiwa dengerin kok. Dah ah mama bawel, Jiwa mau tidur aja”
Bukan tidur, Jiwa masih memikirkan perkataan mamanya ditambah Ana juga memiliki ketakutan yang sama. Jiwa belum pernah merasakan beban yang begitu berat, ditambah dari dia lahir sampai sekarang hidupnya begitu begitu saja tanpa ada batu yang menghambat dan membuatnya terjatuh. Keluarganya normal dengan ekonomi yang sederhana, keluarganya juga tidak punya utang sampai dikejar rentenir, seingat Jiwa keluarganya juga tidak punya musuh yang bisa membuatnya tebunuh.
“Masa sih keluarga Lucas ada utang gede trus diikutin rentenir habis gitu dibunuh?”
“Jiwa oon astaga, bukan utang, kenapa sih kamu mikirnya kesana”
Bukannya tidur Jiwa malah menelepon Ana, menceritakan ketakutan mamanya mengenai kehidupan Lucas.
“Ya trus apa dong yang dia pikirin, atau keluarganya punya banyak musuh”
Ana tidak habis pikir dengan yang dibayangkan sahabatnya itu, terlalu banyak menonton sinetron sepertinya.
“Ji kamu kebanyakan nonton sinetron ya”
“Atau mamanya selingkuh dengan om om mangkanya dia benci cewek”
“Astaga Jiwa, kamu nelpon aku malem malem cuman mau berbagi nethink aja. Dah ah bay”
Ana menutup telepon, lebih baik dia tidur dari pada mendengar semua prasangka buruk Jiwa yang tidak ada benarnya sama sekali. Sedangkan Jiwa, masih bergelut dengan pikirannya sendiri.
“Atau jangan jangan dia emang sikapnya kaya gitu, emang cuek, dingin, ga banyak ngomong, ga suka cewek, mamah sama Ana aja lebay. Ga suka cewek? Wait…jangan bilang kaka Lucas homo astaga. Aku harus nelpon Ana lagi”
Disinilah Jiwa. Setelah semalam bertarung dengan pikiran negative nya tentang Lucas, kantung mata yang tebal dan gelap, mata merah dan kelelahan.
“Kamu pasti habis mikirin kak Lucas ya?”
Ana dan Jiwa sedang berada di kampus. Mencari jadwal perkuliahan yang beberapa hari lagi dimulai, menemui dosen akademik untuk meminta tanda tangan.
“Aku cuman mengantisipasi An”
“Kamu ga siap dengan masa lalu kak Lucas?”
“Bukan ga siap, cuman itu kan belum terbukti benar. Kalian aja yang bikin gara gara aku mikir yang aneh aneh”
“Bukan menuduh Ji, cuman kebanyakan orang kalo udah ada perubahan dulu baik trus sekarang dingin itu berarti ada yang mengusiknya dulu”
Sudahlah, Jiwa malas berdebat dengan Ana yang lebih bisa mengalahkan ucapannya.
Bukan melupakan, Jiwa benar benar memikirkan perkataan Ana. Ada benarnya memang tapi bukan berarti Jiwa menyerah, toh dia belum tau masalah itu apa.
“Kalo masalahnya ringan kayanya sih ga bakal segitunya ya, tapi kalo masalahnya serius apa iya seseorang bisa berubah begitu hebat dan menanggungnya sendiri?”
Setelah menyelesaikan urusan kampusnya, Jiwa berharap bisa bertemu Lucas, tapi berkeliling kampus bahkan melewati kelasnya Jiwa tidak melihat laki laki tampan itu.
“Jiwa?”