Snow berjalan santai menuju tempat parkir. Berusaha tenang dan tak peduli meski ponselnya bergetar dan terus berbunyi. Raffa memang sempat sedikit menggetarkan hati dengan keinginannya yang besar untuk bertemu. Namun, Snow lebih memilih cara aman. Sekeras apapun paksaan dari Raffa, mereka tetap tidak seharusnya bertemu di sini.
Satu kali pencet, kunci mobilnya sudah terbuka, bersamaan dengan nyala lampu yang berkedip satu kali. Tangan Snow sudah terulur untuk membuka pintu. Namun, baru saja akan masuk, Snow justru menyadari ada sesuatu yang salah.
"Shitt!" desis Snow ketika mendapati ban mobilnya kempes.
Snow menoleh kanan dan kiri. Tak ada siapa pun di sini. Jadi, ... ok. Snow tidak punya pilihan lain.
Tangannya lantas terangkat untuk mengikat rambut. Jaket yang semula sudah Snow pakai, kembali dilepas. Setelah itu, Snow menarik dan mengembuskan napasnya panjang. Dia akan menyelesaikan masalah ini sendiri.
Snow bersiap untuk mengganti ban mobilnya. Ada dongkrak, kunci, dan ban mobil serep di bagasi. Walau ini pekerjaan yang dianggap berat, sulit, dan membutuhkan tenaga yang tidak sedikit, tapi Snow pernah melakukannya. Ava bahkan sering menyebut Snow sebagai wanita berjiwa lelaki karena memiliki kemampuan satu ini.
Well, orang pasti berpikir mengganti ban mobil sendiri adalah sesuatu yang mustahil. Namun, nyatanya ketika mempraktekkan langsung, prosesnya tidak sesulit itu. Snow hanya butuh tenaga lebih ekstra dibandingkan para profesional yang bisa memutar baut dengan mudah.
Snow pernah melakukannya. Tak hanya sekali, tapi dua atau tiga kali. Jadi, kali ini, Snow juga akan bisa melakukannya lagi.
Ban mobil sudah Snow siapkan. Satu kantong kunci juga sudah Snow turunkan. Namun, ketika Snow meraih dongkrak, ponselnya tiba-tiba menyala.
"Raffa," lirih Snow seorang diri.
Snow memindai pandangan mata. Snow curiga Raffa ada di sekitar sini. Namun, tidak ada mobil putih yang dia kenal.
"Ciao."
"Strawberry, kamu ngapain bawa-bawa kayak gitu?"
Snow kembali mengedarkan tatapan ke segala arah. "Kamu dimana?"
"Ditanya kok bales tanya. Itu kamu ngapain?"
"Mau ganti ban mobil. Kempes. Kamu dimana?"
"Nggak usah aneh-aneh!"
Snow menjauhkan ponsel ketika mendengar Raffa membentaknya. "Apanya yang aneh? Cuma ganti ban doang."
"Bisa?"
"Bisa."
"Kuat?"
"Kuat, ntar muter kuncinya bisa pake kaki."
"Kamu perawat atau montir?"
Snow tertawa. "Udah ah, aku mau ganti ban mobil dulu."
"Aku pake mobil taxi warna kuning. Parkir di bawah pohon deket pintu keluar parkiran pengunjung."
Kedua mata Snow langsung mengarahkan ke posisi yang Raffa sebutkan. Hitungan detik, Snow sudah langsung bisa menemukan.
"Mobil kamu ditinggal aja, ntar aku suruh orang benerin. Kamu ikut aku."
"Enggak, aku harus jemput Gio di rumah neneknya dulu."
Raffa terdengar mendesah lelah.
"Snow, apa usaha aku kali ini harus gagal lagi?"
Snow diam sejenak. Dia mencoba menelisik apa maksud ucapan Raffa hingga akhirnya Snow berhasil menyimpulkan satu hal.
"Raff."
"Hmm?"
"Kamu sengaja kempesin ban mobil aku?"
"Iya, niatnya biar kayak di film. Kamu bingung, terus aku jadi pahlawan dan kamu mau ikut mobil aku. Tapi kamu malah keluar bawa dongkrak sama kunci. Gimana aku nggak shock."
Snow seketika tergelak dengan suara kencang. Seharusnya Snow marah karena ada manusia yang melakukan kejahatan padanya. Raffa mengaku, dia sengaja membayar seseorang untuk mengempeskan ban mobil Snow sore tadi. Namun, entah mengapa penjelasan Raffa justru membuat Snow tertawa.
Ingin kesal, tapi Snow sama sekali tidak bisa kesal. Sejak mengenal Raffa beberapa tahun lalu, Snow sudah cukup tahu bagaimana perangainya. Memang sedikit extrim, tapi ketidak warasan Raffa-lah yang menjadi salah satu alasan mengapa Snow mencintainya.
"Aku udah sewa mobil taxi juga loh ini. Nggak pengen ketahuan jalan sama aku kan?"
Senyum Snow terlempar ke arah mobil yang kini masih dia tatap. Jika orang lain yang melakukan hal seperti ini padanya, mungkin Snow sudah kabur sejak tadi. Selain penguntit, Raffa juga sedikit sakit jiwa sepertinya. Dia selalu mempunyai cara untuk sekedar menyalurkan kerinduan. Untungnya, lelaki itu ditandai sebagai sosok spesial, si pemilik hati yang entah mengapa akan sah-sah saja walau sudah melakukan berbagai hal di luar nalar.
"Please. Cuma nganter kamu pulang doang. Nggak akan ketahuan. Anggep aja aku supir taxi."
Snow tersenyum sekali lagi. Napasnya sudah ditarik untuk bersiap memberikan jawaban. Namun, baru saja Snow akan berucap, seorang lelaki menepuk bahu dan menyapa Snow dari belakang.
"Snow," sapa Brad, si apoteker muda yang mendekatinya sejak satu tahun lalu. "Ada masalah?"
"Eh, hai, Brad. Ban mobil aku kempes."
"Aku bisa bantu." Brad langsung mengambil alih kunci dari tangan Snow.
"Strawberry, itu cowok siapa?" Raffa menyahut dari telepon. "Kalo dia mau aneh-aneh, aku bakal turun sekarang."
Snow menahan diri untuk tidak mengumpat. Ah, sial! Dua lelaki keras kepala ada di hadapannya di waktu yang bersamaan. Menghadapi mereka akan lebih rumit dan melelahkan dibandingkan mengganti ban mobil sendirian.
"Strawberry, tolak!"
"Iya," bisik Snow pelan.
Tanpa perlu Raffa suruh, Snow juga sudah enggan menerima bantuan dari Brad. Sejak dulu, Snow sudah merasa tak nyaman dengan lelaki satu itu. Walau baik, tapi Brad tidak pernah berhasil sedikit pun menyentuh hati Snow. Rasanya selalu sungkan dan malas untuk sekedar berinteraksi dengannya.
Brad tampak sedang memilih nomor kunci yang pas. Sebelum lebih lama dan lebih jauh berurusan dengannya, Snow lantas mengambil alih peralatan besi di genggaman Brad. Lelaki itu langsung mendongak menatap Snow. Ada sedikit rasa tersinggung, tapi Snow tidak peduli. Lebih baik menolak sejak awal. Snow tidak ingin Brad berpikir bahwa Snow memberikan celah dan harapan.
"Nggak perlu, Brad. Aku udah telepon bengkel langganan aku. Sebentar lagi mungkin sampe sini."
"Kalo gitu, biar mobilnya disini aja. Kamu pulang bareng aku," balas Brad.
"Strawberry." Raffa memanggil seolah sedang memberi peringatan.
"Nggak usah, Brad. Aku udah pesen taxi."
"Bakalan lama kalo nunggu taxi dateng. Sama aku aja ya."
"Lima detik kamu nggak berhenti ngobrol sama tu cowok, aku bakal turun dari mobil," ancam Raffa dari seberang.
Snow mendesah lelah. O Dio mio. Selalu menjengkelkan jika berhadapan dengan makhluk Tuhan bernama laki-laki.
"Udah sampe kok taxi-nya. Kamu pulang dulu aja," ucap Snow kepada Brad.
"Really? C'mon, Snow. Aku anter ya," balas Brad yang lantas meraih tangan Snow.
Tubuh Snow sedikit tertarik. Snow cukup terkejut, karena sejak dulu, baru kali ini Brad berani menyentuhnya dengan cara seperti ini.
'Udah sekian lama aku berjuang, apa kamu nggak sedikit pun mau liat aku? Seenggaknya hargai aku yang udah baik-baik mau bantu dan anterin kamu!'
Snow bisa mendengar Brad mengucapkan sederet kata itu di pikirannya. Sudah kaget, kini Snow semakin dibuat kaget. Ternyata, isi kepala Brad juga mengandung kemarahan dan keegoisan.
'Jangan naif dan sok bersih. Aku yakin nggak ada perempuan yang nggak butuh lelaki.'
Emosi Snow seketika terpancing. Jujur saja, dia sudah merasa tersinggung dengan ucapan Brad walau tidak dilontarkan secara langsung oleh mulut.
"Brad, sorry." Snow berucap seraya berusaha melepaskan tangannya.
Di detik yang sama, Snow mendengar Raffa mengumpat kasar. Setelah itu, suara pintu mobil yang dibuka dan ditutup kencang juga terdengar dari telepon yang masih tersambung. Damn! Raffa turun dari mobil.
"Brad!" pekik Snow yang lantas menarik kencang tangannya secara paksa. "Sorry, aku udah bilang kalo aku udah dijemput taxi."
"Tapi, Snow-"
"Sorry," pungkas Snow yang masih berusaha bersikap baik, tapi tetap terkesan tegas. Biar bagaimanapun, Brad adalah rekan kerjanya. "Dan harusnya kamu bisa lebih sopan, Brad."
Tanpa menunggu Brad menjawab, Snow langsung berbalik. Dia lantas mengembalikan kunci dan dongkrak ke bagasi mobil, lalu segera berjalan ke arah tempat parkir pengunjung. Raffa masih menatapnya dari kejauhan. Sebuah masker hitam terpasang di wajahnya, tapi Snow bisa melihat wajah Raffa yang tampak marah.
"Masuk mobil dulu buruan. Brad pasti masih liatin aku," ucap Snow.
Raffa tidak menjawab, tapi dia menurut.
"Itu tadi siapa?" tanya Raffa begitu Snow masuk ke dalam mobil.
"Brad. Apoteker disini."
"Kalo urusan kerjaan nggak masalah, tapi kalo sampe nganter pulang ke rumah kok udah nggak wajar ya," ucap Raffa ketus.
Snow menarik napas panjang. Sudah lama sekali dia tidak merasakan bagaimana rasanya dicemburui oleh seorang lelaki. Ada sensasi aneh, sedikit risih, tapi tidak bisa dipungkiri kalau hati Snow cukup berbunga. Sikap Raffa tak ayal membuat Snow berarti dan berharga.
"Kok diem?" tanya Raffa.
Bibir Snow pada akhirnya tersenyum, lalu menoleh ke arah Raffa. "Kan ini aku pulang sama kamu jadinya."
Raffa masih ingin memperpanjang masalah ini. Namun, sepertinya tidak perlu. Mata dan telinganya juga sudah menyaksikan sendiri kalau Snow memang menolak Brad. Jadi, ... ok. Dimaafkan.
"Jemput Gio dimana?" tanya Raffa yang kini sedang bermanuver untuk keluar dari tempat parkir.
"Di rumah Isabella. Tapi ... aku nggak yakin kamu beneran bakal nganter aku sampe sana."
"Kenapa enggak?"
"Ya kan ... ." Snow menggantung ucapannya.
"Kan udah aku bilang, anggep aja aku supir taxi. Ntar kalian duduk belakang. Isabella juga nggak mungkin ngecek muka aku, nggak mungkin tanya-tanya juga."
Jawaban Raffa cukup logis dan berdasar. Namun, tetap saja ada sedikit rasa aneh. Apakah hal ini sudah termasuk dalam kebohongan? Entahlah. Nyatanya hati Snow sedikit merasa bahagia duduk satu mobil bersama Raffa. Saat ini masih sedikit. Belum banyak. Entah nanti.
"Mampir ke apartemen aku bentar ya. Nggak ada siapa-siapa kok. Tim aku ngumpulnya di rumah," ucap Raffa seraya menyalakan lampu sein kiri.
"Nggak mau!" debat Snow. "Udah ditunggu Gio."
"Cuma bentar."
"Raff, enggak."
Snow tetap berusaha menolak. Walau Raffa beralasan hanya akan mengambil barang yang tertinggal, tapi Snow tidak akan mau menginjakkan kaki di kandang macan. Bisa habis Snow diterkam.
Sayangnya, baru Snow tahu kalau ternyata apartemen Raffa cukup dekat dengan rumah sakit. Tepat setelah belokan perempatan pertama, mobil mereka sudah masuk ke arah basement. Tentu sia-sia saja Snow mendekatkan tubuh untuk mencekal lengan Raffa.
"Aku panggil taxi beneran aja. Taxi yang ini nggak profesional," gerutu Snow.
Raffa tertawa. "Cuma mau ngambil aerodrums. Nunggu di sini aja kalo takut aku makan."
Mata Snow memicing. Namun, hingga Raffa naik dan turun dari lift, dia memang tidak melakukan hal yang macam-macam. Raffa hanya tampak terburu seraya membawa sebuah kotak berukuran sekitar tiga puluh senti. Dia dan timnya akan menggarap beberapa projek video katanya.
"Mau pindah duduk belakang nggak?" tanya Raffa seraya membuka pintu.
Snow diam dan menatap Raffa bingung.
"Katanya nggak mau ketahuan. Ntar kalo kakek neneknya Gio liat kamu duduk di depan kan aneh. Mana ada penumpang taxi duduk di kursi depan, padahal kursi belakangnya kosong," lanjut Raffa.
Kepala Snow mengangguk. Snow harus mengapresiasi skenario yang Raffa susun dengan sangat rapi. Setelah turun, Snow lantas masuk ke kursi belakang yang pintunya sudah terlebih dahulu Raffa buka.
Perasaan Snow menangkap sebuah keanehan. Namun, dia belum bisa mengartikan keanehan seperti apa yang Raffa lakukan. Lelaki itu tampak bersikap dengan wajar. Dia menutup pintu depan, lalu berjalan berputar menuju sisi stir mobil yang berada di sebelah kiri. Namun, ketika Raffa justru membuka pintu belakang dan duduk di samping Snow, barulah Snow sadar atas kejanggalan yang sejak tadi sudah dia endus.
"Kamu mau ngap-"
Belum selesai Snow bicara, Raffa sudah mendorong tubuh Snow untuk merebah. Ah, sial! Snow kurang perhitungan. Di hari kedua pertemuan mereka, Raffa sudah kembali berhasil mengendalikan dirinya.
"Aku suka liat kamu pake seragam," bisik Raffa seraya mencium bagian telinga dan leher bagian samping.
'Sexy. Persis kayak waktu kamu pakai seragam kapal di malam pertama kali kita ketemu.'
Tubuh Snow berubah lemas begitu mendengar kelanjutan ucapan Raffa yang tidak tersampaikan dan hanya tersimpan di kepala. Apalagi ketika Raffa menekan tubuhnya dari atas dan menenggelamkan Snow dalam sebuah pelukan. Snow bisa merasakan sedikit demi sedikit suhu udara dalam mobil mulai naik.
"Udah ditunggu sama Gio, Raff," ucap Snow yang masih berusaha menyadarkan Raffa.
"Dua puluh menit. I promise. Nggak sampe dua jam kayak kamu bikin aku nunggu."
"Non."
"Dua puluh menit nggak akan bikin Gio bosen nunggu. Trust me."
Tepat setelah itu, Raffa mendaratkan bibirnya yang panas pada pipi, dagu, dan turun ke atas dadaa yang kancingnya baru saja Raffa lepas. Raffa hanya melakukan gerakan-gerakan yang biasa. Namun, sensasi yang diciptakan tidak pernah membosankan.
Snow sempat meraih ponsel guna melirik apakah Isabella menghubunginya atau tidak. Jika ada sesuatu pada Gio, dia pasti menelepon. Entah harus bersyukur atau mengumpat, Isabella justru berucap bahwa dia sedang mengajak Gio makan di restoran dekat playground. Katanya, mereka akan pulang dua puluh menit dari sekarang.
Raffa ikut membaca pesan Isabella, dan langsung menyeringai dan melepaskan tawa. Sungguh, ini adalah kebetulan yang teramat 'sialan!'. Snow kalah telak sudah.
"See?" ucap Raffa. "Aku sebut ini takdir."
Snow membuang wajah, tapi Raffa kembali menangkup kedua pipi Snow untuk bisa mencecap bibir yang dari tadi terus menggerutu. Lumatan dan pagutan pasti akan berhasil mengubah perkataan penuh amarah mejadi rentetan desah.
Snow tidak berinisiatif mengimbangi permainan dari Raffa. Untuk saat ini, dia hanya berperan sebagai penerima, bukan pemberi. Sempat beberapa kali Snow menepis tangan yang sedang berusaha menanggalkan pakaian. Namun, Raffa lantas menyeringai senang ketika Snow sudah langsung gemetar oleh sentuhannya.
"Berhenti mikirin sesuatu yang nggak perlu dipikirin. Saat ini, cuma ada aku dan kamu," ucap Raffa.
Kilat lampu kekuningan membuat bahu putih milik Snow berubah warna menjadi tembaga. Rambut yang semula terikat, kini sudah terurai tak teratur. Mulutnya yang setengah terbuka lantas berusaha mencari kebebasan bernapas saat Raffa menyudahi pagutan yang cukup panjang.
Snow dan Raffa sama-sama tidak bisa lepas dari kenangan lima tahun yang lalu. Mereka seperti ingin mengulangi lagi dan lagi. Bayangan keintiman itu seperti sebuah kekayaan. Bukan berupa materi, tapi kekayaan tersembunyi yang tak kalah berharga, yaitu pengalaman bercinta yang tidak tergantikan oleh siapa pun juga.
'Let me in.'
'Let's feel each other.'
'Let's be free.'
Sempat ada keraguan. Namun, ketika Raffa terus membujuk melalui isi pikirannya, Snow tidak bisa lagi menyangkal kalau dirinya juga menginginkan Raffa. Berbekal gerakan yang sedikit terburu, mereka berdua lantas membaur tanpa ada rasa kekhawatiran.
Tatapan mata yang penuh dengan desakan kehendak semakin membuat hati Snow melunak. Biarlah. Biar saja. Biarkan kali ini dirinya merasakan bagaimana rasanya ... terbang.