3. Dangerous Touch

1363 Words
"Lepas!" Snow menepis kasar genggaman tangan Raffa. Walau belum menemukan jawaban tentang siapa lelaki itu, tapi Snow sudah tidak mau lagi mendengar lebih banyak tentang isi kepalanya. Semuanya terlalu aneh, sekaligus terlalu mengerikan. Berciuman? Dengan Raffa? Ini mustahil. Raffa pasti salah orang. "Udah ya. Cukup. Aku harus pergi," ucap Snow. "Enggak, Snow. Bentar." Raffa terus berdiri di hadapan Snow untuk menghalangi jalan. Walau dia sudah bergeser ke kanan dan kiri, tapi Raffa selalu berhasil mencegah Snow pergi. "Kita perlu bicara, Snow." "Tentang?" "Tentang kita." Snow terkekeh. "Kita? Ada apa dengan kita? Kamu mabuk kayaknya." "Kamu lupa kita pernah sedekat apa?" Kepala Snow lantas menggeleng seraya tertawa hambar. "Raff, aku yakin kamu salah orang. Udah ya, permisi. Aku harus pergi." Kaki Snow segera bergerak cepat mencari celah untuk kabur. Namun, lengannya kembali dicekal oleh Raffa dengan cengkeraman yang lebih kencang. Setelahnya, kepala Raffa sengaja mendekat ke arah telinga kanan Snow. "Aku nggak mungkin salah orang, Snow Estelle," bisik Raffa. Tubuh Snow seketika menegang. Raffa menyebut nama panjangnya secara gamblang. Bukan lagi hanya di pikiran. Sungguh, Snow tidak ingin tahu lebih jauh tentang Raffa. Lelaki satu itu terlalu berbahaya. Ingin memberontak pergi, tapi kakinya terasa seperti terpatri. Tak bisa bergerak, tak bisa terangkat. "Aku masih ingat baik-baik setiap senti wajah dan tubuh kamu," ucap Raffa tepat di telinga Snow. Kedua bibir Snow terkatup rapat, tak bisa menjawab. Pandang matanya terlempar lurus ke depan, enggan melihat lelaki yang kini menatapnya lekat-lekat. Snow masih ragu dengan kebenaran ucapan Raffa. Namun, lelaki itu terus berbicara seolah mereka memang pernah dekat sebelumnya. "Aku masih inget mata kamu yang biru," ucap Raffa. Snow membuang wajah. Matanya refleks berkedip dengan cepat. "Aku masih inget bentuk dan warna bibir kamu yang nggak pernah pake lipstik." Dadaa Snow mulai berdesir. Tubuhnya mulai meremang mendengar bisikan demi bisikan dari suara Raffa yang rendah dan berat. "Dan ... ." Raffa menggantung ucapannya. Tangannya lantas bergerak naik mengusap bibir bawah milik Snow. "Aku juga masih inget gimana rasanya." Kaki Snow refleks melangkah mundur. Tubuhnya semakin terasa lemas. Namun, Snow tetap berusaha sekuat tenaga untuk mengenyahkan jemari Raffa dari bibirnya. Ketika Raffa berusaha mendekat lagi, tangan Snow lantas terangkat menahan tubuh Raffa di bagian pundak. "Raff," lirih Snow seraya terus menggelengkan kepala. Sebuah senyum tipis tercetak di bibir Raffa. Dia tahu kalau Snow mulai ketakutan. Namun, Raffa tetap enggan berhenti. Sejak awal melihat Snow di bandara tadi, Raffa sudah bersumpah pada dirinya sendiri untuk kembali mendapatkan Snow lagi. "Kenapa?" tanya Raffa. "Aku nggak peduli siapa kamu. Aku juga nggak peduli sama cerita karangan kamu itu. Jadi, tolong pergi." "Karangan? Aku bicara soal kenyataan, Snow." Kepala Snow menggeleng. "Terserah, Raff. I don't care at all." Snow segera bergegas menghindar dari tubuh besar di hadapannya. Namun, jeratan tangan Raffa kali ini berkali lipat lebih kuat. Tak hanya mencengkeram lengan, Raffa juga meraih tubuh Snow dengan gerakan seperti memeluk. "Lepas!" Snow berusaha memberontak. "Nggak akan." "Aku bisa teriak panggil security." Raffa justru terkekeh pelan mendengar ancaman Snow. Wanita di hadapannya memang sudah tampak gemetar. Tak hanya tubuhnya, melainkan juga suaranya. Ada sedikit rasa sesal dalam hati Raffa karena telah membuat Snow takut. Namun, mau bagaimana lagi? Snow terlalu menggemaskan di matanya. "Ok, maaf," ucap Raffa. "Aku bisa ngerti kalo kamu pasti nggak tau siapa aku." Snow mendongak menatap wajah Raffa. Walau sudah merasa sangat terancam, tapi Snow masih ingin tetap tampak berani. "Iya. Aku nggak tau kamu, dan aku juga nggak mau tau," jawab Snow. Raffa tersenyum. "Tapi ... kamu pasti tau seorang lelaki yang bernama ... Balthazar." Napas Snow seketika tertahan. Snow tentu saja tahu. Snow ingat. Sangat ingat. Bahkan, Snow masih hapal di luar kepala cerita ketika pertama bertemu dengannya hingga akhirnya mereka berpisah. Tubuh Snow sedikit limbung. Raffa berusaha memeganginya, tapi Snow menolak. Lebih baik Snow tetap bertahan di atas kakinya yang sudah sangat lemas. "Kamu?" tanya Snow. Kedua bibir Raffa melengkung. Matanya semakin dalam mengunci pandang pada manik biru yang masih membola. "Kamu ... lelaki itu?" tanya Snow sekali lagi. Raffa lantas mengangguk. "Iya. Lelaki yang nomornya udah kamu blokir." Kedua tangan Snow lantas terangkat meremas rambut. Kejutan hari ini terlalu mengejutkan. "Gi-gimana? Gimana bisa?" Senyum Raffa lagi-lagi mengambang. Alih-alih menjawab ucapan Snow, Raffa justru kembali menarik tangannya. "Raff, jelasin dulu." "Ikut aku dulu, My Beatrice." Raffa sengaja menyematkan nama Beatrice di akhir kalimatnya. Semula, Snow masih bersikeras melawan tarikan tangan lelaki asing di hadapannya. Namun, sejak Raffa menyebut nama itu, Snow seperti tidak memiliki kekuatan untuk menolak. Tak hanya tubuhnya yang berhenti melawan. Namun, kedua kakinya juga secara suka rela melangkah mengekori Raffa. Rasa keterkejutannya bercampur menjadi satu dengan rindu. Memang, Snow masih sangat penasaran tentang bagaimana cerita dibalik kemunculan Raffa kali ini. Namun, otaknya kini lebih didominasii oleh kenangan penuh kehangatan yang pernah mereka jalin. Bisikannya, pelukannya, dan ciumannya. Semua kembali berputar di kepala. Snow seperti merasakan ulang sensasi luar biasa yang pernah terjadi di waktu yang sangat singkat. Sungguh, Snow tidak bisa menjinakkan ingatan liar tentang bagaimana cara lelaki itu menyentuhnya dulu. Begitu keduanya sampai di sisi mobil berwarna abu-abu, Raffa langsung menuntun Snow untuk masuk. Satu detik setelah pintu tertutup, Raffa tidak membuang waktu untuk segera merengkuh tubuh wanita di sampingnya. Snow sempat merasa canggung. Raffa masih terasa seperti orang asing baginya. Namun, ketika mencium aroma tubuh yang sudah Snow kenal, kedua tangan Snow akhirnya bersedia membalas dekapan. Di dalam mobil yang terkunci dari dalam, keduanya hanyut dalam pelukan panjang. "I miss you, Snow." Snow tidak menjawab, tapi dia tampak mengeratkan tangan. Kali ini, apa yang ada di pikiran Raffa sama persis dengan apa yang mulutnya katakan. "Seneng banget bisa ketemu kamu lagi," bisik Raffa. Kedua mata mereka saling memejam. Sambil terus melingkarkan tangan, Raffa mulai meraba pelan punggung Snow demi menciptakan kehangatan. Sedikit demi sedikit, telapak tangan Raffa mulai menyelinap di balik hoodie yang Snow kenakan. Raffa tentu sudah tahu bagaimana bentuk tubuh Snow yang kini tertutupi. Bahkan, Raffa bisa menggambarkan dengan jelas meski kedua matanya terpejam. Sepasang insan itu masih saling memberikan peluk. Raffa mulai menunjukkan gerak-gerik penuh gairah, sementara Snow lebih tampak pasrah. Geliat aneh mulai Snow rasakan ketika bibir hangat Raffa mendarat di pelipisnya. Tak sampai di situ, Raffa juga mengabsen setiap inchi kulit wajah Snow di bagian pipi, leher, dan berakhir di telinga. Kecupannya lembut dan pelan. Tak ada gerak terburu-buru meski Snow bisa merasakan napas Raffa yang sudah mulai memburu. 'I want you.' Snow mendengar Raffa mengatakan itu di kepalanya. Tentu saja Snow sudah tahu kemana arahnya. Namun, Snow tidak merasa keberatan. Raffa seperti berhasil menyihirnya dengan sentuhan yang penuh gelora. Tanpa perlawanan, Snow lantas membiarkan tangan Raffa menangkup kedua wajahnya. Mata mereka beradu. Keduanya sama-sama tahu keinginan masing-masing. Kerinduan dan kehausan bercampur menciptakan rasa ingin saling memberikan kenikmatan. 'Lebih dekat.' Pikiran Raffa berbicara seraya sedikit menarik wajah Snow ke arahnya. 'Lagi.' 'Lebih dekat lagi.' 'Sedikit lagi.' Apa yang Snow dengar dari kepala Raffa benar-benar menjelma seperti mantra. Snow seperti hanya bisa menurut saja dan mengimbangi Raffa untuk saling mempertemukan kedua bibir mereka. Sejak pertama kali membaca pikirannya, Snow sudah menduga kalau lelaki ini tidak biasa. Snow memang memiliki kemampuan spesial dari sentuhannya. Namun, sentuhan Raffa ternyata jauh lebih ajaib. Raffa seperti mampu mempengaruhi jiwa Snow. Semakin lama menyentuh dan membaca pikiran Raffa, Snow justru semakin hanyut dan menurut. Apa yang Raffa katakan di kepalanya, seolah memiliki pengaruh besar untuk membuat Snow takluk. 'Kiss me.' Napas Snow sudah tertahan selama sekian detik. Matanya masih menatap lurus ke arah Raffa yang sudah memejam. Hampir saja bibir mereka bersentuhan. Untungnya, Snow berhasil menarik paksa kewarasannya. "Enggak, Raff." Snow segera melepaskan diri. Tangannya sedikit mendorong tubuh Raffa agar menjauh. Tak peduli dengan tatapan mata Raffa yang masih berkabut, Snow lantas membalikkan badan dan membuka pintu mobil. "Snow, tunggu dulu." Meski enggan menjawab, tapi Snow masih berkenan menoleh. Sebelah tangannya sudah berpegangan pada pintu mobil. Namun, tangan satunya masih dicekal oleh Raffa. "Maaf, kalo bikin kamu nggak nyaman," ucap Raffa. "Tapi kita perlu bicara." Snow tidak menjawab. Dia memang masih butuh penjelasan dari Raffa. Namun, Snow benar-benar takut kembali hanyut dalam hal yang seharusnya tidak lagi keduanya lakukan. Snow tahu kalau jika sekali saja tenggelam, dirinya tak akan bisa terselamatkan. Tatapan mata Raffa, ucapannya, isi kepalanya, dan sentuhannya ... terlalu berbahaya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD