10. Dua Jam Bersama

1333 Words
Snow harus menahan tawa ketika beberapa perawat menggosipkan tentang kedatangan Raffa di rumah sakit. Lelaki itu baru saja menjalani medical check up rutin. Memang semua berjalan lancar dan profesional. Namun, yang cukup menggelitik adalah belasan pesan dari Raffa yang mengeluh mengapa sejak awal hingga selesai, dia sama sekali tidak bertemu dengan Snow. Raffa: Kamu sembunyi dimana? Raffa: Sengaja nggak mau ketemu aku? Snow tidak membalas. Ponsel kembali disimpan dalam tas, lalu Snow memilih mengerjakan laporan pemeriksaan dengan bibir yang masih terus menyunggingkan senyuman. Mungkin inilah maksud Raffa malam tadi. Lelaki itu berucap kalau dia akan menemui Snow lagi. Namun, hasilnya ... gagal. Sungguh malang. Snow bisa membayangkan betapa lucunya ekspresi wajah Raffa ketika kesal. Raffa: Strawberry. Lemah sekali Snow dengan panggilan satu ini. Hatinya seketika luluh. Setelah selesai melakukan perawatan dan kembali ke ruang jaga, Snow pada akhirnya mau sedikit mencuri waktu untuk sekedar membalas pesan dari Raffa. Snow: Aku tugas di rawat inap. Jelas nggak ketemu. Raffa: Apa aku harus sakit sampe rawat inap dulu baru bisa ketemu kamu? Snow tersenyum. Lebar sekali. Apalagi setelah mendapatkan pesan kedua dari Raffa. Raffa: Ok, aku cari cara lain. Kita harus ketemu hari ini. Kangenku brutal. Ingin tertawa, tapi Snow tahan mati-matian. Ava terus melirik ke arahnya. Sejak kemunculan Raffa di rumah sakit pagi tadi, Ava pasti sudah tahu niat tersembunyi Raffa di balik dalih medical check up-nya itu. Tentu beberapa kali Ava sempat menggoda Snow. Namun, tidak mungkin secara terang-terangan. Ada perawat lain yang tidak seharusnya tahu hubungan antara Snow dan drummer satu itu. "Kasian banget ya, udah effort banget gini malah gagal ketemu," celetuk Ava seraya menahan tawa. "Apa?" sahut seorang perawat lain. "Enggak, ini aku lagi baca novel," balas Ava. Snow hanya tersenyum, lalu beranjak keluar. Dia harus menyiapkan pemindahan salah satu pasien ke ruang VVIP. Biarlah Ava bicara sendiri, masih ada setumpuk pekerjaan yang harus Snow selesaikan. Snow baru kembali ke ruang jaga setelah jam kerjanya habis. Oper shift sudah dilakukan beberapa menit yang lalu. Namun, ... sepertinya hari ini Snow harus pulang terlambat. "Siapapun, bantuin aku tolong. Aku pengen nyerah, Ya Tuhan," keluh Bella, salah satu perawat yang berjaga bersama Snow. Wanita berusia sekitar dua puluh tujuh itu hampir menangis ketika masuk ke ruang jaga. Snow sampai sedikit melempar tasnya ke atas meja karena melihat wajah Bella yang tampak sangat frustasi. Jemari tangan kirinya sedikit meremas berkas, sementara tangan kanannya menaruh kasar keranjang kecil yang masih berisi obat. "Kenapa?" Ava terlebih dahulu bertanya. "Nyonya besar dirawat lagi. Ini barusan masuk ke kamar." Ava menyambar berkas dari tangan Bella, lalu membacanya sekilas. Tak sampai lima detik kemudian, dia langsung menyerahkannya kepada Snow. Ava menyerah. "Aku pamit pulang, ini udah absen, mau jemput Dante dulu. Bye semuanya, selamat bekerja," ucap Ava seraya melempar cium jauh melalui kedua telapak tangannya. "Snow, please," ucap Bella memohon. Mata Snow memicing membaca lembaran berkas di tangannya. Ada deretan identitas diri, diagnosis, serta riwayat penyakit terdahulu. Setelah selesai meneliti dengan singkat, Snow langsung tersenyum. Dia mengenal baik siapa pasiennya kali ini. "Kamu aja ya, dia jinak kalo sama kamu," ucap Bella. Snow tertawa, lalu mengangguk. Ini bukan pertama kali Snow harus lembur sejak bertugas di bagian rawat inap. Namun, sudah biasa. Lagi pula, menurut Snow pribadi, ini masih jauh lebih baik dibandingkan saat beberapa tahun lalu. Tahun-tahun awal bekerja, Snow sempat menjadi perawat di instalasi gawat darurat dan di ICU. Kerjanya saat itu terbilang lebih berat, menguras waktu, tenaga, serta emosi. Cukup sering pula dia berhadapan dengan pasien kritis dan kondisi yang terbilang kronis. Namun, kali ini posisi itu sudah digantikan oleh para perawat muda, dan manajemen rumah sakit memindahkan Snow di bagian rawat inap sejak satu tahun belakangan. "Hai, Elizabeth. Ketemu lagi kita," sapa Snow setelah mengetuk dan membuka pintu bertuliskan angka 301. Pasien berusia sekitar enam puluh lima itu hanya menoleh, lalu kembali fokus ke buku di tangannya. Elizabeth adalah pasien langganan yang sudah sangat sering keluar masuk rumah sakit ini. Bisa dibilang semua perawat di bagian admisi, poli rawat jalan, rawat inap, dan laboratorium sudah cukup mengenal Elizabeth. "Taruh aja obatnya di meja, nanti saya minum," ucap Elizabeth tanpa sedikit pun menoleh ke arah Snow. Snow hanya tersenyum. Dia mendekat untuk membenarkan letak oksigen, lalu duduk di sebelah Elizabeth. Wanita tua ini mengidap penyakit paru obstruktif kronis. Cukup sering kambuh. Apalagi, keluarganya bilang, Elizabeth masih belum berhenti merokok. 'Capek minum obat terus, capek terapi oksigen terus, capek keluar masuk rumah sakit terus.' Snow mendengar suara itu ketika dengan sengaja mengusap tangannya. Di saat seperti ini, kemampuan membaca pikirannya cukup berguna juga. Snow bisa memahami perasaan dan keluhan pasien dengan lebih dalam. 'Capek!' Suara itu muncul lagi. Kali ini, Snow bisa mendengar nada yang penuh dengan amarag, stressfull, dan seperti ada rasa depresi. Elizabeth memang terkenal memiliki emosi yang tidak stabil. Dia sering memarahi perawat dan dokter jaga. Tak jarang, dia sering pula menolak makan dan minum obat. Banyak yang tidak bisa menolerir sifat buruk nenek satu ini. Namun, Snow bisa mengerti perasaannya. Mungkin karena inilah Snow menjadi perawat yang paling dekat dengan Elizabeth. "Capek ya?" tanya Snow. "Bosen?" Elizabeth langsung mendongak dan menaruh bukunya di samping kiri. "Iya." Tidak hanya memberikan obat dan memberikan pengasuhan keperawatan, profesi yang Snow geluti juga mengharuskan dirinya menjadi seorang care giver. Ada beberapa pasien yang sangat membutuhkan perhatian khusus, termasuk Elizabeth. 'Aku pengen mati aja rasanya. Lagipula nggak pernah ada yang peduli lagi.' Snow teriris hatinya mendengar isi kepala Elizabeth. Dia selalu sendirian ketika dirawat inap. Anak dan cucunya hanya sesekali datang. Mereka semua menganggap Elizabeth masih bisa melakukan semuanya sendiri. Walau sudah tua dan harus selalu menggunakan oksigen, tapi Elizabeth memang mandiri dan tidak butuh asistensi. "Dianter siapa tadi kesini?" tanya Snow. "Supir." Setelah itu, Elizabeth mulai melancarkan curahan hati dan kekesalannya. Snow masih setia mendengarkan dan menanggapi. Di sela cerita Elizabeth yang panjang lebar, Snow mencuri kesempatan untuk menyuapinya dengan makanan yang sebelumnya sudah disiapkan oleh bagian gizi. Tepat saat cerita Elizabeth usai, Snow lantas menyuruhnya meminum obat. Elizabeth sangat taat dan menurut dengannya. Berbeda sekali dengan pengalaman perawat lain yang katanya pernah dilempar dengan sebuah remot televisi. "Sekarang istirahat," ucap Snow. Elizabeth mengangguk, lalu merebah pada bed yang sandarannya sudah diturunkan. "Makasih banyak. Kadang saya berpikir kalau kamu bisa membaca pikiran," ucap Elizabeth. "Kamu selalu tahu apa yang saya pikirkan." Snow hanya tertawa seolah ucapan Elizabeth adalah lelucon. 'I need a hug.' Elizabeth mengatakan hal itu ketika Snow merapikan selimut. "Sampai ketemu besok," ucap Snow yang lantas memberikan sebuah peluk. "See? Kamu bisa baca pikiran saya." "Oiya? Memangnya mikir apa tadi?" balas Snow pura-pura tidak tahu. Elizabeth memicing, tapi bibirnya tersenyum dengan manis. Dia manis. Sifat aslinya manis. Hanya saja, terkadang dia menjadi sangat mengerikan bagi orang-orang yang tidak bisa memahaminya. "Sampai ketemu besok," ucap Snow. Langit sudah gelap ketika Snow keluar dari rumah sakit. Gio sudah dijemput oleh neneknya. Saat ini, Snow hanya harus mengambil Gio di rumah Isabella dan James, lalu kembali pulang ke rumah. Raffa: Ava udah pulang dari tadi kok kamu baru keluar? Pesan Raffa sudah langsung muncul begitu Snow membuka ponsel. Snow: Ada pasien yang agak unik. Aku harus bujuk dia agak lama biar mau makan sama minum obat. Raffa: Selain kalah dari Gio, aku juga kalah dari pasien kamu. Cowok? Snow tertawa seraya mengetikkan pesan dari ponselnya. Snow: Cewek. 65 tahun. Dia butuh perhatian lebih. Raffa: Ok, dimaklumi. Tapi kamu harus pulang bareng aku. Snow menghentikan langkahnya seketika. Bukan permintaan penuh pemaksaan dari Raffa yang membuat Snow terkejut, karena Raffa memang suka menekan dan Snow sudah hapal sejak dulu. Namun, aatu-satunya hal yang membuat Snow tidak habis pikir adalah keberadaan Raffa di sini. Gila! Raffa terlalu nekat. Sudah Snow peringatkan sejak awal agar Raffa jangan sampai menjemputnya di rumah sakit. Namun, lelaki itu justru dengan keras kepalanya berucap bahwa dia sudah berada di tempat parkir. Snow: Aku nggak mau ambil resiko. Kita ketemu lain kali aja. Raffa: Harus ketemu. Kamu udah bikin aku nunggu 2 jam di sini. Jadi, kamu harus kasih waktumu 2 jam juga buat aku malam ini.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD