01. New life

1728 Words
“Hanya takdir yang bisa menentukan apa arti pertemuan kita, dan bagaimana takdir mengatur alurnya.” ---- Tania hampir kesiangan di hari pertama ospek. Pasalnya, ia baru tiba dari Bandung pukul dua dini hari. Alhasil, ia hanya dapat jatah tidur yang singkat. Beruntung, semua barang memang sudah tiba terlebih dahulu di Jakarta. Jadi, ia tinggal menyiapkan sedikit perlengkapan OSPEKnya. Saat ini, Tania tengah menyiapkan atribut lengkapnya. Kemeja putih, rok hitam dan sepatu hitam yang akan ia kenakan selama OSPEK berlangsung. Seminggu sudah berlalu sampai akhirnya Tania resmi menjadi mahasiswi Universitas Pancasila. Welcome to new life, Tania! Hari baru dan rutinitas baru. Tania bukan lagi anak sekolah menengah atas sekarang. **** Bruggg... Tania tersungkur di lantai karena tabrakan yang cukup keras. Ia kesal karena pada saat ia susah payah berusaha untuk bangun, orang yang menabraknya malah berlalu seperti tanpa dosa. Tania berteriak kesal ke arah sang penabrak yang ternyata seorang lelaki sebayanya, yang bisa ia tebak jika lelaki itu juga sama-sama mahasiswa baru. "Eh, kalau jalan hati-hati dong! Mana watados lagi." Namun, dengan santainya lelaki itu tetap berlalu meninggalkan Tania yang masih terduduk di lantai. "Woy!!!" teriak Tania lagi. "Lo budeg apa gimana, ha?" Tania berdiri sambil menepuk celananya yang kotor akibat terduduk di lantai. Warna putihnya kontras dengan kotoran kecoklatan yang menempel dari lantai. Sesaat setelah itu, sang penabrak pun menoleh dan berbalik arah kemudian menghampiri Tania yang tengah bersungut-sungut. "Apa lo bilang? Gue budeg? Lo tuh kalau jalan grasa-grusu kayak maling dikejar warga." Lelaki itu balik memaki Tania. Tania juga tak kalah emosi tentunya, "Mulutnya lemes banget sih, Mas?" cibirnya. Rasanya Tania ingin sekali menonjok wajahnya. Tetapi, berhubung ini hari pertamanya sebagai mahasiswi, ia tak mau mencari perkara. "Terserah!" Bukannya meminta maaf, lelaki itu malah pergi begitu saja meninggalkan Tania yang masih dongkol setengah mati. Sepanjang jalan, gadis yang bernama lengkap Tania Clarissa itu masih mengumpat mengutuki lelaki sengak yang sudah menabraknya itu. **** "Dorrr..." Tania yang sejak tadi menggerutu pun melonjak kaget karena Vanya, sahabatnya menepuk bahunya agak keras untuk mengejutkannya. "Kenapa sih, lo pagi-pagi udah marah-marah aja?" tanya Vanya. "Sebel!" Tania sudah terlalu bad mood kalau harus menceritakan kejadian yang menimpanya tadi kepada Vanya. Vanya dan Tania sudah bersahabat sejak kecil. Hingga saat kuliah pun, Vanya memutuskan kuliah di Jakarta bersama Tania. Padahal, niat sebelumnya, ia akan berkuliah di tempat asal ibunya, Semarang. "Oke, Vanya bawel. Gue jawab. Jadi gini..." Tania bercerita panjang kali lebar kali tinggi pada Vanya agar keponya tak semakin menjadi-jadi. Vanya celingukan mencari lelaki yang Tania maksud. "Yang mana cowoknya, Tan?" "Eh, dari dulu kan gue udah bilang, JANGAN PANGGIL GUE TAN! Gue bukan orang utan. Paham?!" Tania menegaskan kata-katanya, karena ia memang lebih suka dipanggil Tania. "Iya deh!" Vanya cekikikan sambil mengacungkan kedua jari membentuk huruf V. "Tapi, tadi lo gak marah ah gue panggil Tan," goda Vanya lagi. Sepertinya melihat Tania semakin kesal adalah hobinya. "Itu gue lagi emosi!" Tania mendelik sebal. "Ternyata kalo lagi emosi lo bloon juga ya?" Vanya cekikikan lagi persis kuntilanak di film horror. "Cih, mending gue bloon kalo lagi emosi, nah lo kan bloon sepanjang masa." Tania mencibirnya balik. Vanya mendelik kesal sedangkan Tania tertawa puas karena berhasil membuat sahabatnya itu kesal. Satu sama. Baru saja moodnya membaik, lelaki yang tadi membuat otaknya hampir meledak, tiba-tiba lewat di depannya. Seperti biasa, lelaki itu cuek berjalan sambil sesekali menaikan jambulnya, persis seperti burung beo. "Tuh, Va! Si k*****t yang gak berperikemanusiaan yang nabrak gue tapi pura-pura budeg tadi. Apes banget gue lihat dia lagi! Mana sok kegantengan lagi, pake naik-naikin jambul segala. Kagak ngaruh banget. Mana ada yang mau sama cowok watados gitu? Dih!" Tania terus nyerocos, tapi Vanya yang diajak bicara hanya terbengong, matanya malah mengekori bayangan lelaki itu. "Woy, Vanya, lo dengerin gue gak sih?” Tania dibuat kesal dengan kelakuan Vanya, sahabat dodolnya itu. "Eng-- Eh I—iya, Tania gue denger kok suwer deh." "Jawaban lo gelagapan gitu kayak baru liat hantu lewat aja. Eh tapi bener deng, tadi kan makhluk astral yang lewat." Tania melirik sinis ke arah lelaki yang tengah berjalan dengan angkuhnya. Lebih tepatnya menurut penglihatan Tania. Vanya yang tak terima dengan perkataan Tania langsung menampik apa yang dikatakan sahabatnya. "Hus, Tania sembarangan deh kalo ngomong! Cogan gitu di bilang makhluk astral." "Wes, kumat penyakit lo, Va. Lagian, cowok gitu mana ada ganteng-gantengnya." Tania memutar bola matanya malas. Tania tak habis pikir oleh jalan pikiran Vanya, mengapa sahabatnya itu bisa-bisanya terpesona pada lelaki semenyebalkan itu. "Eh, lo gak tau dia?" Gelagat Vanya mulai serius. "Gak tau, dan gak mau tau!" jawab Tania acuh. "Beneran?" Vanya menggoda Tania. "Iya, Vanya." Tania semakin kesal dengan ulah Vanya yang terus menggodanya. Kalau saja bukan sahabat, mungkin Tania sudah menceburkan wajah Vanya kedalam got. s***s! "Namanya Aly." Vanya mulai bercerita. Walaupun, Tania tidak sama sekali tertarik dan ia juga tak niat menyimak. Dengan antusias, Vanya melanjutkan aksi mendongengnya. "Dia itu maba paling famous di kampus ini. Anak pengusaha properti terkenal. Selain tajir dan ganteng, dia juga pinter lho. Gue jamin bakal terjadi persaingan sengit antara lo sama Aly." "Mana gue peduli, Va. Mau Aly kek, mau apa kek terserah. Dan gue sama dia emang udah bertarung sengit. Tapi lo camkan, gue kagak bakal kalah sama yang modelan begitu. Catet!!!" Nada bicara Tania makin meninggi. "Eh, tapi nanti dulu deh, Va. Kok lo bisa tau?" "Cie yang gak mau tau. Tapi kepo juga kan ujung-ujungnya? Oke gini Tania sayang, gue tau namanya pas OSPEK, terus gue stalking instagramnya, gile followersnya buanyak banget coy!" Vanya bercerita kembali dengan takjub cenderung lebay dan Tania tak bisa apa-apa selain geleng-geleng kepala. "Eh masuk yuk! Jangan sampe pertama masuk udah terlambat." Tarikan tangan Tania membuyarkan seluruh fantasi Vanya yang sedari tadi ia bangun. "Oke, Tania!" Vanya sedikit melonjak dan Tania hanya terkekeh melihat tingkah sahabat ini. Tania tak menyangka, hari pertamanya sebagai mahasiswi serumit ini. Harus menemukan hal-hal yang tak terduga. Bagaimana kedepannya? Entahlah, yang pasti jalani saja. Mungkin nanti akan ada kejutan-kejutan lain. Tapi semoga tak ada sesuatu yang terlalu berat nantinya. **** Tania merebahkan tubuhnya sebentar untuk menetralkan rasa lelahnya. Ia baru saja pindah tapi harus sudah sendiri lagi. Setelah merasa tidak lelah lagi, Tania memutuskan untuk bersepeda sore sebelum mandi. Niatnya agar ia tak bosan sendirian di rumah, ia juga tak peduli dengan barang-barang di rumah barunya yang belum berada pada tempatnya masing-masing. Sedang asyik-asyiknya bersepeda, tiba-tiba pandangannya tertuju pada seseorang yang tak asing, dan setelah ia perhatikan, ia mengenal lelaki itu. Tania dengan cepat memutar arah sebelum lelaki itu menyadari keberadaannya. Sesampainya di rumah, ia langsung meneguk air dingin hampir satu botol ukuran satu liter. Biar pun, memang tak baik jika sedang lelah atau berkeringat langsung minum air es, tapi ia tak peduli, yang dibutuhkannya saat ini hanya menyegarkan tubuh dan kepalanya. Tania tak habis pikir, mengapa lelaki itu harus berada didekatnya lagi. Tanpa pikir panjang, ia mengambil ponselnya dan membuka aplikasi percakapan dari ponselnya. Tania Cla : Va... Vanya Cans : Kenapa? Tania Cla : Gawat, Va gawat. Vanya Cans : Apanya? Tania Cla : Lo tau gak? Cowok yang bikin gue serasa nyemplung ke neraka di kampus lagi berkeliaran di komplek rumah gue. Vanya Cans : Oh my God. Itu namanya rejeki! Tania Cla : Rejeki pale lu peyang. Vanya Cans : Jangan gitu Tan, nanti lo suka sama dia duluan baru tau rasa. Tania Cla :Oke gaada gunanya cerita ke lo, mending gue mandi. Bye!!! Resiko punya sahabat hobi ngecengin cowok memang susah, tidak bisa diajak kompromi. Membosankan ketika harus sendiri di rumah, cerita pada Vanya pun tak ada gunanya, otak dodolnya tak beres sama sekali. Tania hanya berbaring menatap langit-langit kamarnya dengan pikiran yang entah kemana sampai akhirnya lamunannya memudar karena terdengar suara ketukan pintu dari lantai bawah. **** -rumah Aly- "Al," panggil Sheila pada anak semata wayangnya. "Iya, Ma." Aly menjawab tanpa semangat. "Sini, Sayang. Mama barusan bikin kue, dan kamu tau kan kalo sebelah itu tetangga baru?" tanya Sheila sambil menyodorkan kotak berisi kue pisang yang masih hangat. "Terus? Mama suruh Aly nyicipin gitu maksudnya?" tanya Aly. "Ye, tuh masih banyak, ini buat tetangga baru kita. Kamu anterin ya," ujar Sheila. Tidak beranjak dari duduknya, Aly malah mencari posisi nyamannya di atas sofa. "Ah mager, Ma. Lagian, Aly gak kenal," timpal Aly ogah-ogahan. "Makanya kamu ke sana biar kenal. Nih, jangan banyak alasan." Sheila memaksa Aly menerima kotak berisi kue pisang itu dan menyuruhnya lekas pergi. "Iya, Ma." Aly melengos pasrah sambil menarik nafas panjang. **** "Iya sebentar!” Tania beranjak dari atas tempat tidurnya, dengan langkah yang agak berat ia menuruni tangga dan berjalan menuju pintu depan untuk mengetahui siapa yang malam-malam bertamu, sementara orangtuanya juga sedang tidak ada di rumah. Dan betapa terkejutnya Tania ketika melihat siapa yang ada dibalik pintu. “Dia lagi dia lagi,” gumam Tania sambil menahan diri agar tetap terkontrol. "Lo ngapain di sini?" "Nih!" Lelaki itu hanya memberikan sebuah kotak tanpa banyak bicara. "Apaan nih?" Tania bertanya kembali tanpa menerima kotak itu. "Lo bisa jawab yang bener gak? Lagian lo ngapain di rumah gue?" "Heh, jadi cewek gak usah bawel bisa? Gue cuma disuruh nyokap gue ngasih nih kue ke tetangga baru, dan gue gak tau kalo itu lo! Nih, ambil! Gue gak punya banyak waktu." Aly menyodorkan paksa kotak yang dibawanya sambil berlalu meninggalkan Tania yang masih tercengang karena kata-katanya yang super datar. Tetangga? Apa Tania tak salah dengar? Ia belum jawab apa-apa, dan lelaki itu sudah pergi, tak punya tata krama. Lagi pula, kalau memang tetangganya, di mana rumahnya? Tapi berhubung rasa kantuknya tiba-tiba hilang karena kejadian tadi, Tania memutuskan menonton talkshow favoritnya di televisi sambil mencicipi kue yang diberikan Aly. Setelah kuenya habis tak tersisa, Tania memutuskan untuk mencoba tidur. Ia berulang kali mencoba memejamkan mata tapi tetap saja gagal. Ia memustuskan untuk sekedar duduk di balkon kamar demi sejenak menghirup udara malam yang cukup dingin. Penatnya perlahan terlepas dari badan. Relax! Itulah yang dirasakannya. Secara otomatis matanya terpejam, membiarkan angin malam membelai wajahnya dengan lembut. Namun, Tania dikejutkan dengan apa yang ia lihat diseberang kamarnya. Ternyata, lelaki itu, kamarnya tepat berada searah dengan kamarnya. Ia tak terlalu intens menatap ke arah kamarnya. Tetapi, sayup-sayup ia mendengar petikan gitar. Mungkin, Aly sedang melakukan hobinya seperti lelaki kebanyakan. Petikan gitar Aly dan terpaan angin rupanya memunculkan rasa kantuk Tania. Ia langsung menutup jendela dan merebahkan badan di atas kasur yang empuk dan lembut. Saatnya berada pada zona ternyaman, tidur.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD