Keadaan Rafael semakin membaik. Rafael menyisir rambutnya di depan cermin. Kemudian merapikan kemejanya dan menyemprotkan parfum di area tertentu. Hari ini ia berangkat ke kantor diantar oleh sopirnya.
Rumah mewah yang di setiap ruangannya di d******i warna hitam dan putih sangat indah, namun sepi karena hanya ditinggali oleh Rafael. Rafael anak pertama dari tiga bersaudara. Rafael mempunyai satu adik laki-laki dan satu adik perempuan. Kedua adik dan orang tuanya tinggal di Pekanbaru.
Asisten rumah tangganya tidak menginap, hanya datang setiap pagi lalu pulang sore. Dan juga sopirnya hanya datang jika Rafael menelpon karena membutuhkannya.
Rafael menuruni anak tangga rumahnya dan berjalan ke meja makan. Kemudian Rafael sarapan dengan roti isi daging yang telah disiapkan oleh asisten rumah tangganya.
Setelah sarapan Rafael bergegas ke mobilnya. Dan duduk di bangku penumpang.
"Berangkat sekarang!" suruh Rafael.
"Baik, Pak," ucap sopir Rafael.
"Sudah beli pizzanya?"
"Sudah Pak, ada di belakang."
"Oke. Kita mampir ke taman kota sebentar."
Sebelum berangkat kerja ke kantor. Rafael meluangkan waktunya sebentar mampir ke taman kota tempat ia bertemu dengan anak jalanan kemarin.
Tanpa sadar Rafael tersenyum. Ia ingin segera menemui Zahira.
Sepuluh menit berlalu, Rafael pun sampai di taman kota. Tapi hanya ada beberapa anak di sana dan tidak ada Zahira.
Rafael turun dari mobil dan menghampiri mereka.
"Kak Rafael!" panggil Arka salah satu anak jalanan.
"Arka, kok sepi yang lain mana?"
"Ada kok kak lagi main-main di sana," ucap Arka sambil menunjuk beberapa temannya yang sedang lari-larian.
"Kak Zahira mana?"
"Kemarin kak Zahira kesini dia bilang kalau hari ini tidak bisa kemari karena ada hal penting."
"Hal penting apa?
Arka menggelengkan kepalanya.
"Kak Rafael bawain kalian pizza, ayo panggil yang lain suruh kesini."
Kemudian Arka memanggil teman-temannya.
Teman-temannya terlihat senang saat melihat Rafael datang. Dari kejauhan mereka berlarian dan menyerbu Rafael.
"Sebentar ya kakak kasih sesuatu buat kalian."
Kemudian sopirnya membawakan pizza di bantu dengan Rafael. Rafael membagikan pizzanya kepada anak-anak tersebut.
Setelah membagikan pizza Rafael pun pamit dan kembali masuk ke mobilnya.
"Pak, kita ke Morning Bakery sebentar ya."
"Baik, Pak."
Rafael mencoba menelpon Zahira namun tak di angkat. Rafael khawatir sebenarnya hal penting apa sampai Zahira tidak mengangkat teleponnya.
Terlihat bakery Zahira yang baru saja dibuka oleh stafnya. Rafael bergegas keluar dari mobil dan menghampirinya.
"Permisi," sapa Rafael.
"Ada yang bisa saya bantu?" tanya staf bakery.
"Zahira ada?"
"Mbak Zahira sedang reuni dengan teman alumni SMA di Bogor."
"Reuni? Kira-kira pulangnya kapan?"
"Sepertinya nanti malam pulang."
"Kalau begitu terima kasih." Rafael pamit.
"Ya Mas, sama-sama."
***
Sore telah tiba, kegelapan pun menyelimuti, tanda siang menjadi malam. Beberapa anggota reuni sudah pulang termasuk Zahira dan Iren.
Zahira dan Iren dalam perjalanan pulang ke Jakarta. Zahira mengaktifkan ponselnya karena dari semalam ia matikan.
Banyak sekali pesan dan panggilan masuk yang tak terjawab. Mulai dari Iren, Dante, dan Rafael. Rafael di posisi teratas dengan dua belas pesan dan delapan panggilan tak terjawab.
Tanpa sadar Zahira tersenyum. Salah satu pesan yang menarik perhatian Zahira adalah Rafael.
Rafael
'Zahira, kau dimana? aku sedang di taman kota tempat biasa menemui anak jalanan tapi kau tidak ada disana.' 08:07.
"Cieeee, siapa tuh?" tanya Iren kepo sambil melirik ponsel Zahira.
"Rafael," jawab Zahira.
"Rafael lagi, Rafael lagi," gerutu Iren.
"Hussh, kau ini tidak boleh manggil dia Rafael, dia itu kan atasanmu."
"Lalu?"
"Panggil 'Pak' lah, Pak Rafael!" jelas Zahira.
Iren mencebikkan bibirnya. "Aku nggak nyangka, ternyata Rafael yang kita ceritakan itu orang yang sama."
"Dunia ini memang sempit ya Ren."
Iren melirik Zahira sekilas kemudian fokus menyetir kembali.
"Aku nggak tahu sama perasaanku sendiri Ren," ucap Zahira sendu.
"Maksudmu?"
"Aku selalu menampik rasa suka kepada Rafael. Tapi setelah tahu kalau Jelena tunangan Rafael aku merasa cemburu. Padahal aku bukan siapa-siapanya dia," ucap Zahira menghela nafas berat, membuang muka keluar jendela mobil.
"Apa salah?" ucapnya lagi.
"Cinta itu bisa datang kapan saja, dari mana saja. Bisa dari orang-orang terdekat di sampingmu atau juga seseorang yang baru saja dikenal. Tapi yang namanya cinta itu tidak ada yang salah."
"Apa aku tidak salah mencintai Rafael? Dia sudah memiliki tunangan."
"Cinta itu relatif. Tapi yang pasti cinta tak harus memiliki."
"Kau benar! Mencintai dalam diam mungkin lebih baik," lirih Zahira.
"Kalau orang Jawa bilang 'witing tresno jalaran soko kulino' artinya cinta tumbuh karena terbiasa."
"Maksudnya?"
"Kau bisa cinta dengan Rafael karena terbiasa bertemu dengannya."
"Aku juga terbiasa bertemu dengan lelaki lain tapi aku tidak mencintainya," protes Zahira.
Iren menatap Zahira datar. "Karena kau bertemu lelaki lain dan berinteraksi biasa. Coba dengan Rafael kau bahkan berinteraksi intes dengannya maka dari itu bisa tumbuh benih-benih cinta," sindir Iren.
"Iya juga, kenapa kau jadi bijak seperti ini?"
"Aku kan memang bijak kalau kau lupa."
***
Jam menunjukkan pukul tujuh malam. Iren mengantar Zahira kembali ke apartemennya.
Zahira keluar dari mobil dan melangkahkan kakinya masuk ke lobi apartemen. Zahira kemudian masuk menaiki lift. Walau sangat lelah wajah Zahira masih terlihat cantik.
Lift kemudian terbuka, Zahira segera keluar. Zahira ingin masuk ke apartemennya namun ada seorang lelaki yang berdiri di depan pintu apartemennya sambil memainkan ponselnya.
Zahira sontak terkejut. Lelaki yang beberapa hari ini memenuhi pikirannya sudah ada di depannya masih dengan setelan kerjanya. Dengan kemeja putih yang digulung sampai ke siku, dua kancing teratas kemeja yang terbuka dan dengan rambut yang sedikit berantakan. Sungguh terlihat sangat sexy di mata Zahira.
Zahira mendekat. "Rafael," panggil Zahira.
Rafael mendongak mengalihkan tatapan dari ponselnya. Rafael tersenyum. "Zahira kau sudah pulang."
"Kau ngapain disini?"
"Menunggumu"
"Menungguku?" Zahira memastikan.
Rafael tertawa kecil. "Tidak bolehkah aku menemuimu?"
Zahira tersenyum kemudian membuka pintu apartemennya. "Kalau begitu ayo masuk."
Rafael pun masuk ke apartemen Zahira.
"Kau sudah sembuh?" tanya Zahira setelah mereka berdua duduk di sofa.
"Darimana kau tahu kalau aku sakit?" Rafael bukannya menjawab malah balik bertanya.
"Jelena, kemarin dia mampir ke toko dan mengatakan kalau kau sedang demam."
"Iya aku sudah sembuh."
"Kau mau minum apa?" tawar Zahira.
"Tidak perlu, aku hanya sebentar. Aku tadi ke bakery dan salah satu staf mengatakan bahwa kau sedang reuni di Bogor. Dia bilang malam ini kau pulang," ucap Rafael.
Zahira mengangguk-anggukkan kepalanya. "Baru pulang kerja?"
"Iya, dan aku menyuruh sopirku mengantar kesini sebelum pulang kerumah. Aku hanya memastikan kalau Ibu anak-anak baik-baik saja," goda Rafael.
Mendengar kalimat yang dikatakan Rafael sontak pipi Zahira bersemu merah, semerah tomat.
"Jangan mengatakan Ibu!" tukas Zahira.
"Kenapa?"
"Aku geli."
Rafael terkekeh melihat ekspresi malu-malu Zahira.
Tiba-tiba suara bel interkom apartemen bunyi. Zahira beranjak dari duduknya dan segera membuka pintu.
"Satya?!"
Satya tersenyum. "Kau sudah sampai kenapa tidak mengabariku?"
"Ponselku mati."
"Aku membawa kan cemilan untukmu."
"Terima kasih." Zahira menerima beberapa cemilan yang dibawakan oleh Satya.
"Siapa Zahira?" tanya Rafael. Suara bariton dari dalam mengejutkan Satya.
"Ada siapa di dalam?" tanya Satya.
"Teman aku, sekedar mampir."
"Laki-laki?"
Zahira menganggukkan kepala pelan.
"Ada siapa Zahira?" tanya Rafael penasaran.
"Teman aku Raf." Kemudian Rafael beranjak dari sofa dan melihat siapa yang datang.
Saat akan membalikkan badan Zahira melihat Rafael mendekat. "Rafael, kenalin ini Satya teman aku," ucap Zahira.
Rafael tersenyum ramah. "Rafael," ucap Rafael memperkenalkan diri sambil mengulurkan tangan kanannya.
"Satya." Satya menjabat uluran tangan Rafael.
"Ayo masuk dulu!" ajak Zahira.
Satya memperhatikan penampilan Rafael dari atas hingga bawah. Rafael yang ditatap seperti itu merasa risih. Pikiran Satya berkecamuk tak karuan, penampilan Rafael dan Zahira seperti habis melakukan sesuatu yang tidak-tidak. Padahal nyatanya terlihat wajah lelah Zahira yang baru saja pulang reuni dan Rafael yang baru saja pulang kerja.
"Tidak perlu, terima kasih, aku pamit," tolaknya.
"Kan baru saja sampai," ucap Zahira.
"Lain kali kalau ada waktu aku mampir lagi."
"Hati-hati di jalan!" Zahira melambaikan tangannya.
"Dia siapamu Zahira?" tanya Rafael setelah kepergian Satya.
"Teman aku waktu SMA."
"Ohh, aku juga pamit ya Zahira, kau pasti kelelahan karena baru pulang reuni."
"Baiklah, kau juga pasti kelelahan karena baru pulang kerja. Kalau begitu hati-hati dijalan!"
"Bye Zahira!" Rafael melambaikan tangannya.
Sepergiannya Rafael, Zahira tersenyum geli. Rafael datang hanya memastikan keadaan dirinya baik-baik saja atau tidak. Perhatian kecil itulah yang membuat Zahira menjadi nyaman.